Kabar baik! :-D tadinya endingnya mau hari ini guys, tapi ternyata nggak cukup di bab ini, jadi kemungkinan besok atau lusa hehe
“Malik! Ini mini zoo buat aku?!”“Iya, aku sengaja menyiapkan tempat ini untuk bikin mini zoo buat kamu,” jawab Malik dengan tenang, yang entah didengar Kimberly atau tidak.Sebab perempuan itu langsung berlari-lari kecil memasuki mini zoo yang dikelilingi pagar papan kayu coklat yang tampak estetik.Malik mengulas senyum, kedua tangannya terlipat di dada seraya memperhatikan Kimberly yang terlihat ceria. Padahal barusan perempuan itu menggerutu dengan bibir merengut, karena mengeluhkan salah satu bagian tubuh sensitifnya yang terasa sakit.Area mini zoo itu tidak terlalu luas dan belum terisi binatang peliharaan. Namun sudah siap huni. Hati Malik terasa menghangat karena usahanya tidak sia-sia. Kimberly terlihat sangat menyukai gagasannya ini.Sementara itu, Kimberly seakan lupa pada kehadiran Malik. Ia antusias melihat satu persatu area kebun binatang tersebut.Di sudut kiri ada
Kedua telapak tangan Malik memeluk punggung Kimberly, lantas ia menarik tubuh ramping itu dan mengeratkan pelukannya. Dalam sekejap mata ia berhasil mendudukkan Kimberly di atas kitchen island.Pagutan yang semula lembut itu kini berubah menjadi kasar dan liar. Napas Malik terasa memburu. Tangannya bergerak nakal dan dengan cekatan ia mulai melepas kancing kemeja hitam yang dikenakan sang istri.“Tunggu!”“Ada apa?” Malik merasa kehilangan saat Kimberly tiba-tiba menjauhkan wajahnya. “Kenapa, hem?” tanyanya sekali lagi.“Kamu belum bawa aku ke lantai tiga. Ada apa di sana?” tanya Kimberly penasaran.Wajah Malik yang semula tampak sedikit frustrasi, seketika berubah cerah dan tersenyum lebar. Dengan perlahan ia menurunkan Kimberly lalu mundur selangkah.“Dengan senang hati, aku akan membawamu ke tempat yang paling inti di rumah ini.” Senyuman Malik berubah sedikit nakal.Kimberly mengerjap, tak percaya jika Malik yang agak kaku dan dingin itu bisa tersenyum smirk seperti barusan. Ia pu
“Apa nggak bisa kalian tinggal bersama kami saja di sini?” tanya Archer dengan ekspresi keberatan setelah Malik membahas bahwa ia akan membawa Kimberly tinggal di rumahnya.“Yang, sekarang mereka sudah menikah, biarkan mereka belajar mandiri, ya?” Feli menyentuh lengan suaminya, berusaha menenangkan pria itu yang terlihat tidak rela melepaskan Kimberly.Archer hanya membuang napas dengan perlahan.“Mami benar, Pi,” timpal Malik, ia berhenti mengunyah makanan sejenak, saat ini mereka sedang makan malam di meja makan. “Saya tahu Mami dan Papi pasti berat melepaskan Kimmy. Dan kami pun bukannya nggak mau tinggal di sini, hanya saja saya ingin lebih mandiri dengan tinggal di rumah kami sendiri, Pi.”“Kan masih sama-sama di Jakarta, Pi,” bujuk Kimberly dengan manja saat Archer masih terlihat belum setuju. “Masih bisa ditempuh perjalanan satu jam, kok. Kalau Papi kangen sama aku tinggal datang aja ke rumah.”“Yes! Nggak bakal ada lagi yang cerewet di rumah ini!” sela Ernest dengan riang.“O
Tiada hari tanpa tersipu-sipu.Kalimat itu tiba-tiba saja terlintas di benak Kimberly. Ia tertawa kecil. Dunianya terasa semakin penuh warna semenjak mengenal Malik. Pria itu selalu berhasil membuat pipinya seperti kepiting rebus setiap hari.Padahal yang Malik ucapkan hanya kata-kata sederhana, bukan seperti pujangga yang puitis dan romantis. Namun justru kesederhanaan yang dimiliki pria cuek seperti Malik membuat hati Kimberly selalu berbunga-bunga.“Kenapa ketawa sendiri?” tanya Malik dengan mata memicing curiga.Kimberly mengulum senyum, menggeleng. Alih-alih menjawab, Kimberly menanggapi pertanyaan Malik dengan memberi kecupan di bibir suaminya itu, membuat Malik seketika menegakkan punggung. Mata Malik mengerjap.“Sudah sampai. Ayo turun!” seru Kimberly.Tanpa memedulikan suaminya yang akan menahannya untuk tetap tinggal di dalam mobil, Kimberly buru-buru membuka pintu dan turun meski sang sopir belum membukakan pintu untuknya.Kimberly tersenyum cerah melihat rumah tiga lantai
“Ngantuk,” keluh Kimberly dengan mata hampir terpejam, lalu menguap.Malik yang mendengarnya langsung menaruh handuk basah bekas mengeringkan rambut Kimberly ke hanger, lalu menghampiri sang istri, memeluknya dan mengecup bibirnya bertubi-tubi.“Jangan dulu tidur. Rambut kamu masih basah, nanti kepala kamu pusing kalau tidur dalam keadaan rambut basah, Sayang.”“Tapi aku ngantuk….”Kedua tangan Malik menangkup pipi Kimberly, sambil tersenyum menggoda ia berkata, “Aku punya jurus ampuh supaya kamu nggak ngantuk.”“Hm?”Belum sempat Kimberly mencerna ucapan Malik, bibirnya tiba-tiba terbungkam bibir Malik dan ia merasakan pagutan yang sedikit kasar.Mata Kimberly yang semula sayu seketika terbuka lebar, ia menegakkan punggung, dan secara spontan membalas pagutan sang suami dengan sama kasarnya. Hingga rasa kantuk yang ia rasakan perlahan lenyap, berganti menjadi sebuah rasa yang menyenangkan dan ia enggan untuk berhenti.Namun, Kimberly merasa sedikit kecewa ketika Malik melepaskan tauta
Tiga bulan kemudian.Sepasang kaki yang dibalut pantofel hitam turun dari mobil. Lalu melangkah memasuki rumah, senyuman samar terukir di bibir sang pemilik kaki tersebut.Bertemu sang istri yang enerjik dan ceria adalah satu-satunya hal yang ia nantikan sejak pagi. Hingga dadanya nyaris pecah akan luapan rindu yang menggebu.Parfum aroma vanila menyapa hidung ketika ia membuka pintu. Mata hitamnya terpaku pada seorang perempuan bergaun putih selutut yang tengah menuruni tangga.“Sudah pulang?” tanya Kimberly dengan langkah anggun diiringi senyuman lembut yang terlukis di bibirnya.Malik mengerjap. Masih sama, pikirnya. Sikap Kimberly masih sama dengan yang ia dapati tadi pagi.Perempuan itu berubah drastis beberapa hari terakhir. Sikapnya yang semula pecicilan dan bawel, akhir-akhir ini menjadi lebih kalem dan anggun. Malik heran dan ngeri dengan perubahan drastis itu.Bukan. Malik bukan ngeri dalam artian tidak suka dengan sikap sang istri. Ia hanya khawatir ada sesuatu yang fatal y
“Papi baru pulang?”“Iya. Kalian sudah lama sampai?”Malik menggeleng setelah menyalami ayah mertuanya yang baru saja memasuki ruang keluarga. “Baru sekitar tiga puluh menit yang lalu, Pi. Papi habis lembur ya?”“Nggak.” Archer menaruh bingkisan di tangannya ke atas meja. Malik menatap sejenak paper bag berwarna coklat dengan logo sebuah toko roti di tengah-tengahnya itu.“Seharusnya Papi sudah sampai di rumah dari tadi. Tapi Mami minta Papi beli roti dari toko roti favorit dia.”Malik mengangguk mengerti.“Kamu tahu roti seperti apa yang Mami kamu pesan?” tanya Archer kemudian.Kata ‘mami kamu’ yang keluar dari mulut Archer membuat hati Malik terasa menghangat. Malik lantas menggeleng dan tersenyum kecil. “Roti apa memangnya, Pi?”“Roti gosong.” Archer tertawa sambil menggaruk ruang di antara dua alisnya.“Roti gosong?” ulang Malik dengan tatapan tak mengerti. “Kenapa Mami minta roti gosong?”“Mami lagi ngidam, permintaannya selalu aneh-aneh dari sejak kehamilan Ernest.” Tawa Archer
“Selamat ya, Pak, istri Bapak memang sedang mengandung.”“Hah?!” Kimberly langsung terperangah. “Maksud Dokter, saya hamil, Dok?”Dokter wanita itu tertawa kecil, mengangguk. “Iya, Mbak. Kehamilannya sudah empat minggu ya. Memangnya selama ini Mbak Kimberly nggak merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuh Mbak sendiri?”Kimberly mengerjap. “Nggak, Dok. Saya nggak menyadari apa-apa. Ini juga suami saya aja yang ‘ngeuh’ kalau saya telat.”“Suaminya perhatian sekali ya.” Dokter itu tersenyum seraya menatap Malik sejenak.Kimberly ikut menatap sang suami yang duduk di sampingnya. Pria itu tampak membeku, bibir tipisnya terkatup rapat dan tatapannya hanya tertuju ke arah monitor yang memperlihatkan janin seukuran lebih kecil dari kacang hijau.“Babe, kok diam? Nggak senang gitu dengar aku hamil?” bisik Kimberly sembari mencubit punggung tangan Malik, yang membuat Malik tersadar dan langsung menatapnya.“Aku… aku tentu saja senang, Sayang.”“Senang tapi wajah kamu kok datar-datar aja?” Bibir