“Pak, saya pinjam handphone!” pinta Archer dengan nada setengah memaksa. Di saat seperti ini ia tak suka berbasa-basi apalagi berkata sopan.“Handphone Masnya kenapa?”Archer mengetatkan rahangnya sembari terus mengawasi mobil hitam yang terhalang tiga mobil di depannya.“Handphone saya mati. Itu anak saya sedang diculik, Pak. Saya mau melapor ke orang rumah. Nanti saya ganti pulsa Bapak.”Sopir taksi yang sudah beruban itu merogoh saku di dada kirinya, lalu menyerahkannya pada Archer. “Password-nya satu sampai delapan.”Terburu-buru Archer memasukkan sandi tersebut. “Pak, percepat jalannya, jangan sampai kita kehilangan jejak,” ucap Archer datar sembari mengetik nomor telepon Nicko yang ia lihat dari ponselnya yang semakin eror. Kalau tidak sedang diretas ia akan mudah menghubungi ayah mertuanya menggunakan nomornya sendiri.Perlu melakukan dua kali panggilan sebelum akhirnya panggilannya terangkat.“Posisimu di mana?”Pertanyaan bernada dingin itu seolah menandakan kalau Nicko sudah
Archer nyaris kehabisan napas. Entah sudah berapa lama ia meringkuk di dalam bagasi mobil. Tiga jam? Empat jam? Entahlah. Archer tidak tahu karena ia tidak memakai jam tangan. Arloji branded-nya sudah terjual semua.Di tengah-tengah oksigen yang kian menipis, Archer mendengar derap langkah kaki mendekat. Lalu tak lama kemudian pintu bagasi itu dibuka dari luar. Mata Archer dengan mata pria bertubuh gempal yang memakai anting di telinga kiri, saling bersitatap.Si pria gempal itu terkejut. “Penyusup! Di sini ada—”BUGH!!!Tubuh pria itu terpental ke lantai ketika tendangan Archer melayang ke perut kerasnya. Archer turun dari bagasi. Tulang-tulangnya terasa pegal karena meringkuk di ruangan kecil itu sejak tadi. Ia menghirup oksigen dalam-dalam.Belum sempat pria itu bangun, Archer kembali memberikan serangan bertubi-tubi. Tinjunya berhasil merontokan tiga gigi pria itu. Kemampuan bela dirinya yang mumpuni membuat Archer mudah melumpuhkannya.“Katakan, kalian bawa ke mana anakku?” desis
“Berikan kuncinya padaku,” desis Archer, gigi-giginya bergemeretak. “Cepat!”Pria itu terbatuk-batuk dan napasnya pendek-pendek. Wajahnya tiba-tiba memucat karena cekikan Archer terasa semakin keras."Lepaskan dulu tanganmu.""Cepat!" Sekali lagi Archer mendesaknya tanpa menghiraukan keinginan pria itu.Merasa nyawanya berada di ujung tanduk, pria itu lantas merogoh sesuatu dari saku celananya dan menyerahkannya pada Archer. Itu sebuah keycard.Archer merampasnya dan menempelkan keycard itu pada sesuatu yang berbahan logam di pintu.Pintu itu terbuka. Dingin dan lembab terasa saat Archer memasuki ruangan tersebut. Ia melangkah semakin dalam dan suara-suara orang bicara terdengar semakin jelas.Sampailah ia di pintu kaca yang di dalamnya dipenuhi para pria berpakaian hitam, hanya satu orang yang berpakaian biru. Semuanya mengenakan masker.Emosi Archer semakin tersulit ketika ia melihat Kimberly terbaring di atas ranjang yang di kelilingi orang-orang itu.“Bajingan! Berengsek!” teriak
Akhir-akhir ini Feli tak pernah menangis. Seolah-olah stok air matanya telah habis, mengering.Namun setelah mendengar putrinya diculik, hampir setiap menit air matanya menetes tak dapat terbendung. Sehari semalam ia terjaga dengan perasaan gelisah yang luar biasa.“Sayang, Papa dan Xavier sudah menemukan Archer dan Kimmy. Sebentar lagi mereka akan sampai di rumah sakit. Kimmy nggak ada yang terluka, tapi Archer… seenggaknya dokter perlu mengeluarkan beberapa peluru dari tubuhnya.”Itu kata-kata yang ibunya ucapkan sebelum Feli bergegas pergi ke rumah sakit tadi malam.Bukan. Feli bukan datang untuk Archer, melainkan untuk Kimberly. Ia tidak ingin memedulikan pria itu, toh memang sudah kewajiban Archer untuk melindungi putri mereka apapun yang terjadi.Namun, entah mengapa seperti ada yang mengganjal di hati Feli ketika ia menolak semua informasi tentang Archer dari orang-orang yang datang ke ruang rawat Kimberly.Pukul delapan pagi. Feli masih duduk di tempat yang sama, di samping ran
Sore harinya Archer sudah siuman. Namun hatinya terasa hampa ketika tidak menemukan siapapun di ruangan rawatnya. Definisi dari anak yang ditelantarkan keluarga dan suami yang ditendang istri itu kini benar-benar ia rasakan. Rasanya sepi dan sunyi. Pintu ruangan terbuka. Archer langsung menolehkan kepala ke arah pintu. Namun detik berikutnya ia mendesah kecewa karena yang datang bukan wanita yang sangat ia harapkan kehadirannya. ‘Bagaimana perasaan Feli saat tahu aku di sini?’ batin Archer sembari menatap langit-langit ruangan. Archer langsung sadar kalau kemungkinan besar Feli tidak akan peduli kepadanya. Dia pria yang telah menyakitinya selama bertahun-tahun. “Saya periksa dulu ya, Pak, ya,” ucap perawat yang barusan membuka pintu. Archer mengangguk samar. Ia membiarkan perawat itu melakukan tugasnya. “Suster, apa tidak ada yang datang ke ruangan ini selama saya belum siuman?” tanya Archer penasaran. Tega sekali keluarganya jika tidak ada yang menjenguk, pikirnya. Sang peraw
Archer tertegun. “Bercinta?” ulangnya, memastikan kalau pendengarannya masih berfungsi dengan baik. “Apa maksudmu dengan aku bercinta bersama wanita itu?”“Pura-pura lupa?” Feli tersenyum sinis. “Sesuai dugaanku. Terus saja bersandiwara, Archer, sampai semua orang nggak ada yang akan percaya pada ucapanmu lagi!”Feli membalikkan badan, kakinya melangkah menjauhi Archer. Dengan cepat Archer menekan tuas di lengan kursi untuk menyusul Feli. Ditariknya tangan wanita itu hingga langkah kaki Feli terhenti.Sambil menahan rasa sakit di tubuhnya, Archer bangkit berdiri. Ia bisa merasakan tubuh Feli menegang ketika ia memeluk dadanya dari belakang menggunakan satu tangan. Tangan yang lain Archer gunakan untuk memegangi infusan.“Lepas!” desis Feli, tapi ia tidak memberontak. Mungkin Feli tahu itu akan membuat Archer kesakitan. “Lepaskan aku, Archer!”“Sebentar saja,” gumam Archer, “aku ingin begini dulu, sebentar.”Feli menggigit bibir bawahnya yang gemetar, mencoba menahan rasa sakit ketika
“Seorang wanita ditemukan pingsan di pinggir jalan dalam kondisi tubuh tanpa busana dan luka memar di beberapa bagian tubuhnya. Wanita tanpa identitas ini diduga sebagai korban pelecehan seksual yang kemudian dibuang oleh pelaku di pinggir jalan.”Suara presenter berita pagi itu menggemparkan seisi restoran. Suasana mendadak riuh.“Apa dia sudah meninggal?”“Kurasa belum. Barusan kata presenternya dia pingsan.”“Penjahatnya keji banget sih, apa mereka nggak punya ibu dan saudara perempuan?”“Ya Tuhan, semoga aku dan keluargaku selalu dilindungi dari kejahatan keji begitu.”Feli yang baru saja membayar makanannya di kasir mendengarkan obrolan para pengunjung tersebut.Pagi ini ia sengaja membeli makanan di restoran di samping rumah sakit sekaligus ingin mencari udara segar, walau akhirnya udara yang ia dapati sudah tercemar dengan polusi udara.Karena penasaran, Feli lantas mengalihkan tatapannya ke layar televisi berukuran 21 inchi yang menempel di dinding, sedang menampilkan sosok per
“Bos, lima menit lagi!” teriak Erra sembari membetulkan balon berwarna hitam yang tatanannya sedikit tidak rapi. Balon-balon berwarna hitam, merah dan putih didesign membentuk huruf u terbalik di pintu masuk bagian luar.Mendengar seruan Erra, Archer pun melirik jam dinding, ia belum membeli jam tangan baru. Mungkin nanti kalau usahanya sudah sukses akan membeli arloji bermerek seperti dulu.“Oke, sudah paham sampai sini?” Archer kembali meluruskan pandangan pada Janu yang akan bertugas sebagai koki merangkap jadi barista.Di samping Janu ada seorang wanita yang merupakan influencer yang memiliki penggemar lebih dari satu juta followers. Lalu di sisi Janu yang lain ada tiga orang laki-laki muda berpenampilan ikonik dan keren. Mereka adalah grup band yang akan ikut meramaikan acara peresmian Fantastic Cafe hari ini.“Paham, Bos.” Janu mengangguk. Sebagai koki dan barista berpengalaman, harusnya ia biasa saja menghadapi pelanggan yang kemungkinan besar akan membludak hari ini. Namun Jan