"Ah, kamu sudah terlanjur jatuh cinta ya denganku?"
'Ini orang ga tau malu, ya? Di sindir malahan bukannya intropeksi malah nuduh? Gila sih kalau aku sampe jatuh cinta setelah tau busuknya!'
Di saat Aida masih bermonolog sambil berpikir untuk menanggapi Reiko, pria itu secepat kilat menyambar, menjawab nyinyirannya:
"Aku penasaran, coba katakan apa yang membuatmu jatuh cinta padaku?"
"Kagum tepatnya. Tapi ternyata intuisiku benar. Anda itu Iblis berwujud malaikat."
"Hahaha. Boleh juga pemilihan kata dan imajinasimu, cocok kamu ikutan menulis karya sastra, buat novel judulnya Pembantu Berstatus Istri," cibir Reiko dengan wajahnya masih menahan tawa di saat Aida terlihat jengkel.
"Tapi terima kasih atas pujiannya," lanjut Reiko lagi yang kini bicaranya lebih stabil.
"Aku memang tampan, jadi aku pasti memilih wanita yang cantik tanpa cacat untuk mengisi hatiku. Jadi jangan banyak bermimpi aku menyukaimu," seru Reiko yang terlihat sangat PD dan tak terpengaruh dengan insinuasi sedikit sarkas dari Aida barusan. Dia bicara sambil berdiri dengan surat perjanjian di tanganya.
"Kalau sudah clear, tidak ada yang ingin ditanyakan lagi, ayo ikut aku ke apartemen."
Aida tadinya ingin membalas lagi desisan Reiko, tapi Aida sadar itu percuma. Lagipula Reiko sepertinya tak membutuhkan jawabannya. Reiko sudah membalikkan badan berjalan ke arah pintu kamar hendak keluar setelah misinya berhasil.
Tanda tangan dan persetujuan Aida ada dalam genggamannya.
Menyisakan ketidakpuasan satu pihak saat Aida mengumpat di hati menyesali semua bayangannya tentang Reiko sambil mengekor dalam diam. Gadis berkebaya putih itu menjaga jarak langkah dengan pria yang perbedaan tinggi tiga puluh sentimeter lebih darinya.
Aida hanya 155 cm. Sedangkan Reiko tinggi menjulang, hampir 190 cm. Dengan tubuh tegap dan bahu lebar, dari belakang, punggungnya seakan mampu menunjukkan kekuatan otot tubuh Reiko yang padat. Memang bisa dipastikan dia adalah pria dengan kualitas fisik di atas rata-rata. Apalagi aroma musk yang bercampur citrus dari parfume-nya sangat menyegarkan, memberikan kenyamanan bagi yang menghirupnya. Dan itu juga bisa terhirup oleh Aida.
Tak bisa dipungkiri sangat menggoda. Mampu meringsek kesadaran otaknya hingga berfantasi menghadirkan pahatan paras wajah Reiko dalam benak Aida. Istri Reiko itu ingin sekali mengumpat dan demo pada Tuhan yang seakan lupa memberikan sedikit kekurangan di paras ciptaannya. Sungguh definisi lelaki sempurna hampir tak ada yang terlewatkan dari diri Reiko.
'Sempurna kecongakan dan kekejamannya seperti iblis yang menolak sujud pada Adam. Kau tidak mau hidup dengan Iblis kan, Aida?'
Cukup pandai untuk tak terbuai, Aida menghempaskan semua kekagumannya dengan memperingatkan dalam relung batinnya.
"Reiko, apa kamu akan pulang sekarang, Nak?"
Dan kini, Aida terpaksa menahan langkah kakinya, ketika Rika, ibu Reiko mendekat saat mereka menuruni tangga.
"Iya, Mah. Aku mau langsung ke apartemen karena ada beberapa kerjaan kantor yang belum aku selesaikan dan kaji ulang. Besok aku harus ketemu client."
"Apa gak sebaiknya wanita di belakangmu itu ganti baju dulu, Nak? Dengan pakaiannya itu, dia bisa disangka istrimu sama staff dan penghuni di apartemen yang melihat kalian."
Sinis ekor mata Rika yang sudah mengganti baju kebayanya melirik Aida saat bicara. Sungguh berlawanan dengan tatapan manis, keibuan dengan suaranya yang boleh dibilang merdu saat bicara dengan Reiko.
Aida tak habis pikir bagaimana Rika bisa berakting sebagai wanita penuh belas kasih, cocok sebagai mertua impian setiap wanita di acara akad nikahnya tadi.
"Kasihan dong Brigita kalau dateng terus digosipin staff apartemen yang udah mengenalmu dan di sangka mau merebut suami orang."
'Iblis wanita ternyata!'
Ini juga yang membuat Aida menghempaskan napas pelan dengan rasa jijik dalam hatinya saat Reiko mengarahkan pandangannya padanya.
"Mamamu benar, Reiko. Suruh dia ganti pakaian. Kamu juga mesti jaga jarak dengannya saat masuk apartemen. Ini kondisinya berbeda dengan saat kita turun dari jet pribadi langsung ke mobil."
"Iya benar Reiko. Percuma dong papamu sudah meyakinkan kakekmu kalau pernikahannya di buat tertutup dulu kalau sampai di Jakarta, kamu bawa dia dengan pakaian begitu dan orang-orang bisa berspekulasi dia istrimu."
Benar juga. Reiko pun mulai kepikiran bagaimana papanya Endra, sudah berusaha meyakinkan kakeknya untuk membuat pernikahan itu tertutup. Reiko tak tahu apa alasan Endra pada Adiwijaya hingga pria yang kaku dan saklek itu mau mengikuti saran putranya.
"Tapi Pah, gimana dengan foto? Adiknya mengambil foto kami saat pernikahan. Mungkin merekam video juga." Reiko bicara sambil melangkah dan menyerahkan surat perjanjian ke tangan Endra. Dia tak berniat menyimpannya sendiri dan tentu saja ini dilihat oleh Aida yang hanya bisa menghempaskan napas pelan.
"Tenang saja, Reiko, papamu ini juga sudah menyuruh Ratna untuk meminta pada pak RT tidak menceritakan ke tetangga dan siapapun. Saksi dan penghulu sudah papa urus di belakang kakekmu termasuk pak RT-nya yang sudah terikat perjanjian."
"Terus adiknya?"
"Papa juga mengingatkan Ratna untuk bicara dan tak membiarkan anaknya yang lain mengekspose foto pernikahan itu ke media sosial dengan alasan keinginan kakek mengumumkan di saat yang tepat, yaitu di resespsi pernikahan beberapa bulan lagi setelah event besar perusahaan. Papa bilang supaya tidak menganggu fokusmu ke pekerjaan dulu. Lagian, masa pengusaha besar seperti kakek cucu pertamanya nikah di rumah dusun dan acaranya seperti itu saja?"
Bangga Endra dengan semua yang sudah dilakukannya tapi ini justru membuat Aida tak berhenti mengumpat.
'Pandai mereka membuat skenario membodohi keluargaku,' bisik hati Aida ngedumel. Dia memang hanya diam saat mereka semua membahas masalah yang membuatnya serasa menjadi korban sekaligus merasa bersalah karena menjadi pelaku pendukung kejahatan.
'Aku juga memanfaatkan ini untuk kepentinganku mendapatkan uang. Apa aku salah tak memberitahukan ini ke kakek Adiwijaya? Tapi bagaimana kalau pas aku kasih tau dia beneran sakit jantung dan meninggal? Bisa-bisa aku masuk penjara dan mereka sebagai pewaris kerajaan bisnis Adiwijaya gak akan mau membiayai adik-adikku, kan?'
Bagaimana, jika, bila, andai dan berbagai kemungkinan juga bersliweran di benak Aida yang membuatnya berpikir panjang untuk menciderai perjanjian yang sudah ditandatanganinya itu.
Dan kini Aida hanya bisa mangkel sekaligus pasrah saat mendengar lanjutan pembicaraan Reiko dengan orang tuanya.
"Tapi Papa gak akan membiarkan ada resepsi kan?" wajah Reiko sudah cemas sekali dan ini membuat Endra tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Senyum yang bisa dilihat oleh Aida dan membuatnya sudah menerka-nerka yang akan diucapkan pria berkacamata yang secara agama adalah mertuanya.
"Jelas dong, Reiko. Papa kan gak akan menghancurkan hidup anak terbaik dan penerus keluarga kita," balas Endra.
"Papa akan mengulur dengan alasan yang masuk akal untuk kakekmu."
"Papa sudah mama kasih tahu, Reiko," cicit Rika yang terlihat antusias ingin ikut bicara.
"Resepsi tidak akan berlangsung sampai dia mengandung anakmu dengan alasan keberlangsungan keturunan karena penyakit yang pernah diidapnya. Kakekmu pasti tidak mau kan kalau kamu ga akan punya keturunan?"
'Kejam sekali mereka ingin memfitnahku begitu?' Aida bergidik ngeri sekaligus takut dengan kenyataan bagaimana liciknya mereka bisa berpikir sampai sejauh itu.
"Tapi kakek apa gak akan kena serangan jantung lagi Pah kalau mendengar itu?"
"Papa dan mamamu gak bodoh, Reiko. Kami orang yang penuh perhitungan," membanggakan diri, Endra bicara.
"Kakekmu akan berpikir kami buat-buat alasan kalau diberitahu sekarang. Kita tunggu tiga bulan sampai enam bulanlah. Dia pasti akan mulai ragu."
'Bagus aku hanya akan bertahan di keluarga ini sementara. Gimana ceritanya kalau punya mertua berotak kriminal gitu? Wah, kau mesti banyak sujud syukur Aida,' pekik di hati Aida makin panas melihat keluarga penuh intrik ini. Tak berhenti dia mengucapkan syukur dalam hatinya.
"Tapi seratus persen aku pastikan itu tidak akan terjadi, Papa. Tidak akan ada keturunanku lahir kecuali dari Brigita."
'Dih, aku juga ga niat disentuh olehnya lah. Apalagi ngelahirin anak iblis.'
Reiko yang sudah berubah posisi setelah memberikan surat perjanjian ke Endra, sedetik di lirik Aida saat wanita itu mati-matian berusaha tak ikut campur dalam pembicaraan keluarga itu. Apalagi, dua adik Reiko baru saja menatapnya merendahkan saat turun dari tangga membuat posisi Aida juga ikut bergeser.
'Anggap aja ini keberuntunganmu, Aida. Kau masih suci saat cerai nanti. Maksimal lima tahun bertahan dan bersabarlah atau kalau kakeknya meninggal lebih cepat dari tenggat waktu, si iblis itu akan menceraikanmu, gitu kan isi di perjanjian tadi? Eh, janganlah. Mudah-mudahan kakek Adiwijaya diperpanjang umurnya, duh dia orang baik, jangan karena nila setitik kau mendoakan buruk padanya, Aida. Dosa.'
Meski kesal, Aida memang menjaga pikirannya juga meski kadang sulit. Siapa sih wanita yang mau diperlakukan seperti ini setelah menikah? Dianggap hina oleh keluarga besar suami dan bahkan suaminya sendiri?
TIDAK ADA.
Termasuk Aida juga maunya bukan pernikahan macam ini dan Aida juga yakin, ibunya juga tidak akan membiarkannya diperlakukan serendah ini meski bayarannya memang setimpal untuk pendidikan adiknya.
Tapi apa Aida mau mengadu dan membiarkan impian ibu dan adik-adiknya musnah?
"Nah, kalau begitu, ikuti saran Mama, Reiko."
"Iya Mah." Reiko pun melirik sinis pada Aida. Pandangannya berubah dingin. Padahal saat bicara dengan keluarganya dia terlihat sangat hangat, meski ada tegang dan cemas juga.
"Hilangkan semua make up dan pakai baju biasa saja sekarang juga."
Aida mencoba bersabar ketika mendengar perintah Reiko yang sudah diduganya. Sambil mengangguk, Aida menjawab:
"Baik mas Re--"
"Kakekku tidak ada di rumah papaku. Jadi panggil aku pak dan panggil papa dan mamaku bapak Endra dan ibu Rika, seperti para pelayan di rumah ini."
"Wah, kalau begitu dia harus memanggilku dan Rukma dengan sebutan nona juga dong, mas Reiko? Hehehe."Itu adalah suara Retisalya Adiwijaya, adik Reiko. Reti adalah kakak Rukmasara Adiwijaya. Usia Reti sama seperti Aida. Sedangkan Rukma, setingkat di atas Arum, adik Aida.Sebelum tiba di rumah Endra, kedua putrinya ini memang terlihat pendiam sama seperti Reiko. Paras mereka yang ayu lebih mirip dengan Rika, serta kulit mereka yang kuning langsat membuat keduanya terlihat anggun, sangat Indonesia dan terkesan ramah. Suara mereka tak kalah lembut dan merdu, seperti Rita saat bicara. Sungguh melenakan Aida saat bertemu dan bicara dengan mereka sebelum pernikahan.'Tapi itu semua sama saja, hanya kedok. Iblis semua isinya di rumah ini!'Aida sudah tak terkejut juga medengar cemoohan dari keduanya. Justru dia menunggu apalagi bully-an yang akan diperolehnya."Ini bukan waktunya bercanda Reti. Mas sedang buru-buru. Dan kamu Aida, cepat lakukan apa yang aku perintahkan."Tapi justru Reiko ya
"Jangan menjawab! Aku gak lagi becanda!"Benar dugaan Aida. Reiko memang marah besar. Tapi salahkah dia? Memang di mana ada spa cuma seperempat jam?"Kamu tahu, aku banyak pekerjaan yang belum selesaikan! Karena pernikahan sial itu pekerjaanku jadi terbengkalai," desis Reiko lagi sebelum sempat Aida menjawab. "Dan kamu buang waktuku sampai seperempat jam kaya orang bodoh nungguin begini!" Reiko sudah bicara lagi.Segitu juga Aida tadi sudah terburu-buru. Tapi tetap saja ini terlalu lama untuk Reiko. Pria itu menggerutu dan marah. Aida yakin dibutuhkan waktu lebih lama untuk membersihkan riasan wajah pengantin. Seperempat jam waktu yang digunakannya seakan berdasar. Karena Aida juga harus membuka pakaiannya dari kain jarik, kebaya, dan pernak pernik lainnya. Mungkin ibu-ibu tahu, sudah sangat cepat bukan membersihkan wajah dan melepaskan kebaya pengantin dalam waktu seperempat jam? "Kenapa diam saja?"Tapi Rika yang notabene sering memakai jarik dengan atasan kebaya, dia bahkan tak
"Saya memang merasa bukan wanita yang menarik." Aida menjawab cepat."Tapi saya pensaran saja, seiseng apa owner dari apartemen ini sampai menaruh CCTV di setiap ruangan? Apa dia mau mengintimidasi tamunya?" desis Aida menambahkan."Wah, picik sekali pikiranmu tentang aku?" dan jelas membuat Reiko bersedakep, kesal."Pengalamanku seharian ini melihat skenario yang dibuat keluargamu dan dirimu terhadapku dan keluargaku, memang memaksaku untuk berpikir picik, Pak Reiko."Hati boleh sakit mendengar untaian kalimat sarkas Reiko. Tapi Aida menimpalinya dengan sangat anggun memutar kata. Dia juga memberikan seutas senyum di bibirnya, tak sama sekali merasa terganggu dengan tatapan sinis dari pria berstatus suaminya itu."Semua tempat di rumah ini kecuali kamar-kamar tamu, kamar mandi tamu, itu tidak ada CCTV-nya. Aku tidak berniat menguntit tamuku, mengerti?"Malas sebenarnya Reiko menjelaskan detail begini. Tapi memang Reiko tak mau ada kesalahpahaman yang menggiring opini. "Inget!" tamba
"Maafkan aku sayang, semua ini tidak mudah untukku sayang, aku beneran cemburu, kamu itu hidup dan matiku dan aku--" Tamparan Reiko berhasil melunakkan amarah Brigita yang kini suaranya sudah kembali melembut, pintar sekali Brigita menunjukkan mimik wajahnya berubah kala itu menjadi wanita yang penuh dengan cinta pada Reiko sebelum dia melanjutkan kembali bicara dan seakan agak sulit bicara karena pergolakan emosi di dalam sanubarinya."Kamu tahu betapa sulit keadaan ini untukku, kan? Aku--" "Ssst! Sudah tenangkan dirimu. Aku tahu betapa sulit yang kamu maksudkan itu" Reiko menaruh jari telunjuk yang tadi mengarah pada Aida ke bibir Brigita. Dengan senyum di bibir Reiko,CUP!Kembali pria itu juga memberikan kecupan di bibir Brigita saat wanita dalam cangkumannya terlihat relaks tak lagi mengumbar emosi dan Reiko bisa mengangkat jari tangan dari bibir merah ranumnya."Sudahlah kita bahas ini nanti, Bee. Aku lelah. Dan kamu juga baru sampai bukan dari Singapura?""Hmm, tadi jam satu
"So sorry, Bee. I won't call out her name as long as we're both together.""Tapi kan kamu tetap menyebut namanya di luar sana bukan?""Hmmm." Reiko membenarkan tebakan dari wanita yang kini ada dalam cangkumannya."Menyebalkan sekali melihatmu harus menyebut namanya.""Don't think too much, Bee. Kalau aku ingin menyuruh dan memerintahnya di luar sana, ya tentu saja aku harus memanggilnya. Aku tidak tahu harus memanggilnya dengan sebutan apa lagi kalau bukan namanya." Lalu Reiko berpikir sejenak dengan senyum di bibirnya sedikit menggoda"Masa kamu ingin aku memberikannya nama panggilan seperti aku memanggilmu Bee?""If you dare."Betul kan tidak ada salah yang dikatakan Reiko? Toh bagaimanapun itu hanya sebuah nama dan memang harus ditunjukkan pada si pemilik nama bukan?Tapi tidak dengan Brigita yang begitu emosi mendengarnya."I am just kidding. Remember …," Reiko kembali bicara dengan menautkan matanya pada Brigita, "tapi aku kan sudah berjanji tidak akan ada yang pernah menggantik
'Aku memang sudah lapar. Tapi melihat pemandangan di hadapanku tadi, rasanya perutku malah jadi mual, hyaks.'Alih-alih merasa lapar justru rasa tak enak itulah yang membuat Aida memilih menutup pintu dan bersandar di belakang pintu sambil mengamati isi kamarnya, hilang sudah semua keinginanya untuk mengisi perut.'Ya Rob, terima kasih Engkau melindungi mataku dari semua yang tidak ingin aku lihat itu.' Aida bergidik jijik, tapi di saat yang bersamaan juga ketika dia melihat isi ruangan itu."Setidaknya kamar ini bisa mengembalikan sedikit moodku." Ada senyum di bibirnya karena memang kamar itu di luar ekspektasinya."Ini pasti bukan kamar pembantu." Aida sangat yakin.Spreinya lembut dan bersih. Saat tangan Aida bergerak menyentuhnya. Ruangan itu juga dingin dan humiddengan sensor di mana saat panas tubuh manusia diterima oleh sensor maka pengatur udara di dalam kamar itu aktif otomatis dan menyesuaikan sendiri tingkat kelembapan termasuk suhu di kamar tersebut. Ion aktif UV pelindu
"Ah, tapi masa bodo ah. Aku udah lapar banget. Lagian aku juga udah nggak tahan sama hausnya." Aida sudah melipat mukenanya dan menentukan pilihannya."Kalau ditanya, aku juga cuman pengen ngambil makanan sama air aja kok, bukan mau ngintipin mereka."Beginilah manusia kalau kebutuhan dasarnya sudah terdesak.Rasa lapar itu memberikan keberanian bagi Aida yang tadinya memang hanya ingin tinggal di kamar itu, untuk memenuhi hasrat bertahan hidupnya. Aida yang sudah melipat sajadahnya pun kini sudah hendak bersiap keluar Tapi dreet dreet dreetHandphonenya yang bergetar segera mungkin membuat Aida mendekat ke tasnya dan sesuai dengan dugaannya."Duuuh, ini nomor ibu." Bibir Aida berbisik lirih, dengan semua rasa yang membuat hatinya tak tenang.Ingin rasanya dia tidak mengangkat telepon yang kini bergetar dan juga berbunyi ring tone-nya. Tapi apakah ibunya tidak akan khawatir kalau dia tidak mengangkatnya? Aida: Assalamualaikum Bu?Terpaksa Aida tidak mengikuti kata hatinya. Tak
Ratna: Halah, halah, apa-apaan sih kalian ini malah mau ngerepotin kakakmu? Nggak boleh kayak gitu.Aida: Ehm, padahal gapapa bu.'Maaf aku cuma mengatakan ini basa-basi aja. Aku nggak berani ngajak kalian ke sini karena semua tidak sesuai dengan apa yang kalian pikirkan.' Aida tahu tidak seharusnya dia berbohong lagi. Tapi masa iya dia mengatakan pada keluarganya tidak boleh?Ratna: Jangan biasakan adikmu punya mental pengemis dan berharap sama orang lain. Ingat Aida, kita tidak boleh berharap kecuali kepada Tuhan.Tapi memang ini juga adalah jawaban yang sudah diperkirakan oleh Aida.Ibunya memang tidak akan pernah mengizinkan adik-adiknya kalau datang ke sana untuk mericuhi Aida.Lingga: Maaf deh Bu, kalau gitu aku akan ubah rencana aja. Nanti kalau aku udah jadi pilot aku bikinin rumah buat ibu yang kayak gitu.Lestari: Emang gaji pilot itu gede ya Mas? Bisa buat beli apartemen?Lingga: Iyalah. Nanti aku jadi pilot bukan cuman sekedar pilot biasa aja. Dan aku nggak beli apartemen