"Mama ..." Desisan pelan nyaris tak terdengar dari mulut Ratu. Tubuhnya membeku melihat wanita yang kini berdiri tepat di depannya. Sisi hatinya di dalam sana sangat ingin memeluk wanita cantik itu. Ada rasa penyesalan yang begitu besar Ratu rasakan saat ini. Dulu, ia sering kali membantah ucapan Maira. Dulu, ia sering membuat wanita itu menangis karena kelakuannya. Kini, dadanya begitu sesak mengingat semua itu. Andai saja waktu bisa kembali ke masa lalu, ia ingin sekali membuat bangga Maira dan menjadi anak yang patuh. Berbeda dengan Maira. Wanita paruh baya itu lebih pandai menguasai diri. Meski sempat terkejut dan mematung beberapa saat, ia bisa dengan cepat tersenyum dan mengangguk pada semua yang ada di sana. "Mau bertemu Pak Raihan atau Bu Sonia, Bu?" Wanita yang bertugas sebagai resepsionis langsung berdiri dan mengangguk ramah pada Maira. "Pak Raihan," jawab Maira. Sementara ekor matanya melirik ke arah Ratu yang masih memandangnya lekat. "Oh ya, Bu. Dengan Ibu siapa?" t
"Apaa? Sepuluh juta?" Netra Ratu membelalak ketika melihat dana yang baru saja masuk ke rekeningnya. Ia menatap layar ponselnya seakan tak percaya. Saat ini, uang sepuluh juta sangat besar baginya. Sore itu Ratu bergegas menutup ponselnya, lalu berjalan terburu-buru menuju salah satu ruangan di lantai tiga. "Semoga saja dia belum pulang," gumamnya dengan napas terengah-engah. Begitu tiba di depan ruangan bertuliskan CEO, Ratu langsung masuk tanpa mengetuk. "Hei, ada apa?" Raihan spontan berdiri melihat Ratu menerobos masuk begitu saja. Namun untungnya ia tidak lupa menutup pintu itu kembali. "Buat apa kamu transfer uang sepuluh juta padaku?" Ratu berdiri sambil berkacak pinggang di depan Raihan."Astaga Ratu! Kamu bikin kaget saja. Kirain ada apa." Raihan menghempas napas kasar, kemudian kembali menjatuhkan tubuhnya di kursi kebesaran." Bukannya kemarin kamu bilang sedang butuh uang untuk beli laptop?" "Iyaaa, tapi tidak sebanyak itu. Aku hanya bekerja tambahan, tidak mungkin d
"Apa-apaan kamu, Rai!" Ratu semakin mundur hingga punggungnya menyentuh ujung sofa. Ia nyaris berteriak saat wajah Raihan makin tak berjarak dengannya. "Nah, ini dia." Tangan Raihan terulur meraih sesuatu di atas meja yang berada belakang Ratu. "Nggak usah lebay! Aku hanya mau ambil ini." Raihan menyerahkan selembar kertas yang ia ambil tadi pada Ratu. Ratu melotot, ia mendengkus kesal karena merasa Raihan mengerjainya. Raihan tertawa terbahak-bahak melihat wajah Ratu memerah menahan marah. "Kenapa? Berharap aku apa-apain, ya?" Raihan kembali bergeser menjauh dari Ratu. "Ini apa?" Ratu yang terlanjur malu, mengalihkan topik pembicaraan pada kertas yang barusan diberi oleh Raihan. Matanya kembali membelalak melihat tulisan yang ada pada kertas itu. "Dasar CEO gila! Kamu kasih aku kerjaan sebanyak ini?" Ratu membaca ulang tulisan pada kertas itu yang ternyata adalah daftar pekerjaan yang harus ia lakukan setiap sabtu dan minggu. "Hei! Aku sudah bayar kamu sepuluh juta. Asal kamu
"Duduk! Kamu harus ikut makan!" Raihan melepaskan tangannya pada lengan Ratu. Kali ini suaranya lebih lembut, hingga keduanya terbawa suasana. "Hmmm ..., ya udah kalau maksa," gumam Ratu pelan. Kemudian ikut duduk di salah satu kursi meja makan itu. Ratu masih menunggu Raihan menyendok makanan buatannya dengan dada berdebar. Bagaimana jika masakannya tidak enak? Tadi ia juga lupa untuk mencicipinya dulu sebelum dihidangkan. Tatapan Ratu terus tertuju pada sendok dan garpu yang ada di tangan Raihan. "Kenapa liatin aku terus? Ayo makan! Mau aku ambilin juga?" Raihan melepaskan sendoknya lalu meraih satu piring kosong di meja itu. "Eh, nggak usah! Aku bisa sendiri." Ratu merebut piring kosong itu dari Raihan dan mulai menyendok kentang goreng di depannya. Netranya sesekali melirik Raihan yang mulai menyuap capcai ke dalam mulutnya. Ratu menahan napas menunggu Raihan mengunyah lalu berkomentar. Tetapi beberapa detik ia menunggu, Raihan masih tidak berkomentar. Bahkan ia masih terus
"Seperti inikah rasanya patah hati?" Ratu kembali menekan dadanya yang nyeri. Perlahan ia kembalikan foto itu ke tempat dan posisi semula. "Ternyata selama ini Raihan mencintai Analea. Kenapa semua orang memuja perempuan itu? Kenapa dia selalu bisa menarik perhatian semua orang?" Ratu bergumam sendiri. Menyadari waktu terus berjalan dan mengingat banyak pekerjaan yang masih menunggu untuk ia kerjakan, Ratu bergegas membereskan kamar Raihan meski hatinya sedang tidak baik-baik saja. "Kalau kamu mencintai Analea, lalu ngapain kamu peluk-peluk aku tadi? Ngapain juga kamu selalu bantuin aku? Dasar laki-laki suka pemberi harapan. Untung aja perasaanku belum terlalu dalam. Mungkin aku harus bisa menjaga jarak mulai dari sekarang." Ratu terus bicara dalam hati hingga ia tidak menyadari bahwa sejak tadi Raihan memperhatikan dirinya di pintu. "Ehm ...sudah selesai beres-beresnya?" Ratu terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu. "Sudah. Baju ganti kamu juga sudah aku siapkan. Mandi dulu
"Bagaimana? Udah nggak keasinan, kan?" tanya Ratu dengan wajah cemas. Dadanya berdebar sejak tadi. Ia menahan napas ketika suapan pertama masuk ke mulut Raihan. "Hmm ...lumayan. Kamu harus makan juga! Ini enak, beneran. Kali ini aku nggak bohong!" Ratu tersenyum. Meski tadi ia sempat mencicipi makanan itu sebelum dihidangkan, tetap saja ia khawatir jika Raihan tidak suka dengan masakannya. Tanpa ragu lagi Ratu menyendok makanan di meja dan menikmatinya. Meski masakannya tidak seenak koki di rumah Maira atau masakan Sumi di kontrakannya, Ratu cukup bangga bisa masak menu yang layak untuk dimakan. "Sudah sore. Aku mau pulang. Besok aku ke sini lagi." Ratu baru selesai membereskan meja makan dan dapur. "Kebetulan aku juga mau keluar. Kita sama-sama saja. Tunggu sebentar!" Raihan bergegas ke kamar untuk berganti pakaian dan meraih kunci mobil di meja kerjanya. Namun, gerakan Raihan terhenti melihat sebuah foto di atas meja. Foto itu sengaja ia telungkupkan beberapa waktu yang lalu.
"Raihan, kondisi ayah semakin menurun. Bunda khawatir kalau ayahmu ..." Raihan yang baru saja hendak tidur, mengurungkan niatnya karena ada panggilan telepon dari sang bunda. Ia makin panik mendengar tangisan Salma yang makin keras di ponselnya. Saat ini, Yumaina sedang dalam perjalanan menuju Singapore untuk menemani sang Bunda di sana. Itu artinya bundanya hanya sendirian saja sekarang. Mendengar kondisi Yuda tiba-tiba kritis sore tadi, Yumaina yang sedang berada di Australia langsung terbang menuju Singapore. "Bunda tenang dulu. Kita terus berdoa untuk Ayah. Yumaina akan segera tiba di sana." Raihan berusaha menenangkan Salma. "Kamu kapan ke sini?" tanya Salma lagi. "Pagi ini aku langsung berangkat, Bun. Setelah ini aku akan segera mencari tiket." "Tapi Raihan, kamu ke sini harus bersama Ratu. Bunda ingin, saat Ayahmu sadar nanti kalian sudah menikah. Ini permintaan terakhirnya padamu kemarin malam, bukan?" Raihan terdiam. "Raihan! Kamu dengar Bunda nggak, sih?" "Iy-iyya, d
"Ratu ... kamu sengaja mau menggodaku?" tanya Raihan dengan suara bergetar. "Non, ssttt, sini!" Sumi baru menyadari apa yang terjadi langsung membawa Ratu kembali ke balik tirai. "Kenapa, sih?" ketus Ratu yang masih mengantuk. "Non pakai ini dulu!" Sumi memberikan sebuah kimono pada Ratu. "Astagaa! Kenapa nggak dari tadi, sih?" Menyadari sesuatu, Ratu langsung buru-buru memakai kimono itu dan kembali menemui Raihan. "Ada apa malam-malam ke sini? Dasar mesum! Seneng ya udah lihat aku tadi!" Ratu masih bicara dengan nada ketus. "Tenang aja, aku sudah lupakan yang barusan aku lihat. Sekarang ada hal yang lebih penting dari itu." Ratu memandang intens pada Raihan yang mendadak sangat serius. Ia tidak pernah melihat wajah Raihan setegang itu. Hatinya terus bertanya-tanya. "Ada, apa, Rai?" Suara Ratu pun terdengar lebih serius. Dadanya berdetak lebih cepat. Ia menduga ada sesuatu yang telah terjadi. "Tadi ... aku sudah kirim pesan ke ponselmu ... tapi ..." Ratu bergegas m