Tiada hari tanpa tersipu-sipu.Kalimat itu tiba-tiba saja terlintas di benak Kimberly. Ia tertawa kecil. Dunianya terasa semakin penuh warna semenjak mengenal Malik. Pria itu selalu berhasil membuat pipinya seperti kepiting rebus setiap hari.Padahal yang Malik ucapkan hanya kata-kata sederhana, bukan seperti pujangga yang puitis dan romantis. Namun justru kesederhanaan yang dimiliki pria cuek seperti Malik membuat hati Kimberly selalu berbunga-bunga.“Kenapa ketawa sendiri?” tanya Malik dengan mata memicing curiga.Kimberly mengulum senyum, menggeleng. Alih-alih menjawab, Kimberly menanggapi pertanyaan Malik dengan memberi kecupan di bibir suaminya itu, membuat Malik seketika menegakkan punggung. Mata Malik mengerjap.“Sudah sampai. Ayo turun!” seru Kimberly.Tanpa memedulikan suaminya yang akan menahannya untuk tetap tinggal di dalam mobil, Kimberly buru-buru membuka pintu dan turun meski sang sopir belum membukakan pintu untuknya.Kimberly tersenyum cerah melihat rumah tiga lantai
“Ngantuk,” keluh Kimberly dengan mata hampir terpejam, lalu menguap.Malik yang mendengarnya langsung menaruh handuk basah bekas mengeringkan rambut Kimberly ke hanger, lalu menghampiri sang istri, memeluknya dan mengecup bibirnya bertubi-tubi.“Jangan dulu tidur. Rambut kamu masih basah, nanti kepala kamu pusing kalau tidur dalam keadaan rambut basah, Sayang.”“Tapi aku ngantuk….”Kedua tangan Malik menangkup pipi Kimberly, sambil tersenyum menggoda ia berkata, “Aku punya jurus ampuh supaya kamu nggak ngantuk.”“Hm?”Belum sempat Kimberly mencerna ucapan Malik, bibirnya tiba-tiba terbungkam bibir Malik dan ia merasakan pagutan yang sedikit kasar.Mata Kimberly yang semula sayu seketika terbuka lebar, ia menegakkan punggung, dan secara spontan membalas pagutan sang suami dengan sama kasarnya. Hingga rasa kantuk yang ia rasakan perlahan lenyap, berganti menjadi sebuah rasa yang menyenangkan dan ia enggan untuk berhenti.Namun, Kimberly merasa sedikit kecewa ketika Malik melepaskan tauta
Tiga bulan kemudian.Sepasang kaki yang dibalut pantofel hitam turun dari mobil. Lalu melangkah memasuki rumah, senyuman samar terukir di bibir sang pemilik kaki tersebut.Bertemu sang istri yang enerjik dan ceria adalah satu-satunya hal yang ia nantikan sejak pagi. Hingga dadanya nyaris pecah akan luapan rindu yang menggebu.Parfum aroma vanila menyapa hidung ketika ia membuka pintu. Mata hitamnya terpaku pada seorang perempuan bergaun putih selutut yang tengah menuruni tangga.“Sudah pulang?” tanya Kimberly dengan langkah anggun diiringi senyuman lembut yang terlukis di bibirnya.Malik mengerjap. Masih sama, pikirnya. Sikap Kimberly masih sama dengan yang ia dapati tadi pagi.Perempuan itu berubah drastis beberapa hari terakhir. Sikapnya yang semula pecicilan dan bawel, akhir-akhir ini menjadi lebih kalem dan anggun. Malik heran dan ngeri dengan perubahan drastis itu.Bukan. Malik bukan ngeri dalam artian tidak suka dengan sikap sang istri. Ia hanya khawatir ada sesuatu yang fatal y
“Papi baru pulang?”“Iya. Kalian sudah lama sampai?”Malik menggeleng setelah menyalami ayah mertuanya yang baru saja memasuki ruang keluarga. “Baru sekitar tiga puluh menit yang lalu, Pi. Papi habis lembur ya?”“Nggak.” Archer menaruh bingkisan di tangannya ke atas meja. Malik menatap sejenak paper bag berwarna coklat dengan logo sebuah toko roti di tengah-tengahnya itu.“Seharusnya Papi sudah sampai di rumah dari tadi. Tapi Mami minta Papi beli roti dari toko roti favorit dia.”Malik mengangguk mengerti.“Kamu tahu roti seperti apa yang Mami kamu pesan?” tanya Archer kemudian.Kata ‘mami kamu’ yang keluar dari mulut Archer membuat hati Malik terasa menghangat. Malik lantas menggeleng dan tersenyum kecil. “Roti apa memangnya, Pi?”“Roti gosong.” Archer tertawa sambil menggaruk ruang di antara dua alisnya.“Roti gosong?” ulang Malik dengan tatapan tak mengerti. “Kenapa Mami minta roti gosong?”“Mami lagi ngidam, permintaannya selalu aneh-aneh dari sejak kehamilan Ernest.” Tawa Archer
“Selamat ya, Pak, istri Bapak memang sedang mengandung.”“Hah?!” Kimberly langsung terperangah. “Maksud Dokter, saya hamil, Dok?”Dokter wanita itu tertawa kecil, mengangguk. “Iya, Mbak. Kehamilannya sudah empat minggu ya. Memangnya selama ini Mbak Kimberly nggak merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuh Mbak sendiri?”Kimberly mengerjap. “Nggak, Dok. Saya nggak menyadari apa-apa. Ini juga suami saya aja yang ‘ngeuh’ kalau saya telat.”“Suaminya perhatian sekali ya.” Dokter itu tersenyum seraya menatap Malik sejenak.Kimberly ikut menatap sang suami yang duduk di sampingnya. Pria itu tampak membeku, bibir tipisnya terkatup rapat dan tatapannya hanya tertuju ke arah monitor yang memperlihatkan janin seukuran lebih kecil dari kacang hijau.“Babe, kok diam? Nggak senang gitu dengar aku hamil?” bisik Kimberly sembari mencubit punggung tangan Malik, yang membuat Malik tersadar dan langsung menatapnya.“Aku… aku tentu saja senang, Sayang.”“Senang tapi wajah kamu kok datar-datar aja?” Bibir
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.