Kedua pria yang sama-sama gagah dan tampan itu duduk saling berhadapan. Saling tatap dengan sorot mata yang berbeda. Nicko dengan perasaan marahnya. Axl dengan perasaan bersalahnya yang tak dapat ia jabarkan dengan kata-kata semenyesal apa ia atas perlakuan putranya. “Kami sudah berhasil meringkus keempat orang tersangkanya, Tuan,” ucap asisten pribadi Axl yang baru saja menghampiri mereka. Axl memutus kontak matanya lebih dulu, lalu mendongak pada pria berjas hitam bernama Matheo di sampingnya itu. Pria yang masih setia mendampinginya meski usianya tak lagi muda. Namun, kemampuan Matheo dalam bertarung, memecahkan masalah dan me-manage apapun yang berkaitan dengan pekerjaan Axl, tak usah diragukan lagi. “Siapa mereka?” tanya Nicko dengan tak sabaran, bahkan membuat Axl yang sudah membuka mulut untuk bicara, langsung mengatupkan mulutnya lagi. Matheo mengalihkan tatapannya ke arah Nicko. “Mereka orang suruhan Vandalas.” “Vandalas?” Axl mengerutkan kening. “Bukannya itu kelompok ma
Pria berpakaian casual itu menenteng sebuah paper bag. Ia menyempatkan diri untuk menghela napas berat. Sebelum kemudian memasuki sebuah toko tempat penjualan barang-barang bekas.Sial.Harga dirinya benar-benar jatuh sejatuh-jatuhnya. Ia yang tak pernah pusing memikirkan uang, kini malah berurusan dengan hal-hal yang menurutnya sangat memalukan, seperti menjual barang pribadinya.Tidak ada yang bisa dimintai tolong untuk melakukan ini. ART, satpam dan sopir semuanya sudah beralih ke mansion orang tuanya. Mereka dilarang untuk bekerja dengannya. Sedangkan Dewi—baby sitter Kimberly, sudah pindah ke rumah Nicko.“Kondisi barangnya masih bagus.” Archer mengeluarkan dua koleksi jam tangan branded-nya dan sepatu pantofel impor. “Baru saya pakai sekitar….” Ia berpikir sejenak. “Dua atau tiga kali.”Pria tua berwajah khas Negeri Bambu itu memakai kacamatanya, dengan wajah miring-miring dia mengamati setiap inci jam tangan dan sepatu tersebut. Kemudian tercengang.“Ini asli! Original!” seruny
Ternyata begini rasanya. Ketika seorang ayah tidak memiliki uang tapi ingin sekali membahagiakan putri tercintanya. Ia tidak memikirkan bagaimana kehidupannya ke depan dengan uang yang pas-pasan, yang terpenting untuk saat ini adalah kebahagiaan Kimberly.Jadi Archer mengiakan saja apapun keinginan anak itu. Membeli berbagai macam mainan. Makan di restoran kesukaan Kimberly. Dan menghabiskan waktu di tempat bermain anak-anak yang ada di salah satu mall terkenal.Kedua tangan Archer penuh oleh paper bag. Sementara dirinya pun harus menggendong anak itu di pangkuannya. Itu tak masalah. Menghabiskan waktu bersama dari siang hingga sore membuat hatinya terasa bahagia.“Papi mau ikut pulang ke rumah grandpa, ‘kan?” Kimberly duduk di pangkuan Archer saat taksi sudah melaju menuju rumah Nicko.Archer memandangi iris hazel Kimberly dalam-dalam. Mata itu mengingatkannya pada mata Feli. Dan setiap kali mengingat Feli, sudut hati Archer selalu terasa nyeri dan sesak.“Nggak, Sayang. Papi harus b
Titipan?Archer mendengus tatkala teringat akan kata-kata yang diucapkan ayahnya tempo hari.Ia tahu, ayahnya menitipkan perusahaan itu kepadanya. Tapi harta dan aset atas namanya tentu saja itu hasil usahanya sendiri. Bahkan, karena kerja kerasnya selama menjabat sebagai CEO di Tiger Corp, keuntungan perusahaan itu meningkat semakin pesat.Kini Archer menatap bangunan dua tingkat di hadapannya. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Ini akan cukup menampung seratus orang para penikmat kopi dalam satu waktu.Sebagai pebisnis yang tak bisa mendiamkan otaknya terlalu lama, akhirnya Archer memutuskan untuk membuka usaha kecil-kecilan—coffee shop, di tempat ini, bangunan yang baru saja ia sewa beberapa hari yang lalu.Kebetulan tempo hari Tevin menawarkan bantuan modal kepadanya, jadi ia tak melewatkan kesempatan untuk menerima tawaran tersebut.Dalam beberapa hari saja Archer sudah berhasil membuat perencanaan usaha dengan matang. Ia kerjakan semuanya sendiri. Lalu mempeker
[“Bisa lihat ke luar sekarang? Aku… merindukanmu.”]Archer menekuri layar ponselnya yang menampilkan sebaris pesannya tersebut untuk Feli. Masih ceklis dua abu-abu.Ia menghela napas berat. Kemudian mendongak, menatap jendela kamar Feli dengan tatapan penuh harap. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sini, di depan rumah Nicko. Awalnya Archer iseng memasuki gerbang yang menjulang tinggi itu, tapi ternyata satpam dan beberapa orang bodyguard tidak melarang.Hanya saja, ketika Archer akan mendekati pintu rumah dan memintanya agar diizinkan masuk, para bodyguard itu menolak mentah-mentah.Kesabaran Archer kian menipis. Rasa rindunya semakin menggebu-gebu. Ada banyak hal yang ingin ia katakan terhadap wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu.Archer lantas menelepon nomor Feli, akan tetapi baru di dering pertama saja panggilannya langsung di reject. Dan saat Archer menghubunginya untuk yang kedua kali, nomor Feli malah tidak aktif.Archer tercenung.Kebencian Feli terhadapnya pas
Archer terkejut mendengar apa yang baru saja ayah mertuanya ucapkan. Ia menggeleng, dengan tegas ia berkata, “Itu tidak akan pernah terjadi, Pa. Meskipun Papa memaksaku, kata cerai tidak akan pernah keluar dari mulutku.”Nicko tersenyum—setengah mendengus mendengarnya. Kepalanya mengangguk-angguk. “Oke. Kita lihat nanti.”Kali ini senyuman Nicko terlihat penuh arti. Archer yang menyadarinya merasa waspada. Ia yakin, ada sesuatu yang direncanakan ayah mertuanya itu. Dan jika memang dugaannya benar, kecil kemungkinan Archer dapat melawan kekuasaan sang ayah mertua. Selain miskin, ia pun sendirian saat ini, tidak ada orang lain yang dapat ia andalkan.Jari jemari Archer terkepal. Apapun yang terjadi, ia tak akan membiarkan Feli jatuh ke tangan Rafi!Di taman belakang, Rafi menatap Feli dengan tatapan khawatir. Raut muka yang dulu selalu ceria dan tegas itu kini terlihat sendu, seperti awan kelabu.“Om Rafi! Tangkap bolanya!”Rafi terkejut. Seketika ia keluar dari keterpakuannya, lalu ter
“Pak, saya pinjam handphone!” pinta Archer dengan nada setengah memaksa. Di saat seperti ini ia tak suka berbasa-basi apalagi berkata sopan.“Handphone Masnya kenapa?”Archer mengetatkan rahangnya sembari terus mengawasi mobil hitam yang terhalang tiga mobil di depannya.“Handphone saya mati. Itu anak saya sedang diculik, Pak. Saya mau melapor ke orang rumah. Nanti saya ganti pulsa Bapak.”Sopir taksi yang sudah beruban itu merogoh saku di dada kirinya, lalu menyerahkannya pada Archer. “Password-nya satu sampai delapan.”Terburu-buru Archer memasukkan sandi tersebut. “Pak, percepat jalannya, jangan sampai kita kehilangan jejak,” ucap Archer datar sembari mengetik nomor telepon Nicko yang ia lihat dari ponselnya yang semakin eror. Kalau tidak sedang diretas ia akan mudah menghubungi ayah mertuanya menggunakan nomornya sendiri.Perlu melakukan dua kali panggilan sebelum akhirnya panggilannya terangkat.“Posisimu di mana?”Pertanyaan bernada dingin itu seolah menandakan kalau Nicko sudah
Archer nyaris kehabisan napas. Entah sudah berapa lama ia meringkuk di dalam bagasi mobil. Tiga jam? Empat jam? Entahlah. Archer tidak tahu karena ia tidak memakai jam tangan. Arloji branded-nya sudah terjual semua.Di tengah-tengah oksigen yang kian menipis, Archer mendengar derap langkah kaki mendekat. Lalu tak lama kemudian pintu bagasi itu dibuka dari luar. Mata Archer dengan mata pria bertubuh gempal yang memakai anting di telinga kiri, saling bersitatap.Si pria gempal itu terkejut. “Penyusup! Di sini ada—”BUGH!!!Tubuh pria itu terpental ke lantai ketika tendangan Archer melayang ke perut kerasnya. Archer turun dari bagasi. Tulang-tulangnya terasa pegal karena meringkuk di ruangan kecil itu sejak tadi. Ia menghirup oksigen dalam-dalam.Belum sempat pria itu bangun, Archer kembali memberikan serangan bertubi-tubi. Tinjunya berhasil merontokan tiga gigi pria itu. Kemampuan bela dirinya yang mumpuni membuat Archer mudah melumpuhkannya.“Katakan, kalian bawa ke mana anakku?” desis