“Boneka kuda poni aku mana, Pi? Papi beliin aku kuda poni, ‘kan?”
Seketika Archer terdiam. Tatapan polos dan penuh harap dari bola mata jernih Kimberly membuat lidahnya mendadak terasa kelu.“Pi, kok nggak jawab?”Feli tersenyum ironi. Ia sudah bisa menebak bahwa pria itu pasti melupakan janjinya lagi. Ini untuk ketiga kalinya di tahun ini Archer melupakan janjinya kepada Kimberly.Belvina.Jemari Feli terkepal ketika nama itu melintas di pikirannya, hingga wortel dalam genggamannya terlihat bergetar.Semua ini karena Archer terlalu mengurusi hidup wanita itu, sampai-sampai dia melupakan permintaan putrinya sendiri.“Sayang.” Suara Archer terdengar serak. Dielusnya kepala Kimberly dengan lembut. “Papi... nggak nemu boneka kuda poninya di Singapura,” dustanya dengan tenggorokan tercekat. “Maaf. Siang ini Papi baru akan beli di—”Kalimat Archer seketika terhenti saat Kimberly tiba-tiba turun dari kursi dengan bibir cemberut. Bola matanya berkaca-kaca. Dia lari meninggalkan ruangan makan dan menaiki tangga ke lantai dua.Kimberly kecewa padanya. Archer tahu itu. Dadanya mendadak terasa sesak, apalagi ketika ia melihat wortel dan pisau mainan tergeletak begitu saja di meja makan. Padahal beberapa saat yang lalu Kimberly semangat sekali ingin membuatkan sarapan untuknya.“Puas?” Feli menghampiri Archer dengan tatapan dingin.Archer menatapnya sesaat. Bibirnya terkatup rapat.“Mau berapa kali lagi kamu mengecewakan dia, Archer?”“Aku terlalu sibuk di Singapura.”Feli mengeluarkan suara seperti setengah mendengus dan setengah tertawa. “Ya. Aku percaya. Kamu terlalu sibuk ngurusin satu orang wanita!” desisnya, “lain kali nggak perlu pulang ke rumah. Urusi saja wanita pesakitan itu dan nggak usah memedulikan anakmu sendiri!”Feli kembali ke dapur dan berusaha mengatur napasnya yang terasa memburu akibat emosi yang tak tertahankan.Archer mengepalkan tangannya hingga urat-uratnya terlihat menonjol. Rahangnya mengetat. Ia menghampiri Feli dan menatap punggungnya dengan tatapan dingin.“Jaga mulutmu.” Archer berkata penuh penekanan. “Apa kamu lupa, dia jadi pesakitan karena siapa?”Feli terdiam. Ia sudah bisa menebak ujung dari pertikaian ini akan bermuara ke mana.“Karena kamu!” tuduh Archer tanpa perasaan. “Kalau saja saat itu kamu nggak menabrak Belvina, dia nggak akan jadi perempuan cacat dan pesakitan! Dia akan jadi vialinist terkenal. Dan dia nggak harus menderita seperti ini akibat keegoisanmu! Dia—”“Cukup!” Feli memotongnya seraya berbalik, menatap Archer dengan tatapan sengit. “Apa belum puas kamu terus-menerus menyalahkanku selama empat tahun ini, Archer? Kamu membenciku, bukan? Lalu kenapa kamu tidak menceraikanku saja?!”Archer terdiam. Sorot matanya terlihat semakin suram.“Nggak semudah yang kamu kira, Feli,” timpal Archer dengan suaranya yang mampu membekukan apapun yang ada di dekatnya. “Seumur hidupnya, Belvina harus menanggung derita karena keegoisanmu. Lalu kamu pikir, aku akan melepaskanmu begitu saja?”Archer menggeleng seraya tersenyum miring. “Kamu harus ada dalam ‘genggamanku’. Karena kamu nggak boleh lebih bahagia dari Belvina.”Setelah mengatakan kalimat tersebut, Archer langsung berbalik dan pergi dari hadapan Feli.Feli tercenung.Sudut hatinya terasa nyeri sekalipun Feli sudah berusaha untuk tidak sakit hati. Tidak ada kata ‘baik-baik saja’ setiap kali mereka bertemu. Archer seolah punya seribu cara untuk meninggalkan luka di hatinya. Lagi dan lagi. Entah akan sampai kapan Archer merasa puas lalu berhenti menyakiti istrinya sendiri.Feli menghela napas berat untuk melonggarkan dadanya yang sesak. Bahkan setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan.Sejujurnya, ada satu hal yang Feli tidak mengerti hingga saat ini. Archer selalu bilang, bahwa Feli menabrak Belvina karena unsur sengaja akibat keegoisan Feli sendiri.Keegoisan apa maksudnya? Feli bertanya-tanya dalam hati.Apa ada sesuatu yang tidak Feli ketahui? Atau… ada hal lain yang Belvina ceritakan kepada Archer, yang membuat Archer marah dan berakhir membenci Feli?Entahlah.Feli menghela napas lelah. Apapun itu, Feli tak ingin membahasnya atau bertanya kepada Archer. Pria itu tidak akan pernah mempercayai apapun yang keluar dari mulutnya.***Blossom Boutique tak hanya butik biasa. Itu merupakan butik terkenal yang pelanggannya kebanyakan dari kalangan artis atau para konglomerat. Feli merintis usaha butiknya dari nol. Meski berasal dari keluarga kaya raya, Feli tak pernah mengandalkan nama belakang keluarga ‘Ferlando’ untuk mengembangkan butiknya. Ini pure hasil usahanya sendiri.Hasil goresan tangannya tak pernah gagal. Pakaian apapun yang Feli desain, selalu berhasil memuaskan para pelanggan. Setidaknya, mereka yang pernah memesan pakaian di Blossom Boutique akan kembali datang untuk kedua kalinya.Lalu siang ini, Feli menghabiskan waktu makan siangnya bersama Binar—sahabatnya semasa sekolah, di café yang ada di Blossom Boutique.“Anak lo kenapa?”Menanggapi pertanyaan Binar, Feli pun menoleh ke arah meja di sebelah mereka. Kimberly terlihat sedang menggoreskan crayon ke buku gambar dengan ekspresi sendu.Sejak kejadian tadi pagi, anak itu menjadi tidak bersemangat. Usianya memang masih tiga tahun, tetapi Kimberly tumbuh menjadi anak yang peka dan hatinya sensitif sekali. Apalagi jika itu sesuatu yang berhubungan dengan ayahnya. Seperti boneka kuda poni itu contohnya.Feli sudah berusaha membujuknya, lalu membawa dia bersamanya ke butik dengan harapan kekecewaan Kimberly teralihkan. Namun, sampai siang ini mood anak itu tidak ada perubahan.“Biasa. Ada sedikit masalah sama bapaknya.”“Ooh. I see.”Binar mengangguk dan tak bertanya lebih jauh. Ia tak mau terkesan ikut campur urusan rumah tangga sahabatnya.“Nar, dugaan lo benar. Dia pergi ke Singapur buat nemuin cewek itu.”Binar nyaris tersedak oleh matcha latte yang baru ia sesap. “Dia… maksud gue Archer, jujur sama lo?”Feli mengangguk.“Terus? Lo diem aja di saat suami lo sebulan pergi buat—”“Rendahin suara lo.” Feli memotong karena khawatir Kimberly mendengar percakapan mereka.“Oops! Sorry.” Binar lantas memelankan suara dan mencondongkan badannya ke depan Feli. “Fel, lo nggak berbuat apa-apa di saat suami lo pergi nemuin cewek itu selama sebulan? Sebulan, Fel. Satu bulan.”Binar jadi gemas sendiri karena selama ini Feli selalu berusaha sabar menghadapi suami gilanya.“Memangnya apa yang bisa aku lakukan?” Feli tersenyum pahit. “Bahkan, sekalipun aku mencegah atau marah, ujung-ujungnya Archer bakal nyalahin aku.”“Tapi seenggaknya Archer harus tahu kalau cewek seperti Belvina itu nggak sebaik yang dia kira. Belvina tipe orang yang manipulatif, Fel.”“Aku tahu.”Feli menghela napas panjang. Ya, Belvina memang tipe manipulatif. Feli tahu itu.Dulu, saat Feli kuliah di Paris bersama Archer, Belvina sempat menghalalkan segala cara untuk mendapat perhatian Archer.Hingga akhirnya pertemanan Feli dan Archer perlahan-lahan rusak dan menjauh satu sama lain. Archer yang semula selalu ada waktu untuk Feli, semenjak berpacaran dengan Belvina dia semakin menjauh. Seolah-olah Belvina adalah prioritas utamanya. Archer selalu memperlakukan Belvina layaknya barang antik yang sangat berharga.“Tapi nggak ada gunanya gue kasih tahu Archer sekarang.” Lagi-lagi Feli tersenyum miris. “Itu hanya akan membuat dia makin benci sama gue.”Kalau sudah begini Binar tak bisa berkata-kata lagi. Ia salut pada Feli yang mampu bertahan selama empat tahun ini. Jika itu wanita lain, Binar tak yakin akan bertahan dalam rumah tangganya yang tak pernah benar-benar ada.“Anak gue mana?” Feli terkejut saat tak menemukan Kimberly di seluruh sudut café. Hanya ada crayon dan buku gambarnya saja, tergeletak di meja. “Tunggu sebentar. Gue cari Kimmy dulu.”Feli beranjak dari kursinya, lalu keluar untuk mencari Kimberly. Ia selalu khawatir jika membiarkan anak itu keluar sendirian. Apalagi kasus pelecehan terhadap anak di bawah umur kini semakin marak terjadi.“Mami…!”Seruan ceria dari arah parkiran membuat Feli bisa menghela napas lega.“Mami! Aku punya boneka kuda poni!” seru Kimberly lagi dengan riang.Feli terkejut. Ia segera menyongsong putrinya yang tengah memeluk boneka kuda poni. “Cantik banget bonekanya. Ini… dari papi? Papi datang, ya?”***Feli segera menyongsong putrinya yang tengah memeluk boneka kuda poni yang seukuran nyaris sama dengan tubuh mungilnya.“Cantik banget bonekanya. Ini… dari papi? Papi datang, ya?” tanya Feli sembari berjongkok untuk mensejajarkan tinggi mereka.Kimberly menggeleng cepat hingga tirai poni di dahinya yang lurus dan rapi ikut bergerak. Raut wajahnya sempat suram kala mendengar ayahnya disebut-sebut. Lalu tersenyum lagi sembari mengeratkan pelukannya pada boneka berwarna pink dan ungu itu.“Bukan, Mi. Om Rafi yang ngasih. Ini bonekanya dari Om Rafi!” seru Kimberly dengan riang.Feli tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Om Rafi?”“Hm! Itu Omnya.”Mata Feli yang berwarna hazel itu bergerak mengikuti arah telunjuk putrinya. Benar saja, seorang pria dengan penampilan rapi yang dibalut jas abu-abu, tengah menghampiri mereka sembari tersenyum.“Kimmy udah ngucapin terima kasih sama Om Rafi?”“Sudah, Mi.”“Pintar.” Feli tersenyum sembari mengusap kedua pipi Kimberly. “Sekarang Kimmy temenin
“Oh. Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Feli!”Feli yang tengah menyesap minumannya langsung tersedak begitu mendengar suara seseorang yang tak asing di telinga.Rafi menyambar selembar tisu lalu menyerahkannya kepada Feli, dan hal itu tak luput dari pandangan Archer yang kini berdiri di dekat meja mereka dengan ekspresi dingin.“Bisa nggak kamu nanyanya nunggu aku selesai minum dulu?” gerutu Feli sembari mengeringkan bajunya yang terkena air menggunakan tisu pemberian Rafi.“Oh. Anda pasti suaminya Feli.” Rafi bangkit berdiri, tersenyum sambil mengulurkan tangan kanan. Mencoba menghargai suami kliennya ini. “Perkenalkan, saya Rafi,” katanya dengan tenang.Archer mengalihkan tatapannya dari Feli ke arah tangan Rafi, lalu berpaling lagi ke arah lain seolah-olah tak menganggap kehadiran Rafi sama sekali.Satu sudut bibir Rafi terangkat. Merasa Archer enggan menerima uluran tangannya, Rafi lantas menarik tangannya kembali dan menjejalkannya ke saku celana.“Kami hanya makan siang, tadi s
Feli menggeleng sembari tersenyum miris saat Archer menuduhnya dengan tuduhan yang begitu menyakitkan. Salah satu sudut hati Feli terasa nyeri mendengarnya, seakan-akan ia adalah ibu yang buruk bagi Kimberly.“Ya, kamu benar. Aku memang menyuruh Kimberly untuk meminta boneka pada pria lain yang akan menjadi ayah barunya.” Satu sudut bibir Feli terangkat begitu melihat ekspresi Archer semakin suram dan sorot matanya menggelap. “Bukankah itu yang mau kamu dengar, Archer?”“Aku baru tahu, wanita yang dipercayai oleh orang tuaku ternyata murahan.” Gigi-gigi Archer bergemeretak seperti tengah menahan amarah.“Ya, anggap saja aku wanita murahan. Lalu apa urusanmu? Bukannya kamu nggak pernah peduli dengan kehidupanku?”Feli tersenyum manis yang terkesan dibuat-buat, kedua tangannya terkepal erat yang masih terkunci di atas kepalanya.“Oh ya, aku baru ingat. Kalau aku yang cuma makan siang dengan klienku ini kamu anggap murahan, lalu bagaimana dengan kekasihmu itu, Archer?” Feli mengerjap, me
Archer tak tahu pasti apa yang hatinya rasakan begitu mendengar ucapan Kimberly. Ada rasa kecewa ketika putri yang ia besarkan selama ini tidak melihat usahanya sebagai ayah yang ingin memberikan yang terbaik. Namun, di sisi lain ada rasa benci kepada dirinya sendiri, karena bisa-bisanya ia lupa pada sesuatu yang sangat diinginkan putrinya. Hingga kini anak itu berbalik kecewa kepadanya.Menghela napas panjang, Archer lantas melanjutkan kembali langkahnya. Lalu memanggil Bik Sumi—pelayan rumah tangganya, yang tengah mengelap guci di bawah tangga.Bik Sumi menghampirinya dengan langkah tergopoh-gopoh. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”“Siapkan es batu untuk mengompres. Lalu bawa ke kamar Feli dan bantu dia untuk….” Archer menggantungkan kalimatnya sembari berpikir sesaat. Ketika menyadari keadaan tubuh Feli yang telanjang di bawah selimut, ia lantas meralat, “Siapkan saja alat kompresnya. Nanti saya yang bawa sendiri.”Bik Sumi mengerjap. Ia agak terkejut mendengar perintah tuannya yan
Feli merasakan tubuhnya pegal-pegal ketika ia terbangun. Pergelangan tangannya pun tidak semerah sebelumnya dan tidak terasa begitu sakit. Ini cukup aneh, pikirnya. Mengingat sebelum terlelap ia melihat kulit tangannya tampak sangat merah.Feli turun dari ranjang dan melihat pakaiannya yang semula berserakan di lantai, kini terlipat rapi di atas sofa. Tidak mungkin Archer yang melakukannya, bukan?Lagi pula, selama ini setiap kali Archer selesai meminta haknya, dia selalu meninggalkan Feli dalam keadaan hati yang terluka.Setelah membersihkan tubuh dan berganti pakaian, Feli pun mencari keberadaan Kimberly di kamarnya. Namun anak itu tidak terlihat.“Wi, Kimmy ke mana, ya?” Feli menemui Dewi di kamar belakang, kamar khusus untuk para pekerja di rumah ini.“Oh? Adek pergi sama tuan, Nya.”Feli tidak begitu terkejut mendengarnya. “Pergi ke mana?”“Katanya mau beli es krim ke tokonya Argi.”Feli mengangguk mengerti. Ia pun meninggalkan tempat itu sembari menghela napas panjang. Feli tida
“Mami…! Kita mau ketemu Kak Aurora?”“Mm-hm.”“Uncle Auriga juga ada? Uncle udah pulang?!”“Udah, Sayang.”“Yeay…!”Suara melengking Kimberly yang diiringi gelak tawa dari dalam kamar membuat rasa penat Archer sedikit terobati.Seperti yang lalu-lalu, Archer tak pernah merasa nyaman setiap kali berada di rumah ini. Setiap harinya selalu membuatnya jenuh dan sesak, seolah rumah mewah yang lengkap dengan segala fasilitas ini tidak bisa memberinya kenyamanan sedikit pun.Berbeda dengan rumah sederhana yang ditempati Belvina. Seemosi apapun Archer saat Belvina melakukan kesalahan, wanita itu tak pernah sekalipun membantah atau berbicara kasar. Belvina selalu menurut dan patuh. Mungkin hal itu jugalah yang membuat Archer nyaman dan mencintai wanita itu setiap waktu.Archer mengeluarkan ponsel. Ia baru akan menyentuh ikon telepon pada nomor Belvina saat suara ketukan high heels terdengar menuruni tangga. Diikuti langkah-langkah kecil yang berlari ke arahnya.“Papi! Aku udah cantik belum?” K
“Aku tahu kamu nggak sehat,” balas Auriga, masih dengan tatapan anehnya. “Maksudku… otak dan hati nuranimu yang kurang sehat.”Seketika Archer terdiam. Rahangnya berkedut seraya menatap Auriga dengan tatapan sedikit tajam.Apa Auriga tahu hubungannya dengan Belvina? Apa dia juga tahu bagaimana kacaunya rumah tangganya dengan Feli?Archer bertanya-tanya dalam hati sembari mengepalkan kedua belah telapak tangannya.“Apa maksudmu, Bang?” tanya Archer dengan suara dingin.Suasana di ruang keluarga mendadak hening. Gendarly dan Feli saling tatap satu sama lain. Sedangkan Axl tampak menyeruput kopi pahitnya dengan santai, seolah-olah dia tidak begitu peduli pada perubahan atmosfer di antara anak-anaknya.“Kurasa kamu pasti mengerti ke mana arah pembicaraanku?” Satu sudut bibir Auriga terangkat.Pertanyaan itu membuat Archer semakin yakin jika Auriga mengetahui sesuatu tentang rumah tangganya."Kamu sengaja mencari tahu untuk-"“Hahahaha….” Tawa puas Auriga seketika terdengar membahana di ru
“Feli, ayo kita pulang. Sekarang!”Suara berat milik Archer membuat Feli terkejut. Ia melirik arloji di tangan kirinya sekilas.“Masih jam delapan. Apa nggak terlalu terburu-buru?” balas Feli sembari mendongak menatap suaminya itu. Ia mengerutkan kening karena sorot mata Archer terlihat begitu suram.Apanya yang salah? Memangnya ada sesuatu yang membuat pria itu marah?Feli bertanya-tanya dalam hati. Namun pada akhirnya Feli tak mau peduli.“Perjalanan dari sini ke rumah juga memakan waktu cukup lama,” timpal Archer.“Feli benar.” Auriga angkat suara sembari menggeser duduknya hingga setengah menghadap Archer. “Kenapa harus buru-buru? Kita kumpul begini cuma dua minggu atau bahkan satu bulan sekali, Bro.”Archer mengembuskan napas kasar. “Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini juga.”“Oh. Kalau begitu kamu pulang duluan aja. Feli dan Kimmy biar aku yang antar pulang nanti.”“Nggak bisa.” Archer berusaha menahan intonasi suaranya agar tetap normal. Bagaimanapun, di depan mer
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”