“Seorang wanita ditemukan pingsan di pinggir jalan dalam kondisi tubuh tanpa busana dan luka memar di beberapa bagian tubuhnya. Wanita tanpa identitas ini diduga sebagai korban pelecehan seksual yang kemudian dibuang oleh pelaku di pinggir jalan.”Suara presenter berita pagi itu menggemparkan seisi restoran. Suasana mendadak riuh.“Apa dia sudah meninggal?”“Kurasa belum. Barusan kata presenternya dia pingsan.”“Penjahatnya keji banget sih, apa mereka nggak punya ibu dan saudara perempuan?”“Ya Tuhan, semoga aku dan keluargaku selalu dilindungi dari kejahatan keji begitu.”Feli yang baru saja membayar makanannya di kasir mendengarkan obrolan para pengunjung tersebut.Pagi ini ia sengaja membeli makanan di restoran di samping rumah sakit sekaligus ingin mencari udara segar, walau akhirnya udara yang ia dapati sudah tercemar dengan polusi udara.Karena penasaran, Feli lantas mengalihkan tatapannya ke layar televisi berukuran 21 inchi yang menempel di dinding, sedang menampilkan sosok per
“Bos, lima menit lagi!” teriak Erra sembari membetulkan balon berwarna hitam yang tatanannya sedikit tidak rapi. Balon-balon berwarna hitam, merah dan putih didesign membentuk huruf u terbalik di pintu masuk bagian luar.Mendengar seruan Erra, Archer pun melirik jam dinding, ia belum membeli jam tangan baru. Mungkin nanti kalau usahanya sudah sukses akan membeli arloji bermerek seperti dulu.“Oke, sudah paham sampai sini?” Archer kembali meluruskan pandangan pada Janu yang akan bertugas sebagai koki merangkap jadi barista.Di samping Janu ada seorang wanita yang merupakan influencer yang memiliki penggemar lebih dari satu juta followers. Lalu di sisi Janu yang lain ada tiga orang laki-laki muda berpenampilan ikonik dan keren. Mereka adalah grup band yang akan ikut meramaikan acara peresmian Fantastic Cafe hari ini.“Paham, Bos.” Janu mengangguk. Sebagai koki dan barista berpengalaman, harusnya ia biasa saja menghadapi pelanggan yang kemungkinan besar akan membludak hari ini. Namun Jan
Archer tidak terkejut dengan gugatan cerai ini. Sebab ia tahu, ayah mertuanya tengah mengusahakan perceraian untuknya dan Feli. Akan tetapi, yang membuat Archer terkejut; kenapa harus besok?! Kenapa cepat sekali waktu persidangannya? Itu membuat Archer tak bisa menyiapkan apapun atau mencegahnya. Ia hanya punya waktu kurang dari 24 jam saja. Dulu, ia berhasil mengagalkan rencana Feli saat menggugatnya secara diam-diam. Saat itu ia masih memiliki kekuasaan dan uang. Mudah sekali baginya untuk menghentikan proses gugatan cerai tersebut. Namun, kini… Archer tak yakin, apakah dirinya sanggup menghentikan sidang itu dengan ‘tangan kosong’ atau tidak? Bukan pesimis. Ia hanya berpikir realistis. Melawan ayah mertuanya yang memiliki kekuasaan menggurita bukanlah sesuatu yang mudah baginya, yang sudah miskin, tak punya kekuasaan pula. “Saya mau bertemu Papa, izinkan saya masuk!” desis Archer pada bodyguard yang menghalangi langkahnya, di depan teras mansion mewah sang ayah mertua. “Tuan
Feli tertegun. Jantungnya seakan terasa berhenti berdetak mendengarnya. Sungguh, ia berharap kalau apa yang ia dengar bukanlah mimpi atau bualan Archer semata. Namun, kepercayaannya telah dirusak. Masihkah ia bisa mempercayai Archer? “Wanita itu memalsukan hasil tes DNA janinnya, dan bodohnya aku langsung percaya begitu saja tanpa mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya,” jelas Archer kemudian, masih dengan suaranya yang lembut. Ia menumpukan dagu di bahu Feli, matanya memejam seraya menghirup aroma tubuh yang beberapa minggu terakhir ini sangat ia rindukan. Saat Feli masih terdiam, Archer kembali melanjutkan, “Karena kebodohanku saat itu, aku terpaksa menyakitimu dan membalaskan dendam padamu, yang sekarang aku sadari kalau aku telah melakukan sesuatu yang sangat salah pada wanita yang sama sekali tidak bersalah.” Archer mengeratkan pelukan lengannya yang melingkari punggung Feli. “Maaf…,” lirihnya, “maafkan aku telah menyakitimu selama bertahun-tahun, Fel. Aku mohon beri aku kes
Archer mengenakan kacamata, untuk menyamarkan perasaan gelisah dan sedihnya yang mungkin akan tergambar melalui sorot matanya. Ia duduk di meja tergugat, sedikit berjarak dari meja penggugat yang diduduki Feli.Di belakangnya, ada keluarga dari dua belah pihak. Mereka sama-sama terdiam, membuat ruang sidang itu terasa sunyi senyap.Jantung Archer berdetak kencang. Ia tak pernah membayangkan akan duduk di meja pengadilan, seperti hari ini. Duduknya tidak nyaman. Jika mengikuti egonya, detik ini juga ia akan menyeret Feli keluar dari ruang persidangan, memaksanya untuk kabur bersamanya meski wanita itu akan semakin terluka.Namun, Archer telah memutuskan, dirinya tak ingin memaksakan kehendak yang akan menyakiti Feli untuk kedua kali. Ia ingin Feli bahagia, walau bukan bersamanya.Persidangan dimulai. Archer seakan kehabisan napas ketika mendengar palu diketuk.Majelis Hakim bertanya kepada Feli terlebih dulu mengenai keputusannya untuk bercerai.Feli tak langsung menjawab. Wanita itu m
Feli tak tahu, apakah keputusan yang ia ambil ini tepat ataukah tidak. Keputusan tersebut adalah reaksi secara spontan, tanpa banyak berpikir.Namun satu hal yang Feli yakini, keputusan itu seolah datang dari relung hatinya yang paling dalam. Ada satu sisi dalam dirinya yang menyuruhnya untuk memberi Archer kesempatan. Meski mungkin, hal itu akan membuat Feli dirundung rasa sakit karena hidup dengan bayang-bayang masa lalu.Setelah melalui serangkaian proses di ruang persidangan sampai akhirnya perceraian mereka dibatalkan, Feli pun keluar dari ruangan tersebut setelah meminta maaf kepada keluarganya—khususnya sang ayah, yang kemungkinan besar merasa kecewa terhadapnya.Kepala Feli terasa penuh. Ia melangkah tanpa semangat menuju parkiran mobil. Satu-satunya rencana Feli saat ini adalah pulang dan bertemu Kimberly. Hanya anak itu yang mampu menenangkan pikirannya sekarang.“Kamu nggak bisa pergi begitu saja setelah membuatku kelabakan, Feli!”Langkah kaki Feli seketika terhenti tepat
“Papi, apa kita akan pulang ke rumah kita lagi?”“Hm-hm! Rumah kita sepi kayak kuburan saat kamu dan mamimu nggak ada.”“Ih takut! Jadi sekarang banyak hantunya?”Archer terkekeh. “Nggak ada. Hantu-hantu itu nggak berani datang ke rumah kalau ada anak secantik kamu, Sayang.”Tawa renyah Kimberly terdengar berderai-derai.Tanpa sadar, kedua sudut bibir Feli terangkat samar mendengarnya. Beberapa minggu terakhir ini, anak itu terlihat sedikit murung, apa lagi setelah mendengar kalau calon adiknya sudah meninggal dunia. Kimberly seolah merasakan kesedihan yang dialami ibunya.“Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”Feli terhenyak ketika merasakan sapuan lembut di pipinya, yang membuatnya seketika keluar dari lamunannya.“Nggak.” Feli menggeleng, sedikit menjauhkan wajahnya dari tangan Archer. “Nggak apa-apa kok. Oh iya, kita bisa pulang pakai mobilku aja.”Archer melirik mobil merah Feli yang terparkir di halaman mansion megah sang mertua. Ditraktir dan difasilitasi perempuan bu
“Tubuhku lengket. Kita mandi bareng,” bisik Archer, parau, di sela-sela pagutannya sembari mendorong tubuh Feli perlahan-lahan menuju pintu kamar mandi.Namun, baru saja tangan Archer akan mendorong pintu itu, ponsel di saku celananya terdengar berdering diiringi getaran, yang membuat Feli secara spontan melepaskan tautan bibir mereka.“Shit!” umpat Archer sembari merogoh saku celananya. Ia sempat melirik Feli sejenak sambil berkata, “Tunggu di situ. Jangan ke mana-mana.”Feli tak menolak, juga tidak mengiakan. Ia hanya berusaha menormalkan napasnya yang sempat memburu. Lalu menatap tangannya yang Archer genggam dengan erat, seolah-olah pria itu tak mau melepasnya pergi.“Kenapa nggak diangkat?” tanya Feli datar, saat Archer mengabaikan panggilan tersebut.“Dari nomor nggak dikenal. Nggak penting.”Archer menaruh benda tipis itu di rak yang teronggok tak jauh darinya berdiri. Lalu menarik pinggang Feli hingga tubuh wanita itu membentur perutnya. Satu sudut bibir Archer terangkat, jema