"Maaf, Pak Kaisar hari ini berangkat ke luar negeri. Ada yang bisa saya bantu?" Beruntung Analea dengan cepat bisa menguasai situasi. Ia masih berdiri menghormati para tamu yang ternyata beberapa perwakilan dari PT Bina Sanjaya. Fabian dan Joshua duduk berdampingan. Sementara Nandita bersama salah satu staf marketingnya duduk berseberangan dengan atasan mereka. "Ya, kami ingin menyampaikan satu masalah yang terjadi pada klien kita di Sumatera. Ini kecerobohan dari tim marketing kami yang salah memberikan informasi." Joshua mulai menjelaskan duduk permasalahannya. Analea mengambil posisi duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan Joshua. Sementara Fabian sejak awal tertegun memandang penampilan dan gerak-gerik Analea yang semakin memukau, anggun namun penuh wibawa.Ia membiarkan Joshua dan Analea melakukan diskusi yang cukup panjang untuk mencari solusi dari permasalahan proyek yang sedang mereka hadapi. Analea tau Fabian terus memperhatikannya. Susah payah wanita itu menghi
"Selamat sore, Mbak. Saya mau cek in pesanan kamar atas nama Fabian Eduardo dan Analea Radisti dari PT Bina Sanjaya Jakarta." Analea berdiri di depan resepsionis hotel. Mereka telah mendarat satu jam yang lalu dan langsung menuju hotel yang letaknya tak jauh dari bandara. Merekamenggunakan jasa travel yang akan membawa mereka kemanapun selama berada di Sumatera barat itu. Fabian memilih duduk di salah satu sofa menunggu Analea melakuian proses cek in. "Sebentar lagi akan ada petugas.kami yang akan membawa Bapak dan Ibu ke kamar masing-masing." Analea mengangguk, kemudian melangkah menghampiri Fabian dan ikut duduk di sofa yang berbeda.Tak lama kemudian dua orang pria muda berpakaian seragam hotel menghampiri mereka. "Mari kami antar ke kamar, Pak, Bu." Fabian dan Analea berdiri dan mengikuti petugas itu menuju kamar mereka yang ada di lantai dua. Salah satu dari petugas itu membawakan tas Fabian dan Analea. "Ini kamarnya, Pak, Bu." Analea mengangguk. Kamar mereka ternyata bers
"Apaa? Menikah? Tidak. Mereka tidak boleh menikah. Pastikan agar mereka tidak jadi menikah hari ini!" Maira terduduk lemas di kursi kebesaran yang ada di ruang presdir Eternal Group. Tubuhnya gemetar dengan pandangan kosong pada langit-langit. "Ya Tuhan. Apa yang harus aku lakukan. Jika benar Analea putriku, pernikahan mereka tidak akan sah. Karena wali Analea masih hidup. Analea masih memiliki Ayah. Aku tidak boleh membirkan mereka menjalani pernikahan itu sebelum adanya bukti tentang dugaanku selama ini." Pikiran Maira terus berkecamuk. Ia terus berpikir mencari cara untuk mencari jawaban atas keresahannya selama ini tanpa diketahui Rein dan Analea. Ia akan mengatakan pada mereka jika memang terbukti bahwa Analea adalah putrinya.Tapi bagaimana caranya? Maira masih gelisah. Beberapa kali ia menghela napas berat. Sesaat ia berdiri, lalu melangkah kesana dan kemari. Terus berpikir mencari jalan keluar. Beberapa menit kemudian, ia menarik napas panjang dan meraih ponselnya. "Hallo
"Pak Rein ...!" Analea dan Fabian yang sedang duduk di hadapan penghulu, wali hakim dan saksi, spontan berdiri dan menoleh ke arah pintu. Suara hantaman pintu yang cukup keras pada dinding membuat semua orang yang ada di ruangan itu menoleh dan terpekik. Rein menggandeng tangan Maira dan melangkah masuk ke dalam ruangan. "Ada apa ini?" Ada apa?" Terdengar suara pak penghulu dan lainnya yang berada.di sekitar meja itu. Mereka berdiri dan memandang ke arah Rein dan Maira yang semakin mendekat. "Bu Maira ... Ya, Tuhan ..." Analea kembali terkejut melihat kehadiran Maira. Ia semakin merasa bersalah. "Maaf, saya Rein dan ini istri saya Maira. Kami minta maaf. Kami mohon agar pernikahan ini ditunda. Karena ..." Kalimat Rein terhenti, pria itu menoleh pada Maira. Ia masih ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya. "Maaf, Pak penghulu dan bapak-bapak lainnya. Pernikahan ini sebaiknya ditunda dulu. Karena ... kemungkinan wali dari pengantin wanita masih hidup. Jika pernikahan ini tetap
"Saya mohon jangan pergi!" Tangan kekar Rein mencekal lengan Analea lebih erat. "Tapi, Pak ..." "Saya mau bicara." Rein menatap Analea begitu lekat dengan tatapan memohon. Analea diam sejenak, lalu kembali bicara. "Bapak mau bicara apa? Tapi tolong lepaskan tangan saya!" ujar Analea dingin. "Baiklah." seketika Rein melepaskan cengkraman tangannya. Sejurus kemudian Analea duduk kembali di kursi taman itu, diikuti oleh Rein yang kini berada di sebelahnya. "Ana, saya minta maaf. Selama ini sikap saya ... mungkin ... kurang berkenan di hatimu. Saya ... sudah menyinggung perasaanmu." Rein memandang Analea lebih intens. Kamu mau, kan, maafin, saya?" Analea mengangguk cepat. Ia hanya ingin segera pergi dari sana. Ada rasa yang tertahan dari dalam dirinya. Ia tak ingin Rein mengetahui hal itu. "Saya sudah maafin Bapak. Jadi, biarkan saya pergi." Analea berdiri lagi dan mulai melangkah mundur. Kali ini Rein tak bisa lagi mencegah kepergian Analea. Ia menatap punggung ramping Analea y
"Mari Pak Rein, Bu Maira! Mobil yang akan mengantar kita ke bandara sudah datang." Fabian melirik arlojinya dan bergegas melangkah menuju lobi utama hotel. Analea berjalan anggun di sebelahnya. Sementara Maira dan Rein mengikuti di belakang mereka. Rein yang berada tepat di belakang Analea seketika terpukau melihat cara jalan Analea yang begitu anggun dan berwibawa. Kemudian tanpa sadar ia menoleh pada Maira yang sedang melangkah di sampingnya. Sesaat ia terkesiap karena mereka begitu mirip. Lagi-lagi Rein merutuki dirinya. Kenapa baru sekarang ia menyadari kemiripan itu. Fabian memilih duduk di kursi depan bersama supir. Analea membuka pintu geser mobil alphard yang menjemput mereka dan memilih untuk duduk di kursi belakang. Sedangkan Maira dan Rein duduk di kursi tengah. Selama berada di dalam mobil mereka berbicara hanya seperlunya saja. Sampai tiba di bandara hingga naik ke pesawat, Analea lebih banyak menyendiri. Ia juga tidak banyak bicara dengan Fabian, walau duduk bersebela
"Ikutlah dengan kami, Ana ...!" Maira semakin mempererat lingkaran tangannya pada lengan Analea. "Ibu mohon ... !" lanjut Maira lagi Analea tidak mungkin menolak Maira. Wajah wanita paruh baya itu sangat berharap. Analea tidak kuasa mengecewakan wanita yang sejak lama ia kagumi itu. "Baiklah, Bu. Kak Bian, aku ikut Bu Maira dan Pak Rein." Fabian mengangguk. Sedangkan Elkan tersenyum karena sudah bisa membaca situasi dan mengetahui permasalahan yang ada. Dua pria tampan beda usia itu memandang Analea masuk ke dalam mobil yang telah menjemput Maira dan Rein. Analea duduk tepat di sebelah Maira. Sedetik kemudian Analea terkejut karena Rein ikut masuk dan duduk di sebelahnya. Analea gugup karena saat ini ia diapit oleh sepasang suami istri itu. Ia pikir Rein akan duduk di depan di samping supir. Tapi ternyata tidak. Diam-diam ia merasakan sebuah kehangatan yang seumur hidupnya belum pernah ia rasakan. Fabian dan Elkan masih berdiri hingga mobil yang membawa Rein tak terlihat lagi. "
"Astaga! Kenapa aku jadi tidak tenang begini? Perasaanku tidak enak." Beberapa saat setelah kepergian Ratu, Alif terus gelisah. Pikirannyabterus tertuju pada Ratu. Apalagi ia melihat kondisi Ratu yang tidak memungkinkan untuk menyetir sendiri. "Anak itu lagi mabuk. Bisa-bisa dia ... Astaga! Aku harus menyusulnya. Tetapi ..., dia pasti ke Jakarta lewat pintu tol yang ada di depan sana." Alif memijit pelipisnya. Perasaannya seperti tidak karuan. Baru kali ini ia merasakan kegelisahan yang begitu dalam. "Sumi, kamu ada di mana, sih, sebenarnya?" Alif memandang layar ponselnya, juga terus berpikir kemana perginya istri sirinya itu. Sumi sama sekali tidak menjawab ponselnya. Pesannya juga hanya dibaca saja tanpa dibalas. "Pak, apa di sini ada orang yang bisa menyewakan mobil?" Alif bangkit dan bertanya pada pemilik warung. "Ada, Bang. Di belakang warung ini ada mobil bak angkut barang yang sering disewa-sewain. Yang punya mobil ngontrak di situ juga." Mendengar jawaban bapak pemilik