"Apaa? Menikah? Tidak. Mereka tidak boleh menikah. Pastikan agar mereka tidak jadi menikah hari ini!" Maira terduduk lemas di kursi kebesaran yang ada di ruang presdir Eternal Group. Tubuhnya gemetar dengan pandangan kosong pada langit-langit. "Ya Tuhan. Apa yang harus aku lakukan. Jika benar Analea putriku, pernikahan mereka tidak akan sah. Karena wali Analea masih hidup. Analea masih memiliki Ayah. Aku tidak boleh membirkan mereka menjalani pernikahan itu sebelum adanya bukti tentang dugaanku selama ini." Pikiran Maira terus berkecamuk. Ia terus berpikir mencari cara untuk mencari jawaban atas keresahannya selama ini tanpa diketahui Rein dan Analea. Ia akan mengatakan pada mereka jika memang terbukti bahwa Analea adalah putrinya.Tapi bagaimana caranya? Maira masih gelisah. Beberapa kali ia menghela napas berat. Sesaat ia berdiri, lalu melangkah kesana dan kemari. Terus berpikir mencari jalan keluar. Beberapa menit kemudian, ia menarik napas panjang dan meraih ponselnya. "Hallo
"Pak Rein ...!" Analea dan Fabian yang sedang duduk di hadapan penghulu, wali hakim dan saksi, spontan berdiri dan menoleh ke arah pintu. Suara hantaman pintu yang cukup keras pada dinding membuat semua orang yang ada di ruangan itu menoleh dan terpekik. Rein menggandeng tangan Maira dan melangkah masuk ke dalam ruangan. "Ada apa ini?" Ada apa?" Terdengar suara pak penghulu dan lainnya yang berada.di sekitar meja itu. Mereka berdiri dan memandang ke arah Rein dan Maira yang semakin mendekat. "Bu Maira ... Ya, Tuhan ..." Analea kembali terkejut melihat kehadiran Maira. Ia semakin merasa bersalah. "Maaf, saya Rein dan ini istri saya Maira. Kami minta maaf. Kami mohon agar pernikahan ini ditunda. Karena ..." Kalimat Rein terhenti, pria itu menoleh pada Maira. Ia masih ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya. "Maaf, Pak penghulu dan bapak-bapak lainnya. Pernikahan ini sebaiknya ditunda dulu. Karena ... kemungkinan wali dari pengantin wanita masih hidup. Jika pernikahan ini tetap
"Saya mohon jangan pergi!" Tangan kekar Rein mencekal lengan Analea lebih erat. "Tapi, Pak ..." "Saya mau bicara." Rein menatap Analea begitu lekat dengan tatapan memohon. Analea diam sejenak, lalu kembali bicara. "Bapak mau bicara apa? Tapi tolong lepaskan tangan saya!" ujar Analea dingin. "Baiklah." seketika Rein melepaskan cengkraman tangannya. Sejurus kemudian Analea duduk kembali di kursi taman itu, diikuti oleh Rein yang kini berada di sebelahnya. "Ana, saya minta maaf. Selama ini sikap saya ... mungkin ... kurang berkenan di hatimu. Saya ... sudah menyinggung perasaanmu." Rein memandang Analea lebih intens. Kamu mau, kan, maafin, saya?" Analea mengangguk cepat. Ia hanya ingin segera pergi dari sana. Ada rasa yang tertahan dari dalam dirinya. Ia tak ingin Rein mengetahui hal itu. "Saya sudah maafin Bapak. Jadi, biarkan saya pergi." Analea berdiri lagi dan mulai melangkah mundur. Kali ini Rein tak bisa lagi mencegah kepergian Analea. Ia menatap punggung ramping Analea y
"Mari Pak Rein, Bu Maira! Mobil yang akan mengantar kita ke bandara sudah datang." Fabian melirik arlojinya dan bergegas melangkah menuju lobi utama hotel. Analea berjalan anggun di sebelahnya. Sementara Maira dan Rein mengikuti di belakang mereka. Rein yang berada tepat di belakang Analea seketika terpukau melihat cara jalan Analea yang begitu anggun dan berwibawa. Kemudian tanpa sadar ia menoleh pada Maira yang sedang melangkah di sampingnya. Sesaat ia terkesiap karena mereka begitu mirip. Lagi-lagi Rein merutuki dirinya. Kenapa baru sekarang ia menyadari kemiripan itu. Fabian memilih duduk di kursi depan bersama supir. Analea membuka pintu geser mobil alphard yang menjemput mereka dan memilih untuk duduk di kursi belakang. Sedangkan Maira dan Rein duduk di kursi tengah. Selama berada di dalam mobil mereka berbicara hanya seperlunya saja. Sampai tiba di bandara hingga naik ke pesawat, Analea lebih banyak menyendiri. Ia juga tidak banyak bicara dengan Fabian, walau duduk bersebela
"Ikutlah dengan kami, Ana ...!" Maira semakin mempererat lingkaran tangannya pada lengan Analea. "Ibu mohon ... !" lanjut Maira lagi Analea tidak mungkin menolak Maira. Wajah wanita paruh baya itu sangat berharap. Analea tidak kuasa mengecewakan wanita yang sejak lama ia kagumi itu. "Baiklah, Bu. Kak Bian, aku ikut Bu Maira dan Pak Rein." Fabian mengangguk. Sedangkan Elkan tersenyum karena sudah bisa membaca situasi dan mengetahui permasalahan yang ada. Dua pria tampan beda usia itu memandang Analea masuk ke dalam mobil yang telah menjemput Maira dan Rein. Analea duduk tepat di sebelah Maira. Sedetik kemudian Analea terkejut karena Rein ikut masuk dan duduk di sebelahnya. Analea gugup karena saat ini ia diapit oleh sepasang suami istri itu. Ia pikir Rein akan duduk di depan di samping supir. Tapi ternyata tidak. Diam-diam ia merasakan sebuah kehangatan yang seumur hidupnya belum pernah ia rasakan. Fabian dan Elkan masih berdiri hingga mobil yang membawa Rein tak terlihat lagi. "
"Astaga! Kenapa aku jadi tidak tenang begini? Perasaanku tidak enak." Beberapa saat setelah kepergian Ratu, Alif terus gelisah. Pikirannyabterus tertuju pada Ratu. Apalagi ia melihat kondisi Ratu yang tidak memungkinkan untuk menyetir sendiri. "Anak itu lagi mabuk. Bisa-bisa dia ... Astaga! Aku harus menyusulnya. Tetapi ..., dia pasti ke Jakarta lewat pintu tol yang ada di depan sana." Alif memijit pelipisnya. Perasaannya seperti tidak karuan. Baru kali ini ia merasakan kegelisahan yang begitu dalam. "Sumi, kamu ada di mana, sih, sebenarnya?" Alif memandang layar ponselnya, juga terus berpikir kemana perginya istri sirinya itu. Sumi sama sekali tidak menjawab ponselnya. Pesannya juga hanya dibaca saja tanpa dibalas. "Pak, apa di sini ada orang yang bisa menyewakan mobil?" Alif bangkit dan bertanya pada pemilik warung. "Ada, Bang. Di belakang warung ini ada mobil bak angkut barang yang sering disewa-sewain. Yang punya mobil ngontrak di situ juga." Mendengar jawaban bapak pemilik
"Rein ... Rein ... bagaimana? Apa benar Ratu kecelakaan?" Maira panik melihat wajah Rein memucat. Ia menggenggam tangan suaminya dan ikut menjatuhkan tubuhnya ke sofa. "Rein ..." suara Maira makin pelan, ia melihat kekhawatiran yang mendalam dari wajah suaminya. Beberapa kali Rein mengusap kasar wajahnya. Tenggorakan Rein tercekat. Ia tak mampu bicara. Beberapa detik kemudian pria berperawakan bule itu menghela napas berat, lalu mulai bicara pada Maira. "Ya, Ratu kecelakaan. Sebaiknya kita segera ke rumah sakit." Rein perlahan bangkit berdiri. Ia memaksakan diri agar terlihat tenang di depan Maira dan semua orang. "Astaga Ratu ...," lirih Maira tak kalah panik. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan nyeri. Terlintas dibenaknya bahwa belakangan ini Maira sering berbeda pendapat hingga terjadi keributan dengan putrinya itu "Sumi, ambilkan tas saya! Lalu katakan pada Pak Pardi agar segera siapkan mobil!" lanjut Maira kembali berdiri, lalu mondar-mandir di ruangan itu. "Iy-iyaa, Bu." Su
"Rein, Rein, tunggu ...!" Maira bergegas menyusul suaminya yang telah melangkah lebih dulu mengikuti perawat. "Rein, kamu sadar nggak sih, kalau hasil darah kita nggak cocok dengan Ratu. Itu artinya dia bukaaan ..." Seketika langkah Rein terhenti. Wajahnya menegang dengan pandangan matanya tajam pada Maira. "Bukan apa? Kamu mau bilang kalau Ratu bukan anak kandung kita? Maira, disaat Ratu sedang kritis seperti ini kamu masih memikirkan siapa anak kandung dan bukan? Ibu macam apa kamu?" Maira tersentak mendengar ucapan Rein. Suaminya itu bicara pelan, namun dengan penuh penekanan dan tatapan yang begitu dingin. Dada Maira terasa sesak. Baru kali ini Rein bicara dengan kalimat sedikit kasar padanya. Namun, wanita itu tak ingin emosinya terpancing. Ia berusaha memahami perasaan Rein saat ini. Suaminya itu memang sangat menyayangi Ratu. Maira menghirup udara banyak-banyak demi mengurangi rasa sesak itu. Lalu mulai menyusul Rein lagi yang kembali melanjutkan langkahnya. "Bukan itu m
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof