"Astaga ...! Kenapa mereka mirip sekali?" Rein semakin tertegun menatap dua wanita beda usia yang kini berada tak jauh di depannya. "Daad ...!" Teriakan Ratu membuat Rein tersentak. Putrinya itu tiba-tiba menghambur ke dalam pelukannya. Sesaat kemudian Ratu tersadar bahwa Sumi masih mengikutinya. "Heh! Ngapain ngikutin melulu, sih?" Ratu melepas pelukannya pada Rein, lalu berdiri melotot pada Sumi. "Ratu ... yang sopan!" sentak Maira pelan. "M-maaf, Non. Ini tadi hapenya Non jatuh waktu Non mau keluar kamar." Dengan tangan gemetar, Sumi menyodorkan ponsel pada Ratu. "Ck! Kenapa nggak bilang dari tadi aja, sih? Dasar udah tua kerjanya ribet!" Ratu kembali menggerutu sembari meraih ponselnya dengan kasar. Dan hal itu lagi-lagi membuat Maira menahan napas karena kesal. "Sudah, Mbak Sumi boleh istirahat. Sudah malam!" Maira berkata lembut sembari mengangguk pada Sumi. "Ayo makan bareng Daddy dan Mama!" ajak Rein sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Sedangkan Maira masih me
"Maaf Pak Kaisar, Pak Fabian tidak bisa datang. Beliau mendadak sakit. Jadi, meeting kali ini saya yang menggantikan." Joshua mengangguk sopan pada Kaisar. "Silakan duduk, Pak Kaisar, Ana!" Joshua mengulurkan tangannya ke arah sofa tamu yang ada di ruangan itu. "Sakit? Fabian sakit apa?" tanya Kaisar setelah mendudukkan tubuhnya. "Sepertinya kelelahan. Pak Fabian baru saja pulang dari jepang dua hari yang lalu. Kaisar mengangguk. Sementara Analea hanya diam menyimak. Diam-diam ada rasa khawatir dalam hatinya. "Semoga saja Kak Bian benar hanya kelelahan." pikirnya. Meeting kali ini tetap berjalan walau tanpa Fabian. Meski ada rasa yang berbeda dan kehilangan, Analea tetap harus profesional dan mengikuti jalannya rapat hingga selesai. Namun ternyata ada hal lain yang berbeda. Selama meeting ia tidak melihat Hamid di ruangan itu. Nandita ditemani oleh team dengan personil yang berbeda. Tapi Analea tidak menghiraukannya "Pak, saya izin ke toilet sebentar!" ujar Analea ketika rapat
"Leaaa ...." "Kak Bian ...." Kedua pasang mata itu bertemu dan saling menatap penuh rindu. Debaran-debaran indah yang mereka rasakan membuat aliran darah mereka mengalir semakin cepat. Hingga kehangatan kian menguasai hati. "Masuklah!" Tanpa mengalihkan tatapannya, Fabian meraih jemari Analea dan membawa wanita cantik itu masuk ke dalam ruang pribadinya. Sekian detik kemudian Analea tersentak mendengar suara pintu ditutup rapat. Sesaat ia menoleh ke pintu. Ia baru menyadari kalau Fitri sudah tidak ada di antara mereka. Pandangan Analea kembali pada jemarinya yang digenggam erat oleh Fabian. Analea merasakan jemari Fabian lebih hangat dari biasanya. Kembali ditatapnya Fabian. Pria itu memang terlihat sedikit pucat. "Kak Bian sakit apa?" Analea memberanikan diri bicara lebih dulu. "Tidak apa-apa. Sebentar lagi juga akan sembuh. Obatnya sudah ada di sini." Fabian tersenyum menggoda Analea dengan mengedipkan sebelah matanya. Hingga wanita itu tersipu malu. "Ehm ... boleh peluk?"
"Bagaimana ini, Kak?" Wajah Analea terlihat panik. Keduanya saling menatap beberapa saat. "Mungkin sudah saatnya aku harus mengatakan hal ini pada Ayah dan ibu." "Tidak, Kak. Jangan! Ibu masih sakit. Sebaiknya Aku pergi saja." Analea berusaha melepaskan diri dari Fabian. Hingga pria itu tersentak. "Lea mau kemana?" Fabian terhenyak melihat tiba-tiba saja Analea menjauh darinya. "Mbak Fitri, tolong bantu aku keluar dari rumah ini lewat pintu yang lain." Analea menghampiri Fitri dan meraih lengan kepala asisten rumah tangga itu. Dengan bimbang Fitri menoleh pada Fabian seolah-olah sedang meminta pendapat majikannya itu. Melihat Analea yang memang ingin pergi, Fabian tak mungkin memaksa. Dengan berat hati ia mengangguk pada Fitri dan membiarkan Analea pergi. "Mari Non Ana, lewat sini!" Fitri membwwa Analea ke arah taman. Analea mengikuti. Namun arah pandangnya masih tertuju pada Fabian. Pria itu pun masih menatap lekat padanya hingga Analea harus berbelok menuju sebuah gerbang kec
" Tuan, apa hari ini Tuan ke kantor?" Fitri tergopoh-gopoh menghampiri Fabian yang baru saja keluar kamar dan sudah mengenakan stelan jas mewahnya. "Ya. Katakan pada supirku, siapkan mobil. Oh ya, dimana Ayah dan Ibu?" Fabian berdiri sambil membetulkan dasinya. "Tuan dan nyonya besar sedang sarapan. Mereka menunggu Tuan di meja makan." Mendengar jawaban Fitri, Fabian mengangguk dan bergegas melangkah ke ruang makan. "Selamat pagi, Ayah, Ibu!" "Bian, bagaimana kondisi Bian hari ini? Sudah lebih sehat?" Fatma tersenyum melihat wajah Fabian yang tidak lagi pucat. "Sudah, Bu. Bagaimana? Apa Ayah dan Ibu jadi ke rumah Pak Rein hari ini?" Mendengar pertanyaan Fabian, Fatma dan Arthur saling pandang. "Ya, tapi Bian tidak usah ikut. Biar kami saja. Ayah dan ibu hanya sekedar berkunjung." Fabian mengangguk. Dalam hatinya ia bersyukur karena jika ia tidak ikut, kemungkinan rencana pernikahan itu tidak akan dibicarakan malam ini. Fabian memilih hanya minum segelas sereal pagi itu. Set
"Kenapa Anda memandang calon istri saya seperti itu?" Fabian tidak terima dan menegur pria paruh baya berbadan gemuk itu. Akan tetapi pria itu tidak menjawab, malah justru tersenyum sinis pada Analea. "Apa Lea mengenal pria ini?" bisik Fabian dengan sedikit menunduk pada Analea. Analea mengangguk dengan takut-takut. Cengkraman tangannya semakin erat pada Fabian. Tubuhnya gemetar. Fabian terkejut melihat Analea mengangguk. Kemudian pandangannya beralih pada pria tadi yang masih berdiri tak jauh dari Fabian dan Analea. Sementara teman-teman pria itu sudah lebih dulu masuk ke dalam cafe"Maaf, ada urusan apa Anda dengan calon istri saya?" Fabian bertanya dengan nada cukup tegas. Pria itu menyeringai. "Jadi kamu calon suaminya? Kamu pasti orang kaya dan banyak uang. Jadi, bisa dong lunasin hutang-hutang dia?" Pria itu menunjuk Analea dengan menggerakkan dagunya. "Hutang? Hutang apa?" Fabian menoleh pada Analea dan pria itu secara bergantian. "Tidak, Kak. Aku tidak pernah berhutang
"Astaga ... itu ... suara Ratu. Ternyata dia ..." Fatma menekan dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. " Ssshh ...aduh! "Bu. Ibu kenapa?" Arthur seketika cemas melihat Fatma memejamkan matanya seperti menahan sakit. Pria tua itu segera meraih tubuh istrinya dan menyandarkan ke sofa. "Tidak apa-apa, Yah. Ibu ... hanya kaget saja." Suara Fatma terdengar lemah. "Tante Fatma kenapa, Om?"Kaisar yang baru saja tiba di ruangan itu langsung menghampiri Fatma. "Tante Fatma hanya kaget," sahut Arthur sambil mengusap bahu Fatma dengan lembut. "Sebaiknya tante Fatma istirahat dulu di kamar tamu. Kebetulan ruangannya ada di sebelah sini. Ayo!" Kaisar membantu Fatma untuk bangkit dan pindah kamar tamu. "Maaf, Tante Fatma tadi kaget kenapa? Apa ada berita yang mengejutkan atau suara yang cukup keras?" Kaisar membantu menuntun Fatma ke kamar tamu yang ada di sebelah ruangan itu. "Tante Fatma? Om Arthur?Kalian baru tiba?" Ratu terkejut melihat keberadaan sepasang suami istri itu di rumahnya. Ia
"Bu Maira, dimana Ayah dan Ibu saya?" Fabian bertanya tanpa menghiraukan Ratu. Bahkan pria itu sama sekali tidak menoleh pada Ratu. Langkahnya dari pintu terus mendekat pada Maira. "Bian, syukurlah kamu sudah datang. Ayo saya antar ke kamar tamu. Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa." Maira berjalan melewati Ratu. Kemudian melangkah bersisian dengan Fabian menuju kamar tamu. "Kenapa Kak Bian cuekin gue? Apa dia barusan dengar apa yang gue omongin? Ah, bodo amat! Yang penting cowok kaya raya itu udah jadi tunangan gue. Sebentar lagi kita akan menikah. Gue harus mendesaknya biar dia lebih cepat nikahin gue." Ratu bergumam sendiri, lalu bergerak mengikuti Maira dan Fabian ke kamar tamu. Namun baru beberapa langkah kakinya berjalan, terdengar suara seorang security memanggil. "Non, Non Ratu, ada dokter Clara datang." Security itu datang tergopoh-gopoh menghampiri Ratu. "Suruh masuk, cepat!" ketus Ratu sambil bertolak pinggang. Beberapa detik kemudian seorang wanita memakai jas