"Kenapa lama sih?' Alif berdecak kesal saat seorang wanita paruh baya berbadan sedikit gemuk menghampiriya. "Lagian Abang sampenya sebelum jam istirahat. Mana boleh aku keluar," sungut wanita itu seraya menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah Alif. "Bayarin kopi, dong, Bang!" Wanita itu melirik kopi di hadapan Alif yang tinggal setengah. "Pesen sana! Mau makan?" Wanita berkulit sawo matang itu lalu memesan segelas kopi susu pada pemilik warung. "Mau makan, Mbak Sumi?" tanya pemilik warung mengulang pertanyaan Alif. "Makan di sini adanya cuma mie sama kacang ijo. Bosen, ah!" Sumi menerima secangkir kopi dan langsung menyeruputnya dengan menggunakan sendok. "Bang Gondrong, makan nasi padang, yuk! Katanya ada yang mau diomongin. Sambil makan di warung makan padang itu, Bang!' Wanita yang dipanggil Sumi itu menunjuk sebuah warung nasi di seberang jalan. "Nggak punya duit. Bubur kacang ijo aja, sehat!" Alif bicara sekenanya. Lalu mulai menyalakan rokok "Nggak punya duit terus. Mak
"Kata Bang Gondrong, anakku tinggal sama orang kaya di Jakarta. Tapi Aku nggak tau alamatnya. Bagaimana caranya aku cari dia? Namanya saja aku nggak tau." Sumi terus melamun sepanjang melangkah pulang ke rumah. Sejak kepergian Maira, ia terus berpikir ingin menerima tawaran Maira untuk kerja di rumahnya. Apalagi pekerjaannya yang sekarang sudah tidak cocok untuknya. Dia jarang sekali dipilih oleh pada pelanggan. Hanya pelanggan yang benar-benar ingin dipijat saja yang memilih dirinya. Pijatan Sumi dikenal cukup bertenaga karena tubuh Sumi yang sedikit gemuk. Tapi ia jarang mendapatkan tip, karena ia tidak memberikan service tambahan seperti teman-temannya yang lain. Di tengah perjalanan Sumi berhenti di warung nasi pinggir jalan. Ia membeli dua bungkus nasi untuknya dan Alif. "Mbak, dua bungkus ya! Lauknya tahu tempe dan sambel aja." "Kok tumben belinya dua? Lagi ada suaminya datang ya, Mbak Sumi?" tanya wanita pemilik warung. "Iyaaa," sahut Sumi singkat. "Rasanya gimana sih jad
"Hallo, Bu Maira!" "Ya, Hallo, Mbak Sumi. Bagaimana? Apa sudah ada keputusan?" Maira yang sedang dalam perjalanan menuju Eternal Group menerima panggilan telepon dari Sumi. "Iy-iyya, Bu. Tapi ... bagaimana saya bisa ke rumah ibu? Saya sudah lama sekali tidak ke Jakarta," ujar Sumi dari seberang sana. "Mbak Sumi kalau naik kereta bisa? Nanti dijemput supir saya di stasiun tebet." "Kereta? Baik, Bu. Nanti saya tanya-tanya orang saja." "Baiklah. Mbak Sumi kasih kabar, ya! Biar supir saya yang kemarin langsung jemput." Setelah mendengar jawaban terakhir dari Sumi, Maira menutup ponselnya. "Pak Pardi, saya minta tolong sama Bapak, sementara ini kita rahasiakan mengenai Sumi. Pak Rein dan anak-anak tidak pernah ikut campur masalah ART di rumah. Sumi ini adalah jembatan saya untuk mencari informasi dari Alif. Mungkin Bapak belum mengerti maksud saya. Tapi saya minta Bapak tidak menceritakan pada siapapun tentang Sumi , Alif dan saya yang beberapa kali ke Gang Mangkal." Maira bicara pa
"Sayaaa ... maaf, Ana. Entah kenapa ... rasanya ada sebuah ikatan bathin di antara kita. Antara saya dan kamu. Yaaa, barangkali kita masih ada ikatan darah atau ... semacam tali persaudaraan." Analea masih tidak mengerti. Wanita cantik itu hanya diam dan memandang bingung pada Maira. Apa mungkin ia ada hubungan saudara dengan Maira? Bukankah orang-orang bilang ibunya adalah seorang wanita malam? Bahkan ada yang bilang bahwa sebenarnya orang-orang tidak tau siapa ayahnya karena ibunya tidur dengan banyak pria? Analea tersadar dari lamunannya saat Maira kembali berbicara. "Mmmm ... bukan, saya bukan bermaksud mengada-ada atau semacam itu. Tapi ... ini memang aneh. Maaf kalau kamu jadi bingung." Maira memandang Analea dengan intens. "Nama ibu saya ... Sumi, Bu. Tapi, saya belum sempat bertemu. Melihat fotonya pun belum pernah. Jadi, saya tidak tau wajahnya seperti apa." Maira mengangguk. Hatinya semakin kuat dan yakin dengan dugaannya selama ini. Pandangannya masih tertuju pada netr
"Selamat siang, Bu Maira. Ibu panggil saya?" Sumi menunduk dan sedikit membungkuk di dekat pintu kamar Ratu. Seketika Ratu menoleh dan mengerutkan dahinya. "Wajah itu, kok kayaknya nggak asing?" pikir Ratu dalam hati "Masuk sini, Mbak Sum!" Sumi masuk dengan sedikit menunduk. Kemudian saat tiba di dekat Maira dan Ratu ia menegakkan kepalanya. Wanita bertubuh gemuk itu terdiam sesaat ketika bertemu mata dengan Ratu. Entah apa yang ada dalam pikiran Sumi, ia sempat termenung saat menatap wajah Ratu. "Ini Ratu, putri saya. Mbak Sumi tugasnya nanti melayani semua keperluan Ratu dan membereskan kamar tidurnya ini. Lihatlah, tidak ada bedanya dengan kapal pecah!" Pandangan Maira mengelilingi seisi kamar. "Iya, Bu." Sumi tersenyum sembari mengikuti arah pandang Maira. "Ya, sudah. Saya mau ke kamar dulu." Maira melangkah keluar dari kamar Ratu. "Mamaaa ... Mama mau kemana? Aku nggak mau ada orang lain di kamarku, Maa ...!" Ratu terus protes sambil mengikuti Maira. Namun hingga sampai d
"Astaga ...! Kenapa mereka mirip sekali?" Rein semakin tertegun menatap dua wanita beda usia yang kini berada tak jauh di depannya. "Daad ...!" Teriakan Ratu membuat Rein tersentak. Putrinya itu tiba-tiba menghambur ke dalam pelukannya. Sesaat kemudian Ratu tersadar bahwa Sumi masih mengikutinya. "Heh! Ngapain ngikutin melulu, sih?" Ratu melepas pelukannya pada Rein, lalu berdiri melotot pada Sumi. "Ratu ... yang sopan!" sentak Maira pelan. "M-maaf, Non. Ini tadi hapenya Non jatuh waktu Non mau keluar kamar." Dengan tangan gemetar, Sumi menyodorkan ponsel pada Ratu. "Ck! Kenapa nggak bilang dari tadi aja, sih? Dasar udah tua kerjanya ribet!" Ratu kembali menggerutu sembari meraih ponselnya dengan kasar. Dan hal itu lagi-lagi membuat Maira menahan napas karena kesal. "Sudah, Mbak Sumi boleh istirahat. Sudah malam!" Maira berkata lembut sembari mengangguk pada Sumi. "Ayo makan bareng Daddy dan Mama!" ajak Rein sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Sedangkan Maira masih me
"Maaf Pak Kaisar, Pak Fabian tidak bisa datang. Beliau mendadak sakit. Jadi, meeting kali ini saya yang menggantikan." Joshua mengangguk sopan pada Kaisar. "Silakan duduk, Pak Kaisar, Ana!" Joshua mengulurkan tangannya ke arah sofa tamu yang ada di ruangan itu. "Sakit? Fabian sakit apa?" tanya Kaisar setelah mendudukkan tubuhnya. "Sepertinya kelelahan. Pak Fabian baru saja pulang dari jepang dua hari yang lalu. Kaisar mengangguk. Sementara Analea hanya diam menyimak. Diam-diam ada rasa khawatir dalam hatinya. "Semoga saja Kak Bian benar hanya kelelahan." pikirnya. Meeting kali ini tetap berjalan walau tanpa Fabian. Meski ada rasa yang berbeda dan kehilangan, Analea tetap harus profesional dan mengikuti jalannya rapat hingga selesai. Namun ternyata ada hal lain yang berbeda. Selama meeting ia tidak melihat Hamid di ruangan itu. Nandita ditemani oleh team dengan personil yang berbeda. Tapi Analea tidak menghiraukannya "Pak, saya izin ke toilet sebentar!" ujar Analea ketika rapat
"Leaaa ...." "Kak Bian ...." Kedua pasang mata itu bertemu dan saling menatap penuh rindu. Debaran-debaran indah yang mereka rasakan membuat aliran darah mereka mengalir semakin cepat. Hingga kehangatan kian menguasai hati. "Masuklah!" Tanpa mengalihkan tatapannya, Fabian meraih jemari Analea dan membawa wanita cantik itu masuk ke dalam ruang pribadinya. Sekian detik kemudian Analea tersentak mendengar suara pintu ditutup rapat. Sesaat ia menoleh ke pintu. Ia baru menyadari kalau Fitri sudah tidak ada di antara mereka. Pandangan Analea kembali pada jemarinya yang digenggam erat oleh Fabian. Analea merasakan jemari Fabian lebih hangat dari biasanya. Kembali ditatapnya Fabian. Pria itu memang terlihat sedikit pucat. "Kak Bian sakit apa?" Analea memberanikan diri bicara lebih dulu. "Tidak apa-apa. Sebentar lagi juga akan sembuh. Obatnya sudah ada di sini." Fabian tersenyum menggoda Analea dengan mengedipkan sebelah matanya. Hingga wanita itu tersipu malu. "Ehm ... boleh peluk?"