"Kenapa dia semarah itu? Apa aku salah bicara?"Mela yang tidak terima dibentak oleh Alif bergegas bangkit dan menghampiri Alif ke kamar. "Kamu tadi bentak aku? Kamu pikir siapa selama ini yang hidupin kamu? Kalau masih menumpang hidup, jangan sombong!" Mela bertolak pinggang di depan pintu. Ia menatap Alif dengan tajam. "Udah, Mel. Aku capek ribut terus," Alif menyahut tanpa bangkit dari tempat tidur. "Capek, capek. Yang capek itu aku. Yang kerja seharian tiap hari itu aku. Kamu itu kerjanya cuma nongkrong sana sini aja kok capek." Mela semakin kesal kareba Alif tidak menghiraukannya. Akhirnya ia memilih untuk keluar dari kamar dan mulai merapikan rumah. "Untung saja tadi aku nggak ketemu si Maira. Ia pasti akan tertawakan aku yang kini cuma pegawai di WO. Sementara dia nasibnya malah semakin baik sejak bercerai dari Alif. Seharusnya ketika Alif di penjara, aku juga minta cerai. Huh, dasar laki-laki bawa sial!" Mela terus menggerutu sembari menyapu rumahnya yang sejak pagi
"Jadi ... karena dua kesalahanmu yang sangat fatal, mulai hari ini kamu saya pecat!" "A-apaa, Pak? Pecat ...?" Wajah Hamid memucat. Seketika butiran-butiran keringat keluar dari keningnya. Padahal pendingin ruangan di ruang CEO itu suhunya cukup rendah. Hal yang selama ini ia takutkan justru benar-benar ia alami sekarang. "Pak, Pak Fabian saya mohon jangan pecat saya. Saya minta maaf, Pak. Saya tidak akan ulangi lagi. Saya mohon, Pak!" Hamid sangat panik. Kalau dia tidak bekerja, bagaimana kelanjutan hidup ia dan ibunya? Bagaimana dia bisa rujuk lagi dengan Analea? Bagaimana ia bisa mencicil hutang-hutang cicilannya? Seketika kepala Hamid terasa ingin pecah. "Tolong, Pak. Bapak boleh potong gaji saya, atau turunkan gaji saya, asalkan saya jangan dipecat, Pak. Tolong, Pak!" Hamid bangkit dari duduknya dan membungkuk di depan Fabian. Jika diminta, ia rela di suruh apapun. Sujud di depan Fabian pun ia bersedia asalkan ia tidak dipecat. Menjadi karyawan di PT Bina Sanjaya adalah suatu k
"Tolong cepat sedikit, Pak. Mumpung masih pagi. Semoga saja mereka masih terjaga." Maira melihat jam di pergelangan tangannya, masih pukul tujuh pagi. Ia berharap tetangga ibu angkat Analea masih ada yang terjaga. Ada yang hendak ia tanyakan tentang pria yang dipanggil Bang Gondrong itu. "Baik, Bu. Tapi di depan sudah mulai macet." Pak Pardi membaca petunjuk dari sebuah aplikasi di ponselnya. "Apa bisa cari jalan lain, Pak?" tanya Maira penuh harap. Ia ingin segera membuktikan apa yang selama ini ia pikirkan. Firasat seorang ibu tidak bisa dibohongi. Keyakinan Maira begitu kuat. Padahal, pasti tidak hanya satu orang yang memiliki tanda hitam seperti itu. Dan Maira meyakini satu hal yang sampai saat ini belum berani ia ungkapkan pada siapapun. Ia harus punya bukti. Bukti itu akan ia jadikan alasan untuk melakukan test yang lebih akurat. Pak Pardi masih mencari jalan alternatif dari petunjuk di ponselnya. Sementara kendaraan di depannya masih bergerak sangat lambat. "Di depan ada
"Kenapa lama sih?' Alif berdecak kesal saat seorang wanita paruh baya berbadan sedikit gemuk menghampiriya. "Lagian Abang sampenya sebelum jam istirahat. Mana boleh aku keluar," sungut wanita itu seraya menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah Alif. "Bayarin kopi, dong, Bang!" Wanita itu melirik kopi di hadapan Alif yang tinggal setengah. "Pesen sana! Mau makan?" Wanita berkulit sawo matang itu lalu memesan segelas kopi susu pada pemilik warung. "Mau makan, Mbak Sumi?" tanya pemilik warung mengulang pertanyaan Alif. "Makan di sini adanya cuma mie sama kacang ijo. Bosen, ah!" Sumi menerima secangkir kopi dan langsung menyeruputnya dengan menggunakan sendok. "Bang Gondrong, makan nasi padang, yuk! Katanya ada yang mau diomongin. Sambil makan di warung makan padang itu, Bang!' Wanita yang dipanggil Sumi itu menunjuk sebuah warung nasi di seberang jalan. "Nggak punya duit. Bubur kacang ijo aja, sehat!" Alif bicara sekenanya. Lalu mulai menyalakan rokok "Nggak punya duit terus. Mak
"Kata Bang Gondrong, anakku tinggal sama orang kaya di Jakarta. Tapi Aku nggak tau alamatnya. Bagaimana caranya aku cari dia? Namanya saja aku nggak tau." Sumi terus melamun sepanjang melangkah pulang ke rumah. Sejak kepergian Maira, ia terus berpikir ingin menerima tawaran Maira untuk kerja di rumahnya. Apalagi pekerjaannya yang sekarang sudah tidak cocok untuknya. Dia jarang sekali dipilih oleh pada pelanggan. Hanya pelanggan yang benar-benar ingin dipijat saja yang memilih dirinya. Pijatan Sumi dikenal cukup bertenaga karena tubuh Sumi yang sedikit gemuk. Tapi ia jarang mendapatkan tip, karena ia tidak memberikan service tambahan seperti teman-temannya yang lain. Di tengah perjalanan Sumi berhenti di warung nasi pinggir jalan. Ia membeli dua bungkus nasi untuknya dan Alif. "Mbak, dua bungkus ya! Lauknya tahu tempe dan sambel aja." "Kok tumben belinya dua? Lagi ada suaminya datang ya, Mbak Sumi?" tanya wanita pemilik warung. "Iyaaa," sahut Sumi singkat. "Rasanya gimana sih jad
"Hallo, Bu Maira!" "Ya, Hallo, Mbak Sumi. Bagaimana? Apa sudah ada keputusan?" Maira yang sedang dalam perjalanan menuju Eternal Group menerima panggilan telepon dari Sumi. "Iy-iyya, Bu. Tapi ... bagaimana saya bisa ke rumah ibu? Saya sudah lama sekali tidak ke Jakarta," ujar Sumi dari seberang sana. "Mbak Sumi kalau naik kereta bisa? Nanti dijemput supir saya di stasiun tebet." "Kereta? Baik, Bu. Nanti saya tanya-tanya orang saja." "Baiklah. Mbak Sumi kasih kabar, ya! Biar supir saya yang kemarin langsung jemput." Setelah mendengar jawaban terakhir dari Sumi, Maira menutup ponselnya. "Pak Pardi, saya minta tolong sama Bapak, sementara ini kita rahasiakan mengenai Sumi. Pak Rein dan anak-anak tidak pernah ikut campur masalah ART di rumah. Sumi ini adalah jembatan saya untuk mencari informasi dari Alif. Mungkin Bapak belum mengerti maksud saya. Tapi saya minta Bapak tidak menceritakan pada siapapun tentang Sumi , Alif dan saya yang beberapa kali ke Gang Mangkal." Maira bicara pa
"Sayaaa ... maaf, Ana. Entah kenapa ... rasanya ada sebuah ikatan bathin di antara kita. Antara saya dan kamu. Yaaa, barangkali kita masih ada ikatan darah atau ... semacam tali persaudaraan." Analea masih tidak mengerti. Wanita cantik itu hanya diam dan memandang bingung pada Maira. Apa mungkin ia ada hubungan saudara dengan Maira? Bukankah orang-orang bilang ibunya adalah seorang wanita malam? Bahkan ada yang bilang bahwa sebenarnya orang-orang tidak tau siapa ayahnya karena ibunya tidur dengan banyak pria? Analea tersadar dari lamunannya saat Maira kembali berbicara. "Mmmm ... bukan, saya bukan bermaksud mengada-ada atau semacam itu. Tapi ... ini memang aneh. Maaf kalau kamu jadi bingung." Maira memandang Analea dengan intens. "Nama ibu saya ... Sumi, Bu. Tapi, saya belum sempat bertemu. Melihat fotonya pun belum pernah. Jadi, saya tidak tau wajahnya seperti apa." Maira mengangguk. Hatinya semakin kuat dan yakin dengan dugaannya selama ini. Pandangannya masih tertuju pada netr
"Selamat siang, Bu Maira. Ibu panggil saya?" Sumi menunduk dan sedikit membungkuk di dekat pintu kamar Ratu. Seketika Ratu menoleh dan mengerutkan dahinya. "Wajah itu, kok kayaknya nggak asing?" pikir Ratu dalam hati "Masuk sini, Mbak Sum!" Sumi masuk dengan sedikit menunduk. Kemudian saat tiba di dekat Maira dan Ratu ia menegakkan kepalanya. Wanita bertubuh gemuk itu terdiam sesaat ketika bertemu mata dengan Ratu. Entah apa yang ada dalam pikiran Sumi, ia sempat termenung saat menatap wajah Ratu. "Ini Ratu, putri saya. Mbak Sumi tugasnya nanti melayani semua keperluan Ratu dan membereskan kamar tidurnya ini. Lihatlah, tidak ada bedanya dengan kapal pecah!" Pandangan Maira mengelilingi seisi kamar. "Iya, Bu." Sumi tersenyum sembari mengikuti arah pandang Maira. "Ya, sudah. Saya mau ke kamar dulu." Maira melangkah keluar dari kamar Ratu. "Mamaaa ... Mama mau kemana? Aku nggak mau ada orang lain di kamarku, Maa ...!" Ratu terus protes sambil mengikuti Maira. Namun hingga sampai d