“Malik! Ini mini zoo buat aku?!”
“Iya, aku sengaja menyiapkan tempat ini untuk bikin mini zoo buat kamu,” jawab Malik dengan tenang, yang entah didengar Kimberly atau tidak.Sebab perempuan itu langsung berlari-lari kecil memasuki mini zoo yang dikelilingi pagar papan kayu coklat yang tampak estetik.Malik mengulas senyum, kedua tangannya terlipat di dada seraya memperhatikan Kimberly yang terlihat ceria. Padahal barusan perempuan itu menggerutu dengan bibir merengut, karena mengeluhkan salah satu bagian tubuh sensitifnya yang terasa sakit.Area mini zoo itu tidak terlalu luas dan belum terisi binatang peliharaan. Namun sudah siap huni. Hati Malik terasa menghangat karena usahanya tidak sia-sia. Kimberly terlihat sangat menyukai gagasannya ini.Sementara itu, Kimberly seakan lupa pada kehadiran Malik. Ia antusias melihat satu persatu area kebun binatang tersebut.Di sudut kiri adaKedua telapak tangan Malik memeluk punggung Kimberly, lantas ia menarik tubuh ramping itu dan mengeratkan pelukannya. Dalam sekejap mata ia berhasil mendudukkan Kimberly di atas kitchen island.Pagutan yang semula lembut itu kini berubah menjadi kasar dan liar. Napas Malik terasa memburu. Tangannya bergerak nakal dan dengan cekatan ia mulai melepas kancing kemeja hitam yang dikenakan sang istri.“Tunggu!”“Ada apa?” Malik merasa kehilangan saat Kimberly tiba-tiba menjauhkan wajahnya. “Kenapa, hem?” tanyanya sekali lagi.“Kamu belum bawa aku ke lantai tiga. Ada apa di sana?” tanya Kimberly penasaran.Wajah Malik yang semula tampak sedikit frustrasi, seketika berubah cerah dan tersenyum lebar. Dengan perlahan ia menurunkan Kimberly lalu mundur selangkah.“Dengan senang hati, aku akan membawamu ke tempat yang paling inti di rumah ini.” Senyuman Malik berubah sedikit nakal.Kimberly mengerjap, tak percaya jika Malik yang agak kaku dan dingin itu bisa tersenyum smirk seperti barusan. Ia pu
“Apa nggak bisa kalian tinggal bersama kami saja di sini?” tanya Archer dengan ekspresi keberatan setelah Malik membahas bahwa ia akan membawa Kimberly tinggal di rumahnya.“Yang, sekarang mereka sudah menikah, biarkan mereka belajar mandiri, ya?” Feli menyentuh lengan suaminya, berusaha menenangkan pria itu yang terlihat tidak rela melepaskan Kimberly.Archer hanya membuang napas dengan perlahan.“Mami benar, Pi,” timpal Malik, ia berhenti mengunyah makanan sejenak, saat ini mereka sedang makan malam di meja makan. “Saya tahu Mami dan Papi pasti berat melepaskan Kimmy. Dan kami pun bukannya nggak mau tinggal di sini, hanya saja saya ingin lebih mandiri dengan tinggal di rumah kami sendiri, Pi.”“Kan masih sama-sama di Jakarta, Pi,” bujuk Kimberly dengan manja saat Archer masih terlihat belum setuju. “Masih bisa ditempuh perjalanan satu jam, kok. Kalau Papi kangen sama aku tinggal datang aja ke rumah.”“Yes! Nggak bakal ada lagi yang cerewet di rumah ini!” sela Ernest dengan riang.“O
Tiada hari tanpa tersipu-sipu.Kalimat itu tiba-tiba saja terlintas di benak Kimberly. Ia tertawa kecil. Dunianya terasa semakin penuh warna semenjak mengenal Malik. Pria itu selalu berhasil membuat pipinya seperti kepiting rebus setiap hari.Padahal yang Malik ucapkan hanya kata-kata sederhana, bukan seperti pujangga yang puitis dan romantis. Namun justru kesederhanaan yang dimiliki pria cuek seperti Malik membuat hati Kimberly selalu berbunga-bunga.“Kenapa ketawa sendiri?” tanya Malik dengan mata memicing curiga.Kimberly mengulum senyum, menggeleng. Alih-alih menjawab, Kimberly menanggapi pertanyaan Malik dengan memberi kecupan di bibir suaminya itu, membuat Malik seketika menegakkan punggung. Mata Malik mengerjap.“Sudah sampai. Ayo turun!” seru Kimberly.Tanpa memedulikan suaminya yang akan menahannya untuk tetap tinggal di dalam mobil, Kimberly buru-buru membuka pintu dan turun meski sang sopir belum membukakan pintu untuknya.Kimberly tersenyum cerah melihat rumah tiga lantai
“Ngantuk,” keluh Kimberly dengan mata hampir terpejam, lalu menguap.Malik yang mendengarnya langsung menaruh handuk basah bekas mengeringkan rambut Kimberly ke hanger, lalu menghampiri sang istri, memeluknya dan mengecup bibirnya bertubi-tubi.“Jangan dulu tidur. Rambut kamu masih basah, nanti kepala kamu pusing kalau tidur dalam keadaan rambut basah, Sayang.”“Tapi aku ngantuk….”Kedua tangan Malik menangkup pipi Kimberly, sambil tersenyum menggoda ia berkata, “Aku punya jurus ampuh supaya kamu nggak ngantuk.”“Hm?”Belum sempat Kimberly mencerna ucapan Malik, bibirnya tiba-tiba terbungkam bibir Malik dan ia merasakan pagutan yang sedikit kasar.Mata Kimberly yang semula sayu seketika terbuka lebar, ia menegakkan punggung, dan secara spontan membalas pagutan sang suami dengan sama kasarnya. Hingga rasa kantuk yang ia rasakan perlahan lenyap, berganti menjadi sebuah rasa yang menyenangkan dan ia enggan untuk berhenti.Namun, Kimberly merasa sedikit kecewa ketika Malik melepaskan tauta
Tiga bulan kemudian.Sepasang kaki yang dibalut pantofel hitam turun dari mobil. Lalu melangkah memasuki rumah, senyuman samar terukir di bibir sang pemilik kaki tersebut.Bertemu sang istri yang enerjik dan ceria adalah satu-satunya hal yang ia nantikan sejak pagi. Hingga dadanya nyaris pecah akan luapan rindu yang menggebu.Parfum aroma vanila menyapa hidung ketika ia membuka pintu. Mata hitamnya terpaku pada seorang perempuan bergaun putih selutut yang tengah menuruni tangga.“Sudah pulang?” tanya Kimberly dengan langkah anggun diiringi senyuman lembut yang terlukis di bibirnya.Malik mengerjap. Masih sama, pikirnya. Sikap Kimberly masih sama dengan yang ia dapati tadi pagi.Perempuan itu berubah drastis beberapa hari terakhir. Sikapnya yang semula pecicilan dan bawel, akhir-akhir ini menjadi lebih kalem dan anggun. Malik heran dan ngeri dengan perubahan drastis itu.Bukan. Malik bukan ngeri dalam artian tidak suka dengan sikap sang istri. Ia hanya khawatir ada sesuatu yang fatal y
“Papi baru pulang?”“Iya. Kalian sudah lama sampai?”Malik menggeleng setelah menyalami ayah mertuanya yang baru saja memasuki ruang keluarga. “Baru sekitar tiga puluh menit yang lalu, Pi. Papi habis lembur ya?”“Nggak.” Archer menaruh bingkisan di tangannya ke atas meja. Malik menatap sejenak paper bag berwarna coklat dengan logo sebuah toko roti di tengah-tengahnya itu.“Seharusnya Papi sudah sampai di rumah dari tadi. Tapi Mami minta Papi beli roti dari toko roti favorit dia.”Malik mengangguk mengerti.“Kamu tahu roti seperti apa yang Mami kamu pesan?” tanya Archer kemudian.Kata ‘mami kamu’ yang keluar dari mulut Archer membuat hati Malik terasa menghangat. Malik lantas menggeleng dan tersenyum kecil. “Roti apa memangnya, Pi?”“Roti gosong.” Archer tertawa sambil menggaruk ruang di antara dua alisnya.“Roti gosong?” ulang Malik dengan tatapan tak mengerti. “Kenapa Mami minta roti gosong?”“Mami lagi ngidam, permintaannya selalu aneh-aneh dari sejak kehamilan Ernest.” Tawa Archer
“Selamat ya, Pak, istri Bapak memang sedang mengandung.”“Hah?!” Kimberly langsung terperangah. “Maksud Dokter, saya hamil, Dok?”Dokter wanita itu tertawa kecil, mengangguk. “Iya, Mbak. Kehamilannya sudah empat minggu ya. Memangnya selama ini Mbak Kimberly nggak merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuh Mbak sendiri?”Kimberly mengerjap. “Nggak, Dok. Saya nggak menyadari apa-apa. Ini juga suami saya aja yang ‘ngeuh’ kalau saya telat.”“Suaminya perhatian sekali ya.” Dokter itu tersenyum seraya menatap Malik sejenak.Kimberly ikut menatap sang suami yang duduk di sampingnya. Pria itu tampak membeku, bibir tipisnya terkatup rapat dan tatapannya hanya tertuju ke arah monitor yang memperlihatkan janin seukuran lebih kecil dari kacang hijau.“Babe, kok diam? Nggak senang gitu dengar aku hamil?” bisik Kimberly sembari mencubit punggung tangan Malik, yang membuat Malik tersadar dan langsung menatapnya.“Aku… aku tentu saja senang, Sayang.”“Senang tapi wajah kamu kok datar-datar aja?” Bibir
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”