Kimberly memperhatikan jalan sambil melahap kentang goreng, ia duduk sendirian di restoran cepat saji berlogo huruf ‘M’ favoritnya. Sambil menunggu Malik yang katanya kejebak macet.Namun tak sampai lima menit kemudian, Kimberly melihat mobil sport putih yang berhenti di depan restoran. Buru-buru ia keluar sambil menenteng tasnya di tangan kanan, sementara tangan kirinya memeluk kentang goreng ukuran mediumnya.“Jangan turun!” seru Kimberly sembari melambaikan tangan di udara. Ini tempat umum, Kimberly tak mau orang lain menyadari kehadiran Malik di sini.Tapi sepertinya suaranya tidak terdengar oleh Malik, atau Maliknya yang justru mengabaikan seruan itu, karena pria itu tetap turun tanpa mengenakan masker atau topi. Lalu membukakan pintu penumpang untuk Kimberly.“Maaf membuatmu menunggu,” kata pria itu sambil mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas.“Telat lima menit lagi aku bakal pulang lagi.” Kimberly merotasi matanya dengan malas lalu masuk ke mobil, melewati Malik yang berpaka
“Kenapa jadi melamun, hm?”Pertanyaan Malik yang diiringi sapuan lembut di pipi, membuyarkan lamunan Kimberly.Kimberly mengerjap pelan, tatapan Malik mengunci matanya, membuat ia enggan berpaling ke arah lain.“Malik, gimana… kalau seandainya… orang yang kamu percayai ternyata… berbohong sama kamu?” tanya Kimberly dengan ragu-ragu.Satu alis Malik terangkat, jemarinya yang semula di pipi kini turun ke tulang rahang dan berakhir di dagu Kimberly.“Berbohong tentang?”“Banyak hal.”Malik mendengus pelan sekaligus tersenyum. Lalu segera menarik lagi tangannya ketika sadar di ruangan itu banyak anak-anak yang mungkin akan melihat sikapnya.“Sedikit atau banyak, tapi jika itu menyangkut harga diriku, kemungkinan besar aku akan menganggap orang itu sebagai pembohong selamanya.”Kimberly terhenyak. Kata-kata Malik terasa mencubit hatinya, dadanya mendadak sesak dan nyeri. “Sekalipun dia sudah meminta maaf dengan tulus?”“Entahlah.” Malik mengedikkan bahu sambil tersenyum masam. “Man and his
Kimberly menggigit bibir bawah dengan perasaan cemas.Rasanya, ia ingin kabur saja dari rumah Malik, tapi sepasang kakinya seolah-olah enggan digerakkan untuk berbalik ke arah pintu. Ia justru malah mengikuti Malik berjalan ke ruang tengah.“Kalau berbuat macam-macam aku bakal teriak,” ancam Kimberly.“Silahkan,” jawab Malik santai. “Rumahku cukup kedap suara, Kim. Dan unit di kiri kananku itu kosong, yang di depan juga penghuninya sedang pergi selama beberapa bulan kalau kata satpam.”Mata jernih Kimberly seketika membelalak, mulutnya terbuka untuk berbicara sesuatu, tapi mengatup lagi.Ia semakin cemas dan takut, apalagi saat kini Malik melepas kemejanya, disusul dengan kaos putihnya, yang membuat pria itu terlihat topless. Seakan-akan ingin memamerkan dadanya yang padat dan keras, perut sixpack, dan bisep di kedua lengannya pada Kimberly.“Mau minum apa?” tanya Malik, “aku punya jus mangga, teh manis, kopi dan air putih.”Jemari Kimberly meremas sling bag-nya sambil tak berhenti me
“Kenapa anak Papi kelihatan melamun terus dari kemarin? Lagi patah hati?”Kimberly mengalihkan tatapannya dari layar televisi—yang tengah menayangkan balapan mobil Formula Satu, ke arah ayahnya yang baru duduk di sebelah.“Lagi ngosongin pikiran, Pi. Kan katanya melamun itu bagus biar otak kita istirahat sebentar,” celetuk Kimberly dengan asal. Padahal sejak kemarin ia terus memikirkan percakapannya dengan Malik di rumahnya kala itu.“Kalau lagi patah hati, bilang sama Papi, Papi sudah gatal ingin mengacaukan hidup seseorang,” canda Archer, yang jika Kimberly benar-benar patah hati oleh seorang lelaki maka ucapannya barusan akan menjadi serius.“Jangan kejam-kejam banget jadi orang, Pi. Nanti Papi kena karmanya, lho.” Kimberly terkekeh. Kepalanya bersandar di bahu bidang Archer yang selalu membuatnya nyaman.“Demi anak Papi, Papi rela kena karma.”“Astaga… sudah tua tapi Papi makin pintar ngegombal ya.”Mata hazel Kimberly dan Archer bertemu, lalu keduanya sama-sama tertawa meski tida
Malik Cowok Kulkas: Tempat kerja kamu ada di Jakarta Selatan, kan? Kebetulan aku lagi ada di sini, mau ketemu?Malik Cowok Kulkas: Aku jemput ke kantor kamu, ya?Malik Cowok Kulkas: Aku… merindukanmu.“Aaaah!”Kimberly sontak memekik terkejut begitu membaca pesan terakhir Malik. Sampai-sampai ia nyaris terjatuh dari kursinya saking kaget.Dia merindukanku?Kimberly membatin sambil melongo pada layar ponsel. Jantungnya seketika berdegup kencang, ribuan kupu-kupu terasa beterbangan di perutnya.Dengan jemari bergetar ia membalas pesan Malik. Kimberly meminta agar mereka bertemu di dekat sebuah toko roti dengan alasan ingin membeli roti dulu di sana. Kimberly belum memberitahu Malik bahwa perusahaan tempatnya bekerja adalah Tiger Corp.Tepat pukul tiga, Kimberly bergegas merapikan mejanya dan meja sang CEO yang kebetulan pemiliknya sedang keluar sejak siang tadi bersama Vicky. Jadi Kimberly tak usah repot-repot izin pada ayahnya itu.Sore itu Kimberly memilih menumpangi taksi dan meminta
Malik memandangi cincin putih berpermata satu yang sedang ia pegang dengan ibu jari dan jari telunjuk.Bibirnya mengulas senyum kecil, ia penasaran akan seperti apa reaksi Kimberly nanti setelah ia memberikan cincin ini kepadanya?Namun sampai saat ini Malik belum menemukan waktu yang tepat.Hanya saja ia merasa tak bisa menunda terlalu lama. Dua minggu lagi ia akan kembali ke Andorra. Dan sebelum itu, ia harus mengatakan perasaannya yang sesungguhnya kepada Kimberly, terlepas dari Kimberly akan menerimanya atau tidak.“Cincin buat siapa? Kimberly?”Pertanyaan Arsya yang baru saja duduk di hadapannya membuat Malik seketika mendongak dan tersenyum pada adiknya itu.“Gimana menurutmu? Cantik?” tanya Malik, hanya untuk memastikan cincin pilihannya tidak salah dan benar-benar disukai wanita.Arsya tersenyum, mengamati cincin di tangan Malik sebentar, lalu mengangguk. “Cantik dan mewah,” pujinya, “aku yakin Kimberly akan suka.”Tidak perlu pusing memikirkan untuk siapa cincin itu, Arsya bi
“Halo? Malik, kenapa diam aja? Atau emang teleponnya nggak ada suaranya?” tanya Kimberly saat ia tak kunjung mendengar suara Malik di ujung sana.“Iya, aku dengar.”Kimberly mengurungkan niatnya untuk menutup sambungan telepon—karena ia pikir sedang ada gangguan, tatkala Malik akhirnya bersuara.“Kalau dengar kenapa diam aja dari tadi?” gerutu Kimberly sembari menyuruh sopir agar keluar dari mobil, yang baru saja berhenti di depan rumah orang tuanya.“Nggak apa-apa, cuma sedang meresapi suara kamu yang bikin aku… semakin rindu.”Ya Tuhan… pipi Kimberly seketika berubah merah seolah-olah aliran darah mengalir deras ke wajahnya itu.Ia mengulum senyum, menunduk malu meski Malik tak ada di hadapannya. Entah ke mana perginya kata-kata dingin dan pedas yang dulu sering Malik lontarkan kepadanya. Kini mulutnya berubah menjadi semanis madu.“Jangan bikin anak orang jadi ge-er, Malik. Kalau aku masuk ICU karena sesak napas, gimana coba?” kelakar Kimberly.Malik tertawa kecil. “Gampang, kok. N
“Apa yang harus aku lakukan?” gumam Kimberly seraya menutupi wajahnya dengan bantal.“Nggak ada cara lain lagi selain kamu ngaku, Kim.” Deby menatap cemas pada sahabatnya yang sejak datang ke rumahnya, terus murung dan bengong seperti orang kesambet. “Itu satu-satunya cara supaya nanti Malik nggak marah ke kamu. Kalau kamu jelasin semuanya, aku yakin dia bakal ngerti kok.”Kimberly memejamkan mata di bawah bantal, membiarkan rongga dadanya yang sudah sesak, kini semakin sesak karena kurangnya pasokan oksigen.“Kamu yakin dia nggak bakal marah, By?” Suara Kimberly terdengar teredam.“Yakin sembilan puluh persen,” jawab Deby, yang sebenarnya keyakinannya itu fifty-fifty karena Kimberly sudah membohongi Malik terlalu jauh. Namun tak mungkin Deby menakut-nakuti Kimberly mengenai keyakinannya itu. “Jangan ditunda-tunda lagi, Kim. Lagian kenapa sih kamu nggak jujur aja sama dia dari awal? Ya minimal mata kamu nggak usah ditutupi gitu pake softlens hitam di depan Malik.”Kimberly melepaskan