" Tuan, apa hari ini Tuan ke kantor?" Fitri tergopoh-gopoh menghampiri Fabian yang baru saja keluar kamar dan sudah mengenakan stelan jas mewahnya. "Ya. Katakan pada supirku, siapkan mobil. Oh ya, dimana Ayah dan Ibu?" Fabian berdiri sambil membetulkan dasinya. "Tuan dan nyonya besar sedang sarapan. Mereka menunggu Tuan di meja makan." Mendengar jawaban Fitri, Fabian mengangguk dan bergegas melangkah ke ruang makan. "Selamat pagi, Ayah, Ibu!" "Bian, bagaimana kondisi Bian hari ini? Sudah lebih sehat?" Fatma tersenyum melihat wajah Fabian yang tidak lagi pucat. "Sudah, Bu. Bagaimana? Apa Ayah dan Ibu jadi ke rumah Pak Rein hari ini?" Mendengar pertanyaan Fabian, Fatma dan Arthur saling pandang. "Ya, tapi Bian tidak usah ikut. Biar kami saja. Ayah dan ibu hanya sekedar berkunjung." Fabian mengangguk. Dalam hatinya ia bersyukur karena jika ia tidak ikut, kemungkinan rencana pernikahan itu tidak akan dibicarakan malam ini. Fabian memilih hanya minum segelas sereal pagi itu. Set
"Kenapa Anda memandang calon istri saya seperti itu?" Fabian tidak terima dan menegur pria paruh baya berbadan gemuk itu. Akan tetapi pria itu tidak menjawab, malah justru tersenyum sinis pada Analea. "Apa Lea mengenal pria ini?" bisik Fabian dengan sedikit menunduk pada Analea. Analea mengangguk dengan takut-takut. Cengkraman tangannya semakin erat pada Fabian. Tubuhnya gemetar. Fabian terkejut melihat Analea mengangguk. Kemudian pandangannya beralih pada pria tadi yang masih berdiri tak jauh dari Fabian dan Analea. Sementara teman-teman pria itu sudah lebih dulu masuk ke dalam cafe"Maaf, ada urusan apa Anda dengan calon istri saya?" Fabian bertanya dengan nada cukup tegas. Pria itu menyeringai. "Jadi kamu calon suaminya? Kamu pasti orang kaya dan banyak uang. Jadi, bisa dong lunasin hutang-hutang dia?" Pria itu menunjuk Analea dengan menggerakkan dagunya. "Hutang? Hutang apa?" Fabian menoleh pada Analea dan pria itu secara bergantian. "Tidak, Kak. Aku tidak pernah berhutang
"Astaga ... itu ... suara Ratu. Ternyata dia ..." Fatma menekan dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. " Ssshh ...aduh! "Bu. Ibu kenapa?" Arthur seketika cemas melihat Fatma memejamkan matanya seperti menahan sakit. Pria tua itu segera meraih tubuh istrinya dan menyandarkan ke sofa. "Tidak apa-apa, Yah. Ibu ... hanya kaget saja." Suara Fatma terdengar lemah. "Tante Fatma kenapa, Om?"Kaisar yang baru saja tiba di ruangan itu langsung menghampiri Fatma. "Tante Fatma hanya kaget," sahut Arthur sambil mengusap bahu Fatma dengan lembut. "Sebaiknya tante Fatma istirahat dulu di kamar tamu. Kebetulan ruangannya ada di sebelah sini. Ayo!" Kaisar membantu Fatma untuk bangkit dan pindah kamar tamu. "Maaf, Tante Fatma tadi kaget kenapa? Apa ada berita yang mengejutkan atau suara yang cukup keras?" Kaisar membantu menuntun Fatma ke kamar tamu yang ada di sebelah ruangan itu. "Tante Fatma? Om Arthur?Kalian baru tiba?" Ratu terkejut melihat keberadaan sepasang suami istri itu di rumahnya. Ia
"Bu Maira, dimana Ayah dan Ibu saya?" Fabian bertanya tanpa menghiraukan Ratu. Bahkan pria itu sama sekali tidak menoleh pada Ratu. Langkahnya dari pintu terus mendekat pada Maira. "Bian, syukurlah kamu sudah datang. Ayo saya antar ke kamar tamu. Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa." Maira berjalan melewati Ratu. Kemudian melangkah bersisian dengan Fabian menuju kamar tamu. "Kenapa Kak Bian cuekin gue? Apa dia barusan dengar apa yang gue omongin? Ah, bodo amat! Yang penting cowok kaya raya itu udah jadi tunangan gue. Sebentar lagi kita akan menikah. Gue harus mendesaknya biar dia lebih cepat nikahin gue." Ratu bergumam sendiri, lalu bergerak mengikuti Maira dan Fabian ke kamar tamu. Namun baru beberapa langkah kakinya berjalan, terdengar suara seorang security memanggil. "Non, Non Ratu, ada dokter Clara datang." Security itu datang tergopoh-gopoh menghampiri Ratu. "Suruh masuk, cepat!" ketus Ratu sambil bertolak pinggang. Beberapa detik kemudian seorang wanita memakai jas
"Hei, ngapain berdiri di situ?" Ratu memandang Sumi dengan alis terangkat.Ternyata Sumi tetap setia berada di dekatnya. "M-maaf, Non. S-saya cuma jagain Non aja," jawab Sumi menunduk dan sesekali melirik pada Ratu yang sedang melotot padanya. Ratu merasa aneh dengan jawaban Sumi. Ia merasa heran, Sumi masih bertahan mengurusnya. Padahal sejak bekerja di rumah itu, Sumi selalu salah di matanya dan sering ia marahi hingga dibentak-bentak. Tapi wanita paruh baya itu selalu perhatian padanya hingga ke hal yang paling kecil. Bahkan tak jarang Sumi mengkhawatirkan dirinya. "Ngapain jagain gue? Mending bikinin gue kopi, sana!" "Iy-iyyaa, Non. Sumi bergegas pergi ke dapur setelah menerima bentakan dari Ratu. Setelah menerima secangkir kopi, Ratu mengunci diri dikamar hingga pagi. Entah berapa batang rokok yang ia habiskan. Beberapa kali Sumi mengetuk pintu membawakan makan malam untuk Ratu, namun selalu diabaikan. Hingga ketika sarapan pagi, Rein kembali mengingatkan Maira tentang perm
"Ya, asisten pribadi saya. Kenapa? Kamu bersedia, kan?" Kaisar menatap Analea dengan serius. Wajah Analea yang tadinya tampak bingung mendadak tersenyum senang. "B-bersedia, Pak. Saya bersedia." Analea bicara dengan sangat bersemangat. Rasanya sebuah mimpi bagi Analea mendengar tawaran dari Kaisar barusan. Selama ini, diterima kerja di Eternal Group saja sudah merupakan hal yang luar biasa baginya. Ia tidak pernah menyangka Kaisar akan menawarkan posisi itu untuknya. "Maaf, Pak. Bagaimana dengan Mbak Risa?" tanya Analea selanjutnya. Ia merasa Risa lebih lama bekerja di sana. "Risa itu memang backgroundnya sekretaris. Kalau kamu manajemen bisnis. Saya lihat kamu lebih memahami pekerjaan inti dari perusahaan ini. Belakangan ini saya akan lebih sering keluar negeri untuk memperlebar bisnis perusahaan kita. Dan selama itu saya mau kamu yang gantiin saya. Daddy dan mama hanya akan mendampingi saja. Lagi pula, kasian Daddy. Beliau sudah mulai tua, tapi mengelola perusahaannya sendirian.
"Maaf, Pak Kaisar hari ini berangkat ke luar negeri. Ada yang bisa saya bantu?" Beruntung Analea dengan cepat bisa menguasai situasi. Ia masih berdiri menghormati para tamu yang ternyata beberapa perwakilan dari PT Bina Sanjaya. Fabian dan Joshua duduk berdampingan. Sementara Nandita bersama salah satu staf marketingnya duduk berseberangan dengan atasan mereka. "Ya, kami ingin menyampaikan satu masalah yang terjadi pada klien kita di Sumatera. Ini kecerobohan dari tim marketing kami yang salah memberikan informasi." Joshua mulai menjelaskan duduk permasalahannya. Analea mengambil posisi duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan Joshua. Sementara Fabian sejak awal tertegun memandang penampilan dan gerak-gerik Analea yang semakin memukau, anggun namun penuh wibawa.Ia membiarkan Joshua dan Analea melakukan diskusi yang cukup panjang untuk mencari solusi dari permasalahan proyek yang sedang mereka hadapi. Analea tau Fabian terus memperhatikannya. Susah payah wanita itu menghi
"Selamat sore, Mbak. Saya mau cek in pesanan kamar atas nama Fabian Eduardo dan Analea Radisti dari PT Bina Sanjaya Jakarta." Analea berdiri di depan resepsionis hotel. Mereka telah mendarat satu jam yang lalu dan langsung menuju hotel yang letaknya tak jauh dari bandara. Merekamenggunakan jasa travel yang akan membawa mereka kemanapun selama berada di Sumatera barat itu. Fabian memilih duduk di salah satu sofa menunggu Analea melakuian proses cek in. "Sebentar lagi akan ada petugas.kami yang akan membawa Bapak dan Ibu ke kamar masing-masing." Analea mengangguk, kemudian melangkah menghampiri Fabian dan ikut duduk di sofa yang berbeda.Tak lama kemudian dua orang pria muda berpakaian seragam hotel menghampiri mereka. "Mari kami antar ke kamar, Pak, Bu." Fabian dan Analea berdiri dan mengikuti petugas itu menuju kamar mereka yang ada di lantai dua. Salah satu dari petugas itu membawakan tas Fabian dan Analea. "Ini kamarnya, Pak, Bu." Analea mengangguk. Kamar mereka ternyata bers