Feli menggeleng sembari tersenyum miris saat Archer menuduhnya dengan tuduhan yang begitu menyakitkan. Salah satu sudut hati Feli terasa nyeri mendengarnya, seakan-akan ia adalah ibu yang buruk bagi Kimberly.“Ya, kamu benar. Aku memang menyuruh Kimberly untuk meminta boneka pada pria lain yang akan menjadi ayah barunya.” Satu sudut bibir Feli terangkat begitu melihat ekspresi Archer semakin suram dan sorot matanya menggelap. “Bukankah itu yang mau kamu dengar, Archer?”“Aku baru tahu, wanita yang dipercayai oleh orang tuaku ternyata murahan.” Gigi-gigi Archer bergemeretak seperti tengah menahan amarah.“Ya, anggap saja aku wanita murahan. Lalu apa urusanmu? Bukannya kamu nggak pernah peduli dengan kehidupanku?”Feli tersenyum manis yang terkesan dibuat-buat, kedua tangannya terkepal erat yang masih terkunci di atas kepalanya.“Oh ya, aku baru ingat. Kalau aku yang cuma makan siang dengan klienku ini kamu anggap murahan, lalu bagaimana dengan kekasihmu itu, Archer?” Feli mengerjap, me
Archer tak tahu pasti apa yang hatinya rasakan begitu mendengar ucapan Kimberly. Ada rasa kecewa ketika putri yang ia besarkan selama ini tidak melihat usahanya sebagai ayah yang ingin memberikan yang terbaik. Namun, di sisi lain ada rasa benci kepada dirinya sendiri, karena bisa-bisanya ia lupa pada sesuatu yang sangat diinginkan putrinya. Hingga kini anak itu berbalik kecewa kepadanya.Menghela napas panjang, Archer lantas melanjutkan kembali langkahnya. Lalu memanggil Bik Sumi—pelayan rumah tangganya, yang tengah mengelap guci di bawah tangga.Bik Sumi menghampirinya dengan langkah tergopoh-gopoh. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”“Siapkan es batu untuk mengompres. Lalu bawa ke kamar Feli dan bantu dia untuk….” Archer menggantungkan kalimatnya sembari berpikir sesaat. Ketika menyadari keadaan tubuh Feli yang telanjang di bawah selimut, ia lantas meralat, “Siapkan saja alat kompresnya. Nanti saya yang bawa sendiri.”Bik Sumi mengerjap. Ia agak terkejut mendengar perintah tuannya yan
Feli merasakan tubuhnya pegal-pegal ketika ia terbangun. Pergelangan tangannya pun tidak semerah sebelumnya dan tidak terasa begitu sakit. Ini cukup aneh, pikirnya. Mengingat sebelum terlelap ia melihat kulit tangannya tampak sangat merah.Feli turun dari ranjang dan melihat pakaiannya yang semula berserakan di lantai, kini terlipat rapi di atas sofa. Tidak mungkin Archer yang melakukannya, bukan?Lagi pula, selama ini setiap kali Archer selesai meminta haknya, dia selalu meninggalkan Feli dalam keadaan hati yang terluka.Setelah membersihkan tubuh dan berganti pakaian, Feli pun mencari keberadaan Kimberly di kamarnya. Namun anak itu tidak terlihat.“Wi, Kimmy ke mana, ya?” Feli menemui Dewi di kamar belakang, kamar khusus untuk para pekerja di rumah ini.“Oh? Adek pergi sama tuan, Nya.”Feli tidak begitu terkejut mendengarnya. “Pergi ke mana?”“Katanya mau beli es krim ke tokonya Argi.”Feli mengangguk mengerti. Ia pun meninggalkan tempat itu sembari menghela napas panjang. Feli tida
“Mami…! Kita mau ketemu Kak Aurora?”“Mm-hm.”“Uncle Auriga juga ada? Uncle udah pulang?!”“Udah, Sayang.”“Yeay…!”Suara melengking Kimberly yang diiringi gelak tawa dari dalam kamar membuat rasa penat Archer sedikit terobati.Seperti yang lalu-lalu, Archer tak pernah merasa nyaman setiap kali berada di rumah ini. Setiap harinya selalu membuatnya jenuh dan sesak, seolah rumah mewah yang lengkap dengan segala fasilitas ini tidak bisa memberinya kenyamanan sedikit pun.Berbeda dengan rumah sederhana yang ditempati Belvina. Seemosi apapun Archer saat Belvina melakukan kesalahan, wanita itu tak pernah sekalipun membantah atau berbicara kasar. Belvina selalu menurut dan patuh. Mungkin hal itu jugalah yang membuat Archer nyaman dan mencintai wanita itu setiap waktu.Archer mengeluarkan ponsel. Ia baru akan menyentuh ikon telepon pada nomor Belvina saat suara ketukan high heels terdengar menuruni tangga. Diikuti langkah-langkah kecil yang berlari ke arahnya.“Papi! Aku udah cantik belum?” K
“Aku tahu kamu nggak sehat,” balas Auriga, masih dengan tatapan anehnya. “Maksudku… otak dan hati nuranimu yang kurang sehat.”Seketika Archer terdiam. Rahangnya berkedut seraya menatap Auriga dengan tatapan sedikit tajam.Apa Auriga tahu hubungannya dengan Belvina? Apa dia juga tahu bagaimana kacaunya rumah tangganya dengan Feli?Archer bertanya-tanya dalam hati sembari mengepalkan kedua belah telapak tangannya.“Apa maksudmu, Bang?” tanya Archer dengan suara dingin.Suasana di ruang keluarga mendadak hening. Gendarly dan Feli saling tatap satu sama lain. Sedangkan Axl tampak menyeruput kopi pahitnya dengan santai, seolah-olah dia tidak begitu peduli pada perubahan atmosfer di antara anak-anaknya.“Kurasa kamu pasti mengerti ke mana arah pembicaraanku?” Satu sudut bibir Auriga terangkat.Pertanyaan itu membuat Archer semakin yakin jika Auriga mengetahui sesuatu tentang rumah tangganya."Kamu sengaja mencari tahu untuk-"“Hahahaha….” Tawa puas Auriga seketika terdengar membahana di ru
“Feli, ayo kita pulang. Sekarang!”Suara berat milik Archer membuat Feli terkejut. Ia melirik arloji di tangan kirinya sekilas.“Masih jam delapan. Apa nggak terlalu terburu-buru?” balas Feli sembari mendongak menatap suaminya itu. Ia mengerutkan kening karena sorot mata Archer terlihat begitu suram.Apanya yang salah? Memangnya ada sesuatu yang membuat pria itu marah?Feli bertanya-tanya dalam hati. Namun pada akhirnya Feli tak mau peduli.“Perjalanan dari sini ke rumah juga memakan waktu cukup lama,” timpal Archer.“Feli benar.” Auriga angkat suara sembari menggeser duduknya hingga setengah menghadap Archer. “Kenapa harus buru-buru? Kita kumpul begini cuma dua minggu atau bahkan satu bulan sekali, Bro.”Archer mengembuskan napas kasar. “Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini juga.”“Oh. Kalau begitu kamu pulang duluan aja. Feli dan Kimmy biar aku yang antar pulang nanti.”“Nggak bisa.” Archer berusaha menahan intonasi suaranya agar tetap normal. Bagaimanapun, di depan mer
Feli keluar dari kamar mandi mengenakan piyama satin berwarna merah, kesukaannya. Bibir merah alaminya mengulas senyum begitu melihat Kimberly tengah memeluk bantal dan selimutnya. Tubuh mungil anak itu nyaris tertutupi semuanya oleh benda yang ia peluk, hanya terlihat dahi dan matanya saja.“Mami! Ayo! Jangan lama-lama!” seru Kimberly dengan suara teredam bantal.Feli terkekeh. Anak itu tampak tak sabar ingin cepat-cepat tidur di kamar yang ada di lantai tiga. “Kenapa nggak duluan aja ke kamar di atasnya, hem?”“Aku mau nungguin Mami.”“Tadi ‘kan kamu sama Papi, Sayang. Kan bisa bareng papi kalau Kimmy udah nggak sabar.” Feli meraih bantal dan selimut dari pelukan Kimberly.“Fyuh!” Kimberly mengusap dahi yang tak berkeringat sama sekali. Tingkahnya persis seperti orang dewasa yang kecapekan habis membawa sesuatu yang berat.“Papi naik duluan, Mami. Terus aku disuruh nunggu Mami aja di sini.”“Ooh. Begitu.”“Hm-hm! Ayo, Mi!”Feli sempat terdiam sembari berpikir, mungkin Archer tidak l
“Archer…,” panggil Feli seraya menghela napas panjang. “Kita akhiri saja pernikahan ini.”Feli tak mengerti kenapa kalimat itu begitu mudah keluar dari mulutnya. Mungkin ia sudah benar-benar lelah? Meski ada banyak konsekuensi yang harus ia terima ketika mereka berpisah, dan salah satunya Kimberly akan dibesarkan dari keluarga broken home, akan tetapi rasanya Feli tak bisa terus berada dalam situasi yang terasa mencekik lehernya ini.Setelah kalimat itu terlontar, Feli melihat Archer menaruh gelas kosong ke atas meja dengan kasar. Suara gelas dan permukaan meja yang beradu dengan keras membuat Feli sempat tersentak.“Kamu bilang apa? Katakan sekali lagi.” Bahkan suara Archer pun mampu mengalahkan dinginnya hembusan AC yang membuat bulu-bulu di tangan Feli berdiri.Sekali lagi Feli menghela napas panjang sebelum kembali berkata, “Kita bercerai saja, Archer. Tolong lepaskan aku. Aku sudah lelah.”Kata-kata Feli yang diucapkan dengan nada lelah itu sontak membuat Archer terdiam. Ia berdi
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”