"Sayaaa ... maaf, Ana. Entah kenapa ... rasanya ada sebuah ikatan bathin di antara kita. Antara saya dan kamu. Yaaa, barangkali kita masih ada ikatan darah atau ... semacam tali persaudaraan." Analea masih tidak mengerti. Wanita cantik itu hanya diam dan memandang bingung pada Maira. Apa mungkin ia ada hubungan saudara dengan Maira? Bukankah orang-orang bilang ibunya adalah seorang wanita malam? Bahkan ada yang bilang bahwa sebenarnya orang-orang tidak tau siapa ayahnya karena ibunya tidur dengan banyak pria? Analea tersadar dari lamunannya saat Maira kembali berbicara. "Mmmm ... bukan, saya bukan bermaksud mengada-ada atau semacam itu. Tapi ... ini memang aneh. Maaf kalau kamu jadi bingung." Maira memandang Analea dengan intens. "Nama ibu saya ... Sumi, Bu. Tapi, saya belum sempat bertemu. Melihat fotonya pun belum pernah. Jadi, saya tidak tau wajahnya seperti apa." Maira mengangguk. Hatinya semakin kuat dan yakin dengan dugaannya selama ini. Pandangannya masih tertuju pada netr
"Selamat siang, Bu Maira. Ibu panggil saya?" Sumi menunduk dan sedikit membungkuk di dekat pintu kamar Ratu. Seketika Ratu menoleh dan mengerutkan dahinya. "Wajah itu, kok kayaknya nggak asing?" pikir Ratu dalam hati "Masuk sini, Mbak Sum!" Sumi masuk dengan sedikit menunduk. Kemudian saat tiba di dekat Maira dan Ratu ia menegakkan kepalanya. Wanita bertubuh gemuk itu terdiam sesaat ketika bertemu mata dengan Ratu. Entah apa yang ada dalam pikiran Sumi, ia sempat termenung saat menatap wajah Ratu. "Ini Ratu, putri saya. Mbak Sumi tugasnya nanti melayani semua keperluan Ratu dan membereskan kamar tidurnya ini. Lihatlah, tidak ada bedanya dengan kapal pecah!" Pandangan Maira mengelilingi seisi kamar. "Iya, Bu." Sumi tersenyum sembari mengikuti arah pandang Maira. "Ya, sudah. Saya mau ke kamar dulu." Maira melangkah keluar dari kamar Ratu. "Mamaaa ... Mama mau kemana? Aku nggak mau ada orang lain di kamarku, Maa ...!" Ratu terus protes sambil mengikuti Maira. Namun hingga sampai d
"Astaga ...! Kenapa mereka mirip sekali?" Rein semakin tertegun menatap dua wanita beda usia yang kini berada tak jauh di depannya. "Daad ...!" Teriakan Ratu membuat Rein tersentak. Putrinya itu tiba-tiba menghambur ke dalam pelukannya. Sesaat kemudian Ratu tersadar bahwa Sumi masih mengikutinya. "Heh! Ngapain ngikutin melulu, sih?" Ratu melepas pelukannya pada Rein, lalu berdiri melotot pada Sumi. "Ratu ... yang sopan!" sentak Maira pelan. "M-maaf, Non. Ini tadi hapenya Non jatuh waktu Non mau keluar kamar." Dengan tangan gemetar, Sumi menyodorkan ponsel pada Ratu. "Ck! Kenapa nggak bilang dari tadi aja, sih? Dasar udah tua kerjanya ribet!" Ratu kembali menggerutu sembari meraih ponselnya dengan kasar. Dan hal itu lagi-lagi membuat Maira menahan napas karena kesal. "Sudah, Mbak Sumi boleh istirahat. Sudah malam!" Maira berkata lembut sembari mengangguk pada Sumi. "Ayo makan bareng Daddy dan Mama!" ajak Rein sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Sedangkan Maira masih me
"Maaf Pak Kaisar, Pak Fabian tidak bisa datang. Beliau mendadak sakit. Jadi, meeting kali ini saya yang menggantikan." Joshua mengangguk sopan pada Kaisar. "Silakan duduk, Pak Kaisar, Ana!" Joshua mengulurkan tangannya ke arah sofa tamu yang ada di ruangan itu. "Sakit? Fabian sakit apa?" tanya Kaisar setelah mendudukkan tubuhnya. "Sepertinya kelelahan. Pak Fabian baru saja pulang dari jepang dua hari yang lalu. Kaisar mengangguk. Sementara Analea hanya diam menyimak. Diam-diam ada rasa khawatir dalam hatinya. "Semoga saja Kak Bian benar hanya kelelahan." pikirnya. Meeting kali ini tetap berjalan walau tanpa Fabian. Meski ada rasa yang berbeda dan kehilangan, Analea tetap harus profesional dan mengikuti jalannya rapat hingga selesai. Namun ternyata ada hal lain yang berbeda. Selama meeting ia tidak melihat Hamid di ruangan itu. Nandita ditemani oleh team dengan personil yang berbeda. Tapi Analea tidak menghiraukannya "Pak, saya izin ke toilet sebentar!" ujar Analea ketika rapat
"Leaaa ...." "Kak Bian ...." Kedua pasang mata itu bertemu dan saling menatap penuh rindu. Debaran-debaran indah yang mereka rasakan membuat aliran darah mereka mengalir semakin cepat. Hingga kehangatan kian menguasai hati. "Masuklah!" Tanpa mengalihkan tatapannya, Fabian meraih jemari Analea dan membawa wanita cantik itu masuk ke dalam ruang pribadinya. Sekian detik kemudian Analea tersentak mendengar suara pintu ditutup rapat. Sesaat ia menoleh ke pintu. Ia baru menyadari kalau Fitri sudah tidak ada di antara mereka. Pandangan Analea kembali pada jemarinya yang digenggam erat oleh Fabian. Analea merasakan jemari Fabian lebih hangat dari biasanya. Kembali ditatapnya Fabian. Pria itu memang terlihat sedikit pucat. "Kak Bian sakit apa?" Analea memberanikan diri bicara lebih dulu. "Tidak apa-apa. Sebentar lagi juga akan sembuh. Obatnya sudah ada di sini." Fabian tersenyum menggoda Analea dengan mengedipkan sebelah matanya. Hingga wanita itu tersipu malu. "Ehm ... boleh peluk?"
"Bagaimana ini, Kak?" Wajah Analea terlihat panik. Keduanya saling menatap beberapa saat. "Mungkin sudah saatnya aku harus mengatakan hal ini pada Ayah dan ibu." "Tidak, Kak. Jangan! Ibu masih sakit. Sebaiknya Aku pergi saja." Analea berusaha melepaskan diri dari Fabian. Hingga pria itu tersentak. "Lea mau kemana?" Fabian terhenyak melihat tiba-tiba saja Analea menjauh darinya. "Mbak Fitri, tolong bantu aku keluar dari rumah ini lewat pintu yang lain." Analea menghampiri Fitri dan meraih lengan kepala asisten rumah tangga itu. Dengan bimbang Fitri menoleh pada Fabian seolah-olah sedang meminta pendapat majikannya itu. Melihat Analea yang memang ingin pergi, Fabian tak mungkin memaksa. Dengan berat hati ia mengangguk pada Fitri dan membiarkan Analea pergi. "Mari Non Ana, lewat sini!" Fitri membwwa Analea ke arah taman. Analea mengikuti. Namun arah pandangnya masih tertuju pada Fabian. Pria itu pun masih menatap lekat padanya hingga Analea harus berbelok menuju sebuah gerbang kec
" Tuan, apa hari ini Tuan ke kantor?" Fitri tergopoh-gopoh menghampiri Fabian yang baru saja keluar kamar dan sudah mengenakan stelan jas mewahnya. "Ya. Katakan pada supirku, siapkan mobil. Oh ya, dimana Ayah dan Ibu?" Fabian berdiri sambil membetulkan dasinya. "Tuan dan nyonya besar sedang sarapan. Mereka menunggu Tuan di meja makan." Mendengar jawaban Fitri, Fabian mengangguk dan bergegas melangkah ke ruang makan. "Selamat pagi, Ayah, Ibu!" "Bian, bagaimana kondisi Bian hari ini? Sudah lebih sehat?" Fatma tersenyum melihat wajah Fabian yang tidak lagi pucat. "Sudah, Bu. Bagaimana? Apa Ayah dan Ibu jadi ke rumah Pak Rein hari ini?" Mendengar pertanyaan Fabian, Fatma dan Arthur saling pandang. "Ya, tapi Bian tidak usah ikut. Biar kami saja. Ayah dan ibu hanya sekedar berkunjung." Fabian mengangguk. Dalam hatinya ia bersyukur karena jika ia tidak ikut, kemungkinan rencana pernikahan itu tidak akan dibicarakan malam ini. Fabian memilih hanya minum segelas sereal pagi itu. Set
"Kenapa Anda memandang calon istri saya seperti itu?" Fabian tidak terima dan menegur pria paruh baya berbadan gemuk itu. Akan tetapi pria itu tidak menjawab, malah justru tersenyum sinis pada Analea. "Apa Lea mengenal pria ini?" bisik Fabian dengan sedikit menunduk pada Analea. Analea mengangguk dengan takut-takut. Cengkraman tangannya semakin erat pada Fabian. Tubuhnya gemetar. Fabian terkejut melihat Analea mengangguk. Kemudian pandangannya beralih pada pria tadi yang masih berdiri tak jauh dari Fabian dan Analea. Sementara teman-teman pria itu sudah lebih dulu masuk ke dalam cafe"Maaf, ada urusan apa Anda dengan calon istri saya?" Fabian bertanya dengan nada cukup tegas. Pria itu menyeringai. "Jadi kamu calon suaminya? Kamu pasti orang kaya dan banyak uang. Jadi, bisa dong lunasin hutang-hutang dia?" Pria itu menunjuk Analea dengan menggerakkan dagunya. "Hutang? Hutang apa?" Fabian menoleh pada Analea dan pria itu secara bergantian. "Tidak, Kak. Aku tidak pernah berhutang