"Mari Pak Rein, Bu Maira! Mobil yang akan mengantar kita ke bandara sudah datang." Fabian melirik arlojinya dan bergegas melangkah menuju lobi utama hotel. Analea berjalan anggun di sebelahnya. Sementara Maira dan Rein mengikuti di belakang mereka. Rein yang berada tepat di belakang Analea seketika terpukau melihat cara jalan Analea yang begitu anggun dan berwibawa. Kemudian tanpa sadar ia menoleh pada Maira yang sedang melangkah di sampingnya. Sesaat ia terkesiap karena mereka begitu mirip. Lagi-lagi Rein merutuki dirinya. Kenapa baru sekarang ia menyadari kemiripan itu. Fabian memilih duduk di kursi depan bersama supir. Analea membuka pintu geser mobil alphard yang menjemput mereka dan memilih untuk duduk di kursi belakang. Sedangkan Maira dan Rein duduk di kursi tengah. Selama berada di dalam mobil mereka berbicara hanya seperlunya saja. Sampai tiba di bandara hingga naik ke pesawat, Analea lebih banyak menyendiri. Ia juga tidak banyak bicara dengan Fabian, walau duduk bersebela
"Ikutlah dengan kami, Ana ...!" Maira semakin mempererat lingkaran tangannya pada lengan Analea. "Ibu mohon ... !" lanjut Maira lagi Analea tidak mungkin menolak Maira. Wajah wanita paruh baya itu sangat berharap. Analea tidak kuasa mengecewakan wanita yang sejak lama ia kagumi itu. "Baiklah, Bu. Kak Bian, aku ikut Bu Maira dan Pak Rein." Fabian mengangguk. Sedangkan Elkan tersenyum karena sudah bisa membaca situasi dan mengetahui permasalahan yang ada. Dua pria tampan beda usia itu memandang Analea masuk ke dalam mobil yang telah menjemput Maira dan Rein. Analea duduk tepat di sebelah Maira. Sedetik kemudian Analea terkejut karena Rein ikut masuk dan duduk di sebelahnya. Analea gugup karena saat ini ia diapit oleh sepasang suami istri itu. Ia pikir Rein akan duduk di depan di samping supir. Tapi ternyata tidak. Diam-diam ia merasakan sebuah kehangatan yang seumur hidupnya belum pernah ia rasakan. Fabian dan Elkan masih berdiri hingga mobil yang membawa Rein tak terlihat lagi. "
"Astaga! Kenapa aku jadi tidak tenang begini? Perasaanku tidak enak." Beberapa saat setelah kepergian Ratu, Alif terus gelisah. Pikirannyabterus tertuju pada Ratu. Apalagi ia melihat kondisi Ratu yang tidak memungkinkan untuk menyetir sendiri. "Anak itu lagi mabuk. Bisa-bisa dia ... Astaga! Aku harus menyusulnya. Tetapi ..., dia pasti ke Jakarta lewat pintu tol yang ada di depan sana." Alif memijit pelipisnya. Perasaannya seperti tidak karuan. Baru kali ini ia merasakan kegelisahan yang begitu dalam. "Sumi, kamu ada di mana, sih, sebenarnya?" Alif memandang layar ponselnya, juga terus berpikir kemana perginya istri sirinya itu. Sumi sama sekali tidak menjawab ponselnya. Pesannya juga hanya dibaca saja tanpa dibalas. "Pak, apa di sini ada orang yang bisa menyewakan mobil?" Alif bangkit dan bertanya pada pemilik warung. "Ada, Bang. Di belakang warung ini ada mobil bak angkut barang yang sering disewa-sewain. Yang punya mobil ngontrak di situ juga." Mendengar jawaban bapak pemilik
"Rein ... Rein ... bagaimana? Apa benar Ratu kecelakaan?" Maira panik melihat wajah Rein memucat. Ia menggenggam tangan suaminya dan ikut menjatuhkan tubuhnya ke sofa. "Rein ..." suara Maira makin pelan, ia melihat kekhawatiran yang mendalam dari wajah suaminya. Beberapa kali Rein mengusap kasar wajahnya. Tenggorakan Rein tercekat. Ia tak mampu bicara. Beberapa detik kemudian pria berperawakan bule itu menghela napas berat, lalu mulai bicara pada Maira. "Ya, Ratu kecelakaan. Sebaiknya kita segera ke rumah sakit." Rein perlahan bangkit berdiri. Ia memaksakan diri agar terlihat tenang di depan Maira dan semua orang. "Astaga Ratu ...," lirih Maira tak kalah panik. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan nyeri. Terlintas dibenaknya bahwa belakangan ini Maira sering berbeda pendapat hingga terjadi keributan dengan putrinya itu "Sumi, ambilkan tas saya! Lalu katakan pada Pak Pardi agar segera siapkan mobil!" lanjut Maira kembali berdiri, lalu mondar-mandir di ruangan itu. "Iy-iyaa, Bu." Su
"Rein, Rein, tunggu ...!" Maira bergegas menyusul suaminya yang telah melangkah lebih dulu mengikuti perawat. "Rein, kamu sadar nggak sih, kalau hasil darah kita nggak cocok dengan Ratu. Itu artinya dia bukaaan ..." Seketika langkah Rein terhenti. Wajahnya menegang dengan pandangan matanya tajam pada Maira. "Bukan apa? Kamu mau bilang kalau Ratu bukan anak kandung kita? Maira, disaat Ratu sedang kritis seperti ini kamu masih memikirkan siapa anak kandung dan bukan? Ibu macam apa kamu?" Maira tersentak mendengar ucapan Rein. Suaminya itu bicara pelan, namun dengan penuh penekanan dan tatapan yang begitu dingin. Dada Maira terasa sesak. Baru kali ini Rein bicara dengan kalimat sedikit kasar padanya. Namun, wanita itu tak ingin emosinya terpancing. Ia berusaha memahami perasaan Rein saat ini. Suaminya itu memang sangat menyayangi Ratu. Maira menghirup udara banyak-banyak demi mengurangi rasa sesak itu. Lalu mulai menyusul Rein lagi yang kembali melanjutkan langkahnya. "Bukan itu m
Tak terasa hari sudah pagi. Alif baru saja terjaga, semalaman ia tidur di kursi ruang tunggu pasien yang berada di sekitar lorong. "Dimana kamu sebenarnya sekarang, Sumi? Apa kamu nggak takut ketemu Bang Begenk dan kamu akan ditagih utang sama preman brengsek itu?" Alif kembali memandang layar ponselnya. Menarik napas panjang berkali-kali. Lalu pria gondrong itu membuka dompetnya. Hatinya miris melihat isi dompet lusuh itu tinggal lima ribu rupiah. Uang dari Mela sudah habis. Bahkan ia belum mengembalikan mobil bak yang ia sewa. Biasanya Sumi akan memberinya uang jika dompetnya kosong. Lagi-lagi Alif menghela napas panjang. Sejak semalam ia bahkan belum makan. Pagi ini ia janji akan mengembalikan mobil itu pada pemiliknya. Alif bangkit berdiri, lalu berjalan menuju lobi utama rumah sakit. Namun saat tiba di lobi, ia melihat seorang pria dan wanita berjalan bergandengan, hingga langkah Alif terhenti. "Bukankah itu calon suaminya Ratu? Kurang ajar! Kenapa dia malah menggandeng pere
"Ya Tuhan, apa itu benar suara Bang Gondrong yang panggil-panggil aku barusan? Aku enggak berani nengok, kalau memang benar Bang Gondrong, bisa kacau nantinya. Dia pasti akan ganggu aku terus." Sumi berjalan tergesa-gesa menuju kamar VVIP. Sesekali ia menoleh ke belakang, khawatir ada yang mengikuti. "Ada apa, Mbak Sumi? Kenapa seperti orang ketakutan gitu? Ada yang kejar?" Saat tiba di depan ruang rawat Ratu, Maira terheran melihat wajah Sumi memucat dan napas terengah-engah. "Oh, engg ... enggak, Bu. Tadi ... saya ketemu orang nggak waras di kantin. Makanya ... saya buru-buru," sahut Sumi tergagap dan terpaksa berbohong. "Ya sudah, Mbak Sumi istirahat saja. Saya mau ke kantor. Tolong jaga Ratu dengan baik. Jangan diambil hati kalau dia bicara kasar. Lakukan saja tugas Mbak Sumi dengan benar!" Maira kembali masuk dan meraih tas cangklongnya. Ia harus ke kantor hari ini. Kaisar pulang dan dia akan bicara dengan putranya itu atas semua yang terjadi dalam beberapa hari ini. "Bapak j
Kaisar berdiri dan melangkah mendekat pada Analea. Lalu ia berdiri dan bersandar pada tepi meja. Saat ini jaraknya dengan Analea hanya berjarak tak sampai dua langkah. Setelah menghela napas panjang, Kaisar pun mulai berbicara. "Ana ... selama aku di jepang, aku merenung." Analea menegang. Cara bicara Kaisar pun kini berbeda. Ia menyebut dirinya dengan kata aku. "Selama ini aku merasa ada sesuatu yang aku rasakan setiap berada di dekatmu. Mm-maaf ... maksudku ... entahlah, jujur aku tidak bisa memahami perasaan ini. Tetapi ..., selama aku di jepang, aku selalu ingat kamu. Mungkin ... aku ingin mencoba sebuah hubungan yang ... spesial ... mungkin?" Tatapan mereka bertemu beberapa saat. Analea terdiam dengan pikiran tak menentu. Masalah test DNA , hubungannya dengan Fabian serta pekerjaannya sebagai sekretaris di Eternal group. Ia merasa semua ini tidak dapat ia percaya. "Ana ... bagaimana? Mungkin ..., kita bisa memulai hubungan dari awal. Apalagi sekarang Fabian sudah akan menik