"Nandita ... Nandita ..., bangun, Nandita ...! Astaga ...!" Hamid semakin panik saat Nandita tak sadarkan diri dalam gendonganya. Ia mempercepat langkahnya menuju Unit Gawat Darurat. Dua orang petugas rumah sakit bergegas menghampiri Hamid sambil membawa sebuah brankar. "Baringkan pasiennya di sini, Pak!" Hamid menurut, perlahan ia merebahkan Nandita di sana, Matanya melebar melihat celana kulot Nandita telah basah oleh darah. Ia pun baru menyadari kalau lengan kemejanya juga terkena darah. Saat telah tiba di ruang periksa, seorang perawat menanyakan banyak hal pada Hamid. "Saya tidak tau, Suster. Tadi dia bilang perutnya nggak enak, tapi makin lama bertambah sakit sampai ia tak sadar," jelas Hamid. Wajahnya ikut pucat, tubuhnya pun gemetar. Hamid sangat panik karena sebenarnya ia tau apa penyebabnya Nandita jadi begini. "Apakah pasien sedang hamil?" tanya perawat itu lagi. "Iy-iyyaa suster." "Berapa bulan hamilnya, Pak? Bapak suaminya?" Hamid gelagapan mendengar pertanyaan s
"Ana ..., mau kemana? Mending ikut aku aja, yuk!" Terdengar suara seseorang yang sangat ia kenali. "M-mas Hamid?" Mata Analea membelalak saat tau siapa yang saat ini toba-tiba mencengkeram lengannya di lorong ini. Analea terdesak ke dinding saat hendak memberontak. Pria memakai batik biru lengan pendek itu memandang Analea tidak berkedip. Mantan istrinya itu memang jauh lebih cantik dari pada saat masih menjadi istrinya dulu. Analea tidak lagi memakai daster lusuh seperti dulu. Wajahnya pun kini tidak lagi polos. Analea memakai riasan dengan kesan natural dan terlihat elegan. "Lepasin Aku, Mas! Aku mau sendiri!" ketus Analea sembari berusaha menarik tangannya. "Mau sendiri? Kenapa? Sedih ya, ditinggal ? Orang kaya memang suka seenaknya mempermainkan perasaan orang. Udah, nggak usah percaya sama orang kaya! Mereka pasti akan cari pasangan yang sepadan. Kamu sih, mimpi ketinggian. Mending sama aku aja lagi!" Hamid menaik turunkan alisnya sambil tersenyum nakal pada Analea. "Ap
"Laki-laki brengsek!" Satu pukulan kembali diterima Hamid saat pria itu hendak berusaha berdiri. "Sudah, Bian! untuk apa Bian pukul pria itu? Apa karena tadi dia sedang bersama Analea?" Arthur menghampiri Fabian yang masih diselimuti emosi yang memuncak. Fatma pun tergopoh-gopoh ikut mendekat saat mendengar keributan. Wanita tua itu menatap putranya dengan cemas. Lalu pandangannya jatuh pada Analea yang terlihat shock. "Pergi kamu! Saya tunggu kamu di ruangan saya senin pagi!" tegas Fabian dengan napas memburu. Hamid pun bergegas bangkit, kemudian pergi meninggalkan rumah mewah itu. Melihat semua orang mendekat, Fabian yang tadinya ingin menghampiri Analea menjadi urung. Ia tak ingin Analea kembali dihujat oleh Ratu dan keluarganya. Namun pandangannya sempat terhenti pada Analea yang terlihat begitu cantik siang itu. Fabian tersenyum melihat kalung berlian yang ia belikan melingkar indah pada leher jenjang Analea yang sempat mencuri perhatiannya. Siang itu Analea benar-benar te
"Kenapa dia semarah itu? Apa aku salah bicara?"Mela yang tidak terima dibentak oleh Alif bergegas bangkit dan menghampiri Alif ke kamar. "Kamu tadi bentak aku? Kamu pikir siapa selama ini yang hidupin kamu? Kalau masih menumpang hidup, jangan sombong!" Mela bertolak pinggang di depan pintu. Ia menatap Alif dengan tajam. "Udah, Mel. Aku capek ribut terus," Alif menyahut tanpa bangkit dari tempat tidur. "Capek, capek. Yang capek itu aku. Yang kerja seharian tiap hari itu aku. Kamu itu kerjanya cuma nongkrong sana sini aja kok capek." Mela semakin kesal kareba Alif tidak menghiraukannya. Akhirnya ia memilih untuk keluar dari kamar dan mulai merapikan rumah. "Untung saja tadi aku nggak ketemu si Maira. Ia pasti akan tertawakan aku yang kini cuma pegawai di WO. Sementara dia nasibnya malah semakin baik sejak bercerai dari Alif. Seharusnya ketika Alif di penjara, aku juga minta cerai. Huh, dasar laki-laki bawa sial!" Mela terus menggerutu sembari menyapu rumahnya yang sejak pagi
"Jadi ... karena dua kesalahanmu yang sangat fatal, mulai hari ini kamu saya pecat!" "A-apaa, Pak? Pecat ...?" Wajah Hamid memucat. Seketika butiran-butiran keringat keluar dari keningnya. Padahal pendingin ruangan di ruang CEO itu suhunya cukup rendah. Hal yang selama ini ia takutkan justru benar-benar ia alami sekarang. "Pak, Pak Fabian saya mohon jangan pecat saya. Saya minta maaf, Pak. Saya tidak akan ulangi lagi. Saya mohon, Pak!" Hamid sangat panik. Kalau dia tidak bekerja, bagaimana kelanjutan hidup ia dan ibunya? Bagaimana dia bisa rujuk lagi dengan Analea? Bagaimana ia bisa mencicil hutang-hutang cicilannya? Seketika kepala Hamid terasa ingin pecah. "Tolong, Pak. Bapak boleh potong gaji saya, atau turunkan gaji saya, asalkan saya jangan dipecat, Pak. Tolong, Pak!" Hamid bangkit dari duduknya dan membungkuk di depan Fabian. Jika diminta, ia rela di suruh apapun. Sujud di depan Fabian pun ia bersedia asalkan ia tidak dipecat. Menjadi karyawan di PT Bina Sanjaya adalah suatu k
"Tolong cepat sedikit, Pak. Mumpung masih pagi. Semoga saja mereka masih terjaga." Maira melihat jam di pergelangan tangannya, masih pukul tujuh pagi. Ia berharap tetangga ibu angkat Analea masih ada yang terjaga. Ada yang hendak ia tanyakan tentang pria yang dipanggil Bang Gondrong itu. "Baik, Bu. Tapi di depan sudah mulai macet." Pak Pardi membaca petunjuk dari sebuah aplikasi di ponselnya. "Apa bisa cari jalan lain, Pak?" tanya Maira penuh harap. Ia ingin segera membuktikan apa yang selama ini ia pikirkan. Firasat seorang ibu tidak bisa dibohongi. Keyakinan Maira begitu kuat. Padahal, pasti tidak hanya satu orang yang memiliki tanda hitam seperti itu. Dan Maira meyakini satu hal yang sampai saat ini belum berani ia ungkapkan pada siapapun. Ia harus punya bukti. Bukti itu akan ia jadikan alasan untuk melakukan test yang lebih akurat. Pak Pardi masih mencari jalan alternatif dari petunjuk di ponselnya. Sementara kendaraan di depannya masih bergerak sangat lambat. "Di depan ada
"Kenapa lama sih?' Alif berdecak kesal saat seorang wanita paruh baya berbadan sedikit gemuk menghampiriya. "Lagian Abang sampenya sebelum jam istirahat. Mana boleh aku keluar," sungut wanita itu seraya menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah Alif. "Bayarin kopi, dong, Bang!" Wanita itu melirik kopi di hadapan Alif yang tinggal setengah. "Pesen sana! Mau makan?" Wanita berkulit sawo matang itu lalu memesan segelas kopi susu pada pemilik warung. "Mau makan, Mbak Sumi?" tanya pemilik warung mengulang pertanyaan Alif. "Makan di sini adanya cuma mie sama kacang ijo. Bosen, ah!" Sumi menerima secangkir kopi dan langsung menyeruputnya dengan menggunakan sendok. "Bang Gondrong, makan nasi padang, yuk! Katanya ada yang mau diomongin. Sambil makan di warung makan padang itu, Bang!' Wanita yang dipanggil Sumi itu menunjuk sebuah warung nasi di seberang jalan. "Nggak punya duit. Bubur kacang ijo aja, sehat!" Alif bicara sekenanya. Lalu mulai menyalakan rokok "Nggak punya duit terus. Mak
"Kata Bang Gondrong, anakku tinggal sama orang kaya di Jakarta. Tapi Aku nggak tau alamatnya. Bagaimana caranya aku cari dia? Namanya saja aku nggak tau." Sumi terus melamun sepanjang melangkah pulang ke rumah. Sejak kepergian Maira, ia terus berpikir ingin menerima tawaran Maira untuk kerja di rumahnya. Apalagi pekerjaannya yang sekarang sudah tidak cocok untuknya. Dia jarang sekali dipilih oleh pada pelanggan. Hanya pelanggan yang benar-benar ingin dipijat saja yang memilih dirinya. Pijatan Sumi dikenal cukup bertenaga karena tubuh Sumi yang sedikit gemuk. Tapi ia jarang mendapatkan tip, karena ia tidak memberikan service tambahan seperti teman-temannya yang lain. Di tengah perjalanan Sumi berhenti di warung nasi pinggir jalan. Ia membeli dua bungkus nasi untuknya dan Alif. "Mbak, dua bungkus ya! Lauknya tahu tempe dan sambel aja." "Kok tumben belinya dua? Lagi ada suaminya datang ya, Mbak Sumi?" tanya wanita pemilik warung. "Iyaaa," sahut Sumi singkat. "Rasanya gimana sih jad