Pasti pada pengen Archer dapat karma kan? haha. Nggak setuju Archer dibaikin gitu aja. Tapi ini baru pertengahan guys, kalo karmanya datang sekarang, bakalan tamat dong ceritanya :-D
Mata Feli mengerjap, cuma untuk memastikan ia sudah berada di alam nyata ketika melihat pemandangan di hadapannya. Wajah Archer yang tegas dan tampan itu memenuhi ruang pandangnya.Well, Feli tidak mau berdusta, ketampanan Archer memang ada di atas rata-rata. Ia mengerti kenapa Belvina enggan melepaskan Archer dan terus mengikatnya hingga saat ini.Feli mengembuskan napas kasar. Dadanya tiba-tiba sesak menyadari ia tengah berbagi oksigen dengan pria yang selama ini menyakitinya.Entah bagaimana caranya posisi mereka kini menjadi dekat. bahkan Kimberly sudah tidak ada di kamar dan ia tak tahu kapan anak itu terbangun.Ia hendak bangkit. Tapi gerakannya terhenti ketika ia baru sadar lengan Archer melingkar di pinggangnya. Feli lantas mendengus.“Sepertinya kamu sering meluk Belvina pas lagi tidur ya?” cibir Feli dalam gumaman. “Jadi tangannya refleks meluk apapun yang ada di depan kamu karena udah terbiasa.”Namun tiba-tiba Feli ingat, ini bukan pertama kalinya ia bangun dalam posisi se
Feli terdiam. Kalau ia tidak salah ingat, ini pertama kalinya Archer meminta izin saat akan melakukannya. Feli lantas menggenggam lengan kekar Archer yang juga ditumbuhi bulu amat halus yang kini keduanya berlabuh di dadanya. “Archer….” “Hm?” Archer menyahut dengan suara teredam saat bibirnya tenggelam di ceruk leher sang istri. “Boleh?” Feli menggigit bibir bawahnya ketika ia merasakan gelenyar asing menguasai tubuhnya. “Kita belum tahu kondisi kehamilan aku kayak gimana. Apa nggak sebaiknya kita konsultasi dulu sama dokter?” Ini kalimat yang tepat, pikir Feli. Selain karena memang belum tahu kondisi janinnya, di sisi lain pun Feli masih merasa belum siap melayani Archer dengan hati terbuka setelah apa yang terjadi selama ini. Seketika Archer menarik wajahnya lalu terdiam. “Anakku,” gumamnya dengan suara serak, seolah-olah baru sadar pada janin yang tumbuh di rahim Feli. “Apa dia akan baik-baik saja?” “Aku juga belum tahu.” Archer memejamkan matanya sejenak lalu menyugar ra
Feli tak benar-benar tertidur. Ia masih bisa merasakan sentuhan halus jemari Archer di pipinya. Namun ia enggan berhadapan dengan pria itu, jadi Feli tetap pura-pura tidur.“Apa kamu benar-benar melakukannya, Feli?” gumam Archer.Feli mengerti ke mana arah pertanyaan pria itu. Lalu saat itu juga ia membuka kelopak matanya dan menatap Archer lurus-lurus.“Kalau aku bilang aku nggak melakukannya, apa kamu akan mempercayaiku, Archer?”Ada sedikit rasa kecewa di hati Feli ketika Archer hanya terdiam tanpa kata. Seakan-akan pria itu berat sekali untuk mengeluarkan tiga kata ‘aku percaya padamu’.Feli lantas terkekeh lalu mendorong dada Archer agar menjauhinya.“Ayo maju. Lampunya udah hijau.”Archer terpaku melihat kekehan Feli yang menampilkan sederet gigi rapinya. Archer sering melihat tawa itu di masa silam, tujuh tahun lalu. Ketika mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama di Paris. Sebelum akhirnya Feli menghancurkan kepercayaan Archer terhadapnya.“Archer! Kenapa bengong? Ayo maj
“Hai, Baby. Boleh aku duduk di sini?”Feli nyaris tersedak oleh ramen yang tengah ia masukkan ke mulut ketika seseorang tiba-tiba menghampirinya. Feli lantas mendongak, lalu matanya membelalak.“Eden?!!” serunya, terkejut.“Ah… kamu masih ingat namaku rupanya.” Laki-laki yang memakai kemeja kotak-kotak dengan kancing terbuka, yang melapisi kaos putih di dalamnya itu pun terkekeh. “Jadi? Boleh aku duduk di sini?”“Bebas. Kursi itu kosong, kok.”“Thanks. Di mana suamimu?”Mata Feli mengerjap, lalu tersenyum samar. "Lagi di kantor," dustanya. Akan sangat menyedihkan di mata pria itu jika Feli jujur bahwa Archer sedang mengurusi wanita lain saat ini.Golden—yang terbiasa dipanggil Eden, mendecak pelan. Ia mendaratkan bokongnya di kursi, di hadapan Feli. Mata abu-abunya menyipit pada Feli sambil menjawab, “Kamu tahu? Aku patah hati setelah mendengar kabar kamu akan menikah dengan Archer.”Feli meringis mendengarnya. Tapi tak menanggapi kalimat itu dengan serius, karena ia tahu Eden bercand
“Jadi Mami boleh jalan-jalan dulu, nih? Nggak apa-apa pulangnya kesorean?” Feli berjalan dengan santai sembari menempelkan ponsel di telinga kirinya. “Hm? Boleh? Serius? Nggak bakal nyuruh Mami pulang cepat-cepat?”Feli terkekeh ketika mendengar jawaban Kimberly yang menggemaskan di ujung telepon. Anak itu sedang dibawa Leica ke rumah Tante Cindy, sahabat ibunya sejak remaja.Feli memasukkan ponselnya ke sling bag setelah panggilannya berakhir. Lalu tersenyum kecil begitu melihat gambar hasil USG tadi pagi di dalam tasnya. Rasanya ia tak sabar untuk memberitahu Kimberly bahwa dia akan memiliki adik.“Siapa?” tanya Eden yang masih mengekori Feli setelah dari restoran.Kini mereka sedang berkeliling mall sejak satu jam yang lalu. Selain hanya melihat-lihat dan membeli beberapa stel pakaian, Feli juga ingin membeli skin care-nya yang sudah menipis. Ia tidak menolak ketika Eden menawarkan diri untuk menemani. Toh, Feli memang butuh teman saat ini untuk mengalihkan pikirannya yang sejak ta
“Apa… sakitnya sudah separah itu?” Tatapan Roy terlihat sendu usai mendengar semua cerita tentang kondisi Belvina dari Archer.Archer mengangguk. Ia menyesap espressonya sesaat sebelum menjawab, “Ya, seperti yang Om lihat di cacatan medis yang saya tunjukkan.”Hubungan Roy dan Belvina hanya sekadar status ayah dan anak sejak dulu. Namun, Archer tahu sebagai sesama seorang ayah, Roy menyayangi Belvina. Sejak dulu Roy selalu memberikan apapun yang Belvina inginkan kecuali keluarga. Namun Belvina tidak mau menerima uluran tangan Roy. Bahkan Belvina sendiri yang meminta Archer agar merahasiakan penyakitnya dari ayahnya itu.Archer juga sudah menjelaskan hal itu terhadap Roy barusan.“Maaf saya baru kasih tahu Om sekarang. Selama ini saya menghargai keputusan Belvina untuk tidak menceritakannya pada Om Roy,” jelas Archer, “lalu sekarang… saya tidak bisa terus-menerus berada di sekitar Belvina. Ada anak dan istri saya yang harus saya prioritaskan. Sedangkan satu-satunya orang yang menyayang
“Aku perhatikan… tujuh tahun nggak ketemu ternyata nggak ada yang berubah dalam dirimu. Masih sama seperti dulu.”Feli menatap wanita berambut sebahu nan tipis di hadapannya. Lipstik merahnya seolah ingin menyembunyikan bibir pucatnya, tapi mata Belvina tak bisa berbohong. Kelopak matanya yang cekung membuat siapapun yang melihatnya akan tahu kalau Belvina sedang sakit.“Terima kasih pujianmu.” Sebuah senyuman terukir di bibir Belvina. “Aku tahu, walaupun aku sakit tapi penampilan adalah segalanya. Archer nggak pernah absen membawaku ke salon untuk melakukan perawatan tubuh.”Feli tersenyum samar ketika dengan bangganya Belvina menyebut nama Archer. Seolah-olah pria itu memang miliknya seutuhnya.“Maksudku bukan penampilanmu yang nggak berubah,” ralat Feli, “tapi… sifatmu. Tamak dan manipulatif. Kamu nggak menyadarinya?”Mata Belvina seketika membulat tajam. Hilang sudah kelembutan dan keramahan yang sejak tadi Belvina tunjukkan di depan Feli. Toh, tidak ada siapa-siapa di café ini, p
SUV hitam itu melaju dengan lambat karena terjebak dalam kemacetan yang amat panjang. Padahal saat ini ingin sekali Archer mempercepat laju kendaraannya agar mereka segera tiba di apartemen Belvina, lalu setelah itu ia bergegas pergi lagi menemui Feli.Tapi kemacetan ini membuat Archer harus menghemat stok kesabarannya untuk mendengarkan keluh kesah Belvina yang kini duduk di sampingnya.Rambut Belvina tampak kasar dan kumal karena espressonya sudah mengering. Sesekali wanita itu sesenggukan, lalu memeluk lengan Archer dan menyandarkan kepala di bahu bidangnya.Archer hanya diam. Fokus pada kemudi tanpa benar-benar mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Belvina.Kalau dipikir-pikir, sejak dulu Belvina selalu mengeluhkan penyakitnya setiap kali mereka bersama, menangis dan bermanja. Archer selalu menghadapinya dengan sabar, karena ia mengerti beban yang dirasakan Belvina benar-benar berat.Namun kini, Archer merasa bosan mendengar keluhan yang sama. Percakapan mereka tidak ber