Share

7. Calon Ayah Baru

“Oh. Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Feli!”

Feli yang tengah menyesap minumannya langsung tersedak begitu mendengar suara seseorang yang tak asing di telinga.

Rafi menyambar selembar tisu lalu menyerahkannya kepada Feli, dan hal itu tak luput dari pandangan Archer yang kini berdiri di dekat meja mereka dengan ekspresi dingin.

“Bisa nggak kamu nanyanya nunggu aku selesai minum dulu?” gerutu Feli sembari mengeringkan bajunya yang terkena air menggunakan tisu pemberian Rafi.

“Oh. Anda pasti suaminya Feli.” Rafi bangkit berdiri, tersenyum sambil mengulurkan tangan kanan. Mencoba menghargai suami kliennya ini. “Perkenalkan, saya Rafi,” katanya dengan tenang.

Archer mengalihkan tatapannya dari Feli ke arah tangan Rafi, lalu berpaling lagi ke arah lain seolah-olah tak menganggap kehadiran Rafi sama sekali.

Satu sudut bibir Rafi terangkat. Merasa Archer enggan menerima uluran tangannya, Rafi lantas menarik tangannya kembali dan menjejalkannya ke saku celana.

“Kami hanya makan siang, tadi saya sendiri yang datang ke sini. Tidak ada janji temu dulu sebelumnya,” jelas Rafi, berharap Archer tidak salah paham dengan apa yang dia lihat saat ini. Meski ekspresi Archer tampak datar, Rafi bisa mengerti sorot mata hitam pekat itu tengah menyembunyikan emosi.

“Saya tidak meminta penjelasan apapun dari Anda, Tuan Rafi." Archer menatap Rafi dengan malas.

“Panggil saya ‘pak’ saja.” Rafi tersenyum kecil, meski ia tahu panggilan tuan yang disematkan Archer hanya sebagai sindiran. “Saya tidak terbiasa dipanggil tuan.”

“Kalau sudah tidak ada urusan lagi dengan ISTRI saya, lebih baik tinggalkan kami.” Archer menekankan kata ‘istri’, seolah ingin menegaskan status Rafi yang hanya sebagai orang asing di antara mereka.

“Baik. Kebetulan saya juga sudah selesai makan siangnya.”

Rafi menggeser pandangannya pada Feli yang tengah memperhatikan mereka sejak tadi. Dilihat dari raut wajahnya yang tanpa ekspresi, Rafi sulit menebak apa yang Feli rasakan saat ini. Ada yang sedikit aneh dalam cara berkomunikasi Feli dan Archer, Rafi dapat melihat hal itu. Namun, Rafi tak ingin ikut campur lebih jauh lagi.

“Fel, aku pulang dulu. Terkait rancangan yang tadi kita bahas, kirimkan saja hasilnya melalui email.”

Feli mengangguk. “Oke. Aku akan menyelesaikan desainnya hari ini.”

Rafi lantas pergi meninggalkan café tersebut. Tatapan Archer mendadak berubah tajam saat menatap Feli.

“Ikut aku. Ada yang harus kita bicarakan.” Suara Archer terdengar dingin.

“Ada sesuatu yang penting?”

“Tentu. Urusan kita tidak pernah tidak penting.”

“Sampaikan saja di sini. Nggak ada orang yang bakal nguping pembicaraan kita,” ujar Feli dengan santai.

Rahang Archer berkedut. Ia tidak suka dengan sikap Feli yang terlihat santai dan tak merasa berdosa sama sekali. Padahal apa yang Feli lakukan hari ini tidak dapat ditolerir lagi. Feli secara terang-terangan menunjukkan kedekatannya dengan pria lain di depan umum. Itu bisa merusak reputasi Archer sebagai CEO muda ternama di tanah air.

Archer menggenggam pergelangan tangan Feli. Genggamannya yang keras membuat Feli sempat meringis kesakitan.

“Ikut aku!” titah Archer dengan jauh lebih tegas.

“Mami…! Aku udah selesai cuci ta… ngan.” Suara melengking Kimberly perlahan merendah begitu melihat Archer.

Archer menoleh. Ia langsung terdiam manakala melihat putri semata wayangnya yang masih menatapnya dengan tatapan suram. Ia belum berhasil membuat putrinya memaafkannya.

Melihat Archer yang sedang lengah, Feli lantas menarik tangannya kembali dari genggaman pria itu.

“Om Rafi mana, Mi?”

“Sudah pulang, Sayang.”

“Yaah….” Kimberly tampak kecewa. Ia tak sadar sikapnya ini telah membuat ayahnya juga merasa kecewa sekaligus geram.

Kimberly naik ke kursinya, lantas memeluk boneka kuda poni di atas pangkuan.

Sorot mata Archer menyusut saat dirinya baru sadar bahwa sejak tadi ada boneka yang diinginkan Kimberly di kursi itu.

“Kimmy sudah dapat bonekanya?” tanya Archer dengan tenggorokan tercekat.

Kimberly mengangguk, ekspresinya tak seceria saat sebelum ada Archer. “Dari Om Rafi.”

Sekali lagi Archer terdiam. Kedua tangannya perlahan mengepal hingga urat-uratnya terlihat menonjol. Ia lantas menatap mobilnya yang terparkir di luar sana, terlihat jelas dari dinding kaca café ini. Tatapan Archer berubah kelam mengingat ada banyak boneka kuda poni di dalam mobilnya. Yang rencananya akan ia berikan hari ini kepada Kimberly.

Namun ternyata dia kalah cepat oleh lelaki bernama Rafi itu. Archer lantas tersenyum kecut.

“Baiklah, jadi mau mengobrol di mana? Di sini? Atau di kantorku?” Feli segera mengalihkan perhatian karena ia bisa melihat raut muka Archer semakin suram setelah melihat boneka di pelukan putri mereka.

“Di rumah. Ikut aku pulang.”

Archer berlalu pergi meninggalkan meja itu dan keluar dari café. Helaan napas Feli terasa berat seraya menatap punggung Archer yang perlahan menjauh dari mereka.

“Sayang, ayo kita pulang.” Feli mengacak rambut Kimberly dengan gemas.

“Tapi minuman Mami belum habis.”

“Ah… iya, Mami lupa. Mau Mami habiskan sekarang.”

Feli menghabiskan minumannya saat itu juga. Ia selalu mengajarkan Kimberly untuk tidak menyisakan makanan atau minuman. Tidak etis rasanya jika Feli yang mengajarkan tapi dia juga yang melanggar.

Pada akhirnya Feli memutuskan untuk mengikuti kemauan Archer. Pekerjaannya bisa ia handle dari rumah dan kebetulan hari ini tidak ada jadwal penting yang mengharuskan ada Feli di kantor.

Suasana di dalam mobil terasa kaku. Archer sibuk dengan kemudi, pandangannya lurus ke depan, bibirnya terkatup rapat. Rahangnya sesekali mengeras dan pegangannya pada kemudi begitu kuat saat mendengar suara Kimberly yang asyik mengobrol dengan boneka pemberian Rafi, di kursi belakang.

Sedangkan Feli tak ingin banyak berkomentar, ia hanya menanggapi pertanyaan Kimberly yang penasaran dengan hal-hal baru. Feli tahu Archer sedang marah. Tapi Feli tidak mau ambil pusing.

Sesampainya di rumah, Archer meminta Dewi untuk menjaga Kimberly. Kemudian menarik tangan Feli dan membawanya memasuki kamar Feli sendiri. Ya, Archer memang seperti itu. Ia bebas keluar masuk kamar Feli, sedangkan dia sendiri tidak suka jika Feli masuk ke kamarnya.

“Aku bukan barang yang perlu diseret-seret.” Feli mengentakkan tangannya dengan kasar, tetapi genggaman Archer terlalu kuat.

Archer menutup pintu kamar dan menguncinya. Kemudian memenjarakan tubuh Feli ke dinding dan mengunci kedua pergelangan tangannya di atas kepala. Feli segera membuang muka ketika wajah Archer berada terlalu dekat dengannya.

“Kalau mau bicara, bicara saja dengan cara baik-baik. Nggak perlu memperlakukan aku seperti binatang begini,” ujar Feli dengan suara dingin.

“Kamu mengajarkan Kimberly untuk jadi pengemis, Feli?” desis Archer tajam, yang membuat Feli mengerutkan keningnya tak mengerti.

“Mengemis apa maksudmu, Archer?”

“Boneka itu!” Suara Archer naik satu oktaf seraya menatap Feli dengan tatapan tajam. “Kamu menyuruh Kimberly untuk minta boneka pada pria itu, bukan?” Archer tersenyum kecut. “Atau… kamu sedang mengenalkan dia pada calon ayah barunya, begitu maksudmu?”

***

Comments (185)
goodnovel comment avatar
Yumi Anah
beca cerita ini ikutan terasa sesak bgt didada seperti yg dialami Feli......
goodnovel comment avatar
Nana Vionna Kolopita
kirin kalu sudah tamat nggak perlu beli koin lagi
goodnovel comment avatar
Dewi Nurmiati
mo beli koin susah y sudahlah Ndak usah d lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status