Titipan?Archer mendengus tatkala teringat akan kata-kata yang diucapkan ayahnya tempo hari.Ia tahu, ayahnya menitipkan perusahaan itu kepadanya. Tapi harta dan aset atas namanya tentu saja itu hasil usahanya sendiri. Bahkan, karena kerja kerasnya selama menjabat sebagai CEO di Tiger Corp, keuntungan perusahaan itu meningkat semakin pesat.Kini Archer menatap bangunan dua tingkat di hadapannya. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Ini akan cukup menampung seratus orang para penikmat kopi dalam satu waktu.Sebagai pebisnis yang tak bisa mendiamkan otaknya terlalu lama, akhirnya Archer memutuskan untuk membuka usaha kecil-kecilan—coffee shop, di tempat ini, bangunan yang baru saja ia sewa beberapa hari yang lalu.Kebetulan tempo hari Tevin menawarkan bantuan modal kepadanya, jadi ia tak melewatkan kesempatan untuk menerima tawaran tersebut.Dalam beberapa hari saja Archer sudah berhasil membuat perencanaan usaha dengan matang. Ia kerjakan semuanya sendiri. Lalu mempeker
[“Bisa lihat ke luar sekarang? Aku… merindukanmu.”]Archer menekuri layar ponselnya yang menampilkan sebaris pesannya tersebut untuk Feli. Masih ceklis dua abu-abu.Ia menghela napas berat. Kemudian mendongak, menatap jendela kamar Feli dengan tatapan penuh harap. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sini, di depan rumah Nicko. Awalnya Archer iseng memasuki gerbang yang menjulang tinggi itu, tapi ternyata satpam dan beberapa orang bodyguard tidak melarang.Hanya saja, ketika Archer akan mendekati pintu rumah dan memintanya agar diizinkan masuk, para bodyguard itu menolak mentah-mentah.Kesabaran Archer kian menipis. Rasa rindunya semakin menggebu-gebu. Ada banyak hal yang ingin ia katakan terhadap wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu.Archer lantas menelepon nomor Feli, akan tetapi baru di dering pertama saja panggilannya langsung di reject. Dan saat Archer menghubunginya untuk yang kedua kali, nomor Feli malah tidak aktif.Archer tercenung.Kebencian Feli terhadapnya pas
Archer terkejut mendengar apa yang baru saja ayah mertuanya ucapkan. Ia menggeleng, dengan tegas ia berkata, “Itu tidak akan pernah terjadi, Pa. Meskipun Papa memaksaku, kata cerai tidak akan pernah keluar dari mulutku.”Nicko tersenyum—setengah mendengus mendengarnya. Kepalanya mengangguk-angguk. “Oke. Kita lihat nanti.”Kali ini senyuman Nicko terlihat penuh arti. Archer yang menyadarinya merasa waspada. Ia yakin, ada sesuatu yang direncanakan ayah mertuanya itu. Dan jika memang dugaannya benar, kecil kemungkinan Archer dapat melawan kekuasaan sang ayah mertua. Selain miskin, ia pun sendirian saat ini, tidak ada orang lain yang dapat ia andalkan.Jari jemari Archer terkepal. Apapun yang terjadi, ia tak akan membiarkan Feli jatuh ke tangan Rafi!Di taman belakang, Rafi menatap Feli dengan tatapan khawatir. Raut muka yang dulu selalu ceria dan tegas itu kini terlihat sendu, seperti awan kelabu.“Om Rafi! Tangkap bolanya!”Rafi terkejut. Seketika ia keluar dari keterpakuannya, lalu ter
“Pak, saya pinjam handphone!” pinta Archer dengan nada setengah memaksa. Di saat seperti ini ia tak suka berbasa-basi apalagi berkata sopan.“Handphone Masnya kenapa?”Archer mengetatkan rahangnya sembari terus mengawasi mobil hitam yang terhalang tiga mobil di depannya.“Handphone saya mati. Itu anak saya sedang diculik, Pak. Saya mau melapor ke orang rumah. Nanti saya ganti pulsa Bapak.”Sopir taksi yang sudah beruban itu merogoh saku di dada kirinya, lalu menyerahkannya pada Archer. “Password-nya satu sampai delapan.”Terburu-buru Archer memasukkan sandi tersebut. “Pak, percepat jalannya, jangan sampai kita kehilangan jejak,” ucap Archer datar sembari mengetik nomor telepon Nicko yang ia lihat dari ponselnya yang semakin eror. Kalau tidak sedang diretas ia akan mudah menghubungi ayah mertuanya menggunakan nomornya sendiri.Perlu melakukan dua kali panggilan sebelum akhirnya panggilannya terangkat.“Posisimu di mana?”Pertanyaan bernada dingin itu seolah menandakan kalau Nicko sudah
Archer nyaris kehabisan napas. Entah sudah berapa lama ia meringkuk di dalam bagasi mobil. Tiga jam? Empat jam? Entahlah. Archer tidak tahu karena ia tidak memakai jam tangan. Arloji branded-nya sudah terjual semua.Di tengah-tengah oksigen yang kian menipis, Archer mendengar derap langkah kaki mendekat. Lalu tak lama kemudian pintu bagasi itu dibuka dari luar. Mata Archer dengan mata pria bertubuh gempal yang memakai anting di telinga kiri, saling bersitatap.Si pria gempal itu terkejut. “Penyusup! Di sini ada—”BUGH!!!Tubuh pria itu terpental ke lantai ketika tendangan Archer melayang ke perut kerasnya. Archer turun dari bagasi. Tulang-tulangnya terasa pegal karena meringkuk di ruangan kecil itu sejak tadi. Ia menghirup oksigen dalam-dalam.Belum sempat pria itu bangun, Archer kembali memberikan serangan bertubi-tubi. Tinjunya berhasil merontokan tiga gigi pria itu. Kemampuan bela dirinya yang mumpuni membuat Archer mudah melumpuhkannya.“Katakan, kalian bawa ke mana anakku?” desis
“Berikan kuncinya padaku,” desis Archer, gigi-giginya bergemeretak. “Cepat!”Pria itu terbatuk-batuk dan napasnya pendek-pendek. Wajahnya tiba-tiba memucat karena cekikan Archer terasa semakin keras."Lepaskan dulu tanganmu.""Cepat!" Sekali lagi Archer mendesaknya tanpa menghiraukan keinginan pria itu.Merasa nyawanya berada di ujung tanduk, pria itu lantas merogoh sesuatu dari saku celananya dan menyerahkannya pada Archer. Itu sebuah keycard.Archer merampasnya dan menempelkan keycard itu pada sesuatu yang berbahan logam di pintu.Pintu itu terbuka. Dingin dan lembab terasa saat Archer memasuki ruangan tersebut. Ia melangkah semakin dalam dan suara-suara orang bicara terdengar semakin jelas.Sampailah ia di pintu kaca yang di dalamnya dipenuhi para pria berpakaian hitam, hanya satu orang yang berpakaian biru. Semuanya mengenakan masker.Emosi Archer semakin tersulit ketika ia melihat Kimberly terbaring di atas ranjang yang di kelilingi orang-orang itu.“Bajingan! Berengsek!” teriak
Akhir-akhir ini Feli tak pernah menangis. Seolah-olah stok air matanya telah habis, mengering.Namun setelah mendengar putrinya diculik, hampir setiap menit air matanya menetes tak dapat terbendung. Sehari semalam ia terjaga dengan perasaan gelisah yang luar biasa.“Sayang, Papa dan Xavier sudah menemukan Archer dan Kimmy. Sebentar lagi mereka akan sampai di rumah sakit. Kimmy nggak ada yang terluka, tapi Archer… seenggaknya dokter perlu mengeluarkan beberapa peluru dari tubuhnya.”Itu kata-kata yang ibunya ucapkan sebelum Feli bergegas pergi ke rumah sakit tadi malam.Bukan. Feli bukan datang untuk Archer, melainkan untuk Kimberly. Ia tidak ingin memedulikan pria itu, toh memang sudah kewajiban Archer untuk melindungi putri mereka apapun yang terjadi.Namun, entah mengapa seperti ada yang mengganjal di hati Feli ketika ia menolak semua informasi tentang Archer dari orang-orang yang datang ke ruang rawat Kimberly.Pukul delapan pagi. Feli masih duduk di tempat yang sama, di samping ran
Sore harinya Archer sudah siuman. Namun hatinya terasa hampa ketika tidak menemukan siapapun di ruangan rawatnya. Definisi dari anak yang ditelantarkan keluarga dan suami yang ditendang istri itu kini benar-benar ia rasakan. Rasanya sepi dan sunyi. Pintu ruangan terbuka. Archer langsung menolehkan kepala ke arah pintu. Namun detik berikutnya ia mendesah kecewa karena yang datang bukan wanita yang sangat ia harapkan kehadirannya. ‘Bagaimana perasaan Feli saat tahu aku di sini?’ batin Archer sembari menatap langit-langit ruangan. Archer langsung sadar kalau kemungkinan besar Feli tidak akan peduli kepadanya. Dia pria yang telah menyakitinya selama bertahun-tahun. “Saya periksa dulu ya, Pak, ya,” ucap perawat yang barusan membuka pintu. Archer mengangguk samar. Ia membiarkan perawat itu melakukan tugasnya. “Suster, apa tidak ada yang datang ke ruangan ini selama saya belum siuman?” tanya Archer penasaran. Tega sekali keluarganya jika tidak ada yang menjenguk, pikirnya. Sang peraw