Feli membawa Auriga menghampiri meja makan. Kimberly dan Aurora terlihat saling mengejar di depan mereka berdua sambil tertawa-tawa.“Oh ya? Berarti telepati aku sampai ke kamu. Makanya kamu jadi masak banyak.” Auriga ikut terkekeh sembari menarik salah satu kursi. “Ayo duduk.”“Hah?” Feli terkejut manakala Auriga mempersilahkannya duduk di kursi yang dia tarik. “Aku?”“Iya. Memangnya aku terlihat lagi ngomong sama hantu?”Feli meringis. Dengan sedikit ragu ia lantas duduk di kursi itu. “Terima kasih, Bang,” ucapnya lirih. Ia merasa terharu, karena suaminya sendiri saja tidak pernah menarikkan kursi untuknya.“Sama-sama. Wanita itu harus diperlakukan istimewa, dimulai dari hal-hal kecil seperti barusan.” Segaris senyum terlukis di bibir Auriga yang seksi. Tak kalah seksinya dengan bibir Archer. Feli sempat tertegun mendapati senyuman lembut dan tatapan hangat dari kakak iparnya itu.“Ada apa ini?” Suara dingin Archer berhasil memecah keheningan yang sempat tercipta di antara Feli dan
“Lalu gimana dengan orang yang berselingkuh? Bukankah tindakan mereka juga sangat murahan?”“Seperti… mantan istrimu?”Auriga tersenyum kecut. Kemudian menggeleng pelan. “Sepertimu.”Uhukk!!!Feli tersedak hingga terbatuk-batuk sesaat setelah mendengar ucapan kakak iparnya.Archer yang tengah mengetatkan rahang seraya menatap tajam pada Auriga, seketika menoleh pada Feli yang tengah menepuk-nepuk dadanya.“Astaga… kenapa obrolan kalian absurd sekali?” gerutu Feli setelah menghabiskan setengah gelas air mineral. Ia sengaja menggerutu untuk memecah kekakuan yang sempat menyelimuti mereka bertiga selama beberapa saat.Feli tidak tahu kenapa Auriga bertanya tentang sesuatu yang memang benar adanya. Archer berselingkuh. Tapi untuk saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya.“Ah… sorry.” Auriga meringis sembari mengusap tengkuk, merasa bersalah. “Aku nggak ada maksud lain kok, Fel. Cuma pengen ngerjain suamimu aja. Serius.”Archer mendengus pelan lalu menggeser pandangannya pada Auri
“Engh!” Pria itu melenguh, menahan rasa sakit.Feli lantas mendongak, menatap Archer dengan tatapan rumit.Ia tak tahu bagian tubuh Archer yang mana yang terkena batang pohon itu, lidahnya terasa kelu untuk bertanya. Kepala Feli dipenuhi berbagai pertanyaan saat ini. Ia pun mendadak linglung.“Kenapa jadi wanita itu ceroboh seperti ini, Feli?” desis Archer sembari melepaskan kedua tangannya yang semula merengkuh tubuh wanita bergaun hitam selutut itu.Bibir Feli terkatup rapat. Ia melihat batang pohon sepanjang kisaran satu meter dengan diameter sekitar sepuluh senti, yang tergeletak di tanah. Kemudian menengadah, memperhatikan dahan yang retak di atas pohon. Ternyata batang pohon itu sudah rapuh.Feli tertegun. Andai saja Archer tidak melindunginya, kemungkinan besar dahan pohon itu akan jatuh mengenai kepalanya.“Papi…!”Seruan dua anak itu membuyarkan lamunan Feli. Ia baru sadar jika Kimberly dan Aurora menangis dalam pelukan Archer.“Papi nggak apa-apa?” tanya Kimberly sambil teri
Feli menata makanan di atas meja makan dibantu Bik Sumi. Ia tersenyum ketika mendengar derap langkah yang berlari-lari kecil menghampirinya.“Mami, perut aku lapar, katanya minta diisi makanan.”Feli terkekeh. “Jadi, mau makan malam sekarang atau nunggu papi dulu?” tanya Feli sembari menarik kursi untuk Kimberly duduki.Mata hazel Kimberly mengerjap. “Papi belum pulang ya, Mi?”“Belum, Sayang. Mungkin papi masih sibuk sama pekerjaannya.”“Tapi ini ‘kan hari Minggu, Mi. Apa papi selalu kerja di hari libur?”Feli yang akan membuka pintu kulkas seketika menghentikan kegiatannya. Ah, padahal Kimberly masih berusia tiga tahun lebih beberapa bulan. Tapi anak itu sudah mengerti hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan anak seusianya.Feli menoleh ke belakang lalu tersenyum. “Pekerjaan papi banyak, Sayang. Jadi papi harus tetap kerja walaupun hari libur.”“Oo… gitu ya, Mi?”Feli mengangguk. Meski sebenarnya ia tidak tahu ke mana perginya Archer sejak tadi siang—setelah Feli mengoleskan salep
Tanpa sadar, tangan Archer terulur mendekati wajah Feli. Entah mendapat dorongan dari mana hingga tangannya ingin sekali menghapus sisa air mata itu.“Lagi ngapain di sini?”“Shit!”Archer mengumpat lalu buru-buru menarik tangannya kembali dan memasukkannya ke kantong celana ketika Feli tiba-tiba membuka matanya.“Kamu pura-pura tidur?” desis Archer dengan rahang mengetat.Feli menegakkan punggung lalu mengucek mata. Ia tercenung karena matanya masih terasa basah. Memang sudah menjadi kebiasaannya akan menangis jika sedang merenung sendirian.“Anggap saja begitu. Asumsimu selalu benar.” Wanita berpakaian tidur hitam satin itu merapikan peralatan menggambarnya.“Aku benci wanita yang suka menyindir.”“Aku nggak pernah berharap disukai oleh pria sepertimu,” timpal Feli dengan cepat. Ia menatap Archer sejenak dengan tatapan jengah, pria itu tengah menatapnya dengan tatapan tak terbaca. “Kimmy menyisakan makanan buat kamu.”Archer mengalihkan pandangannya ke tengah-tengah meja makan.“Tap
Archer bergegas menyusul Feli yang sudah berjalan cukup jauh di depannya.“Shit!” umpat pria itu saat pintu lift yang ditumpangi Feli tertutup. Ia tidak sempat menghalangi pintu agar terbuka lagi.Archer menonjok dinding dengan tangan yang dikepalkan, kemudian mengusap wajahnya kasar. Emosinya selalu campur aduk jika berhadapan dengan istrinya. Ingin marah, kesal, dan emosi lain yang sulit sekali Archer jabarkan dengan kata-kata. Bahkan, Archer sendiri terkadang bingung dengan apa yang tengah ia rasakan.Pintu lift terbuka. Archer bergegas masuk dan menekan tombol menuju lobi.Sesampainya di lobi ia melihat Feli tengah berjalan sedikit sempoyongan sembari memijat pelipisnya.Feli nyaris terjatuh.Refleks Archer berlari hendak mendekat. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu melihat Rafi—yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba menahan tubuh Feli yang akan jatuh dengan merangkulnya.Jari jemari Archer perlahan mengepal.“Feli, apa yang terjadi? Kamu sakit? Wajah kamu pucat.”
“Mami…!”Seruan Kimberly membuat Archer terkejut. Ia mengalihkan tatapannya dari layar ponsel yang masih menampilkan pesan dari Belvina, ke arah Feli yang baru saja keluar dari mobil.“Papi turunin aku,” rengek Kimberly.“Oh? Oke.”Anak itu langsung menghambur ke pelukan ibunya begitu turun dari gendongan Archer.Archer memperhatikan mereka berdua. Hatinya mendadak kacau, pikirannya rumit saat melihat bagaimana Kimberly tertawa dan Feli yang berusaha terlihat sehat-sehat saja di depan anak itu.“Papi! Ayo!” seru Kimberly sambil melambaikan tangan.“O-oh, iya.” Archer tersadar dari keterpakuannya. Ia mengunci ponsel lalu memasukkannya ke saku celana, sebelum kemudian menghampiri anak dan istrinya.Dengan telaten Archer mendudukkan Kimberly di kursi khusus anak di kabin belakang dan memakaikan sabuk pengaman. Sedangkan Feli sudah duduk di kursi depan.“Papi, laper,” rengek Kimberly.“Mau makan siang sekarang?”“Hm-hm. Mau.”“Oke. Mau makan di mana?”“Em….” Kimberly mengusap dagu, meniru
“Mami bangun, Mi. Ayo kita berangkat, nanti kita kesiangan gimana?” Usapan lembut di pipi yang diiringi bisikan pelan di telinganya, membuat Feli membuka kelopak matanya lalu mendapati Kimberly sudah duduk di atas perutnya sembari cekikikan sendiri. “Jam berapa sekarang, Nak?” “Jam lima, Mami.” “Ya Tuhan… masih jam lima, kita nggak bakal kesiangan dong, Sayang,” erang Feli sembari mencubit pipi Kimberly dengan gemas. Tawa Kimberly yang terdengar renyah menggema memenuhi ruangan kamar yang masih diterangi lampu tidur itu. Feli tersenyum lembut lalu membelai puncak kepala putrinya. “Kamu pasti nggak sabar ya, tumben bangun pagi-pagi banget.” “Aku nggak sabaaaar banget, Mi.” Anak itu membuat gerakan lingkaran di udara dengan kedua tangannya. “Tapi papi ke mana, Mi? Kok nggak ada di sini?” Feli berdehem lalu bangkit duduk sembari memeluk Kimberly. Ia sudah bisa menebak Kimberly akan bertanya hal tersebut, karena biasanya anak berpipi chubby itu jarang memasuki kamar ini pagi-pagi b