Feli menata makanan di atas meja makan dibantu Bik Sumi. Ia tersenyum ketika mendengar derap langkah yang berlari-lari kecil menghampirinya.“Mami, perut aku lapar, katanya minta diisi makanan.”Feli terkekeh. “Jadi, mau makan malam sekarang atau nunggu papi dulu?” tanya Feli sembari menarik kursi untuk Kimberly duduki.Mata hazel Kimberly mengerjap. “Papi belum pulang ya, Mi?”“Belum, Sayang. Mungkin papi masih sibuk sama pekerjaannya.”“Tapi ini ‘kan hari Minggu, Mi. Apa papi selalu kerja di hari libur?”Feli yang akan membuka pintu kulkas seketika menghentikan kegiatannya. Ah, padahal Kimberly masih berusia tiga tahun lebih beberapa bulan. Tapi anak itu sudah mengerti hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan anak seusianya.Feli menoleh ke belakang lalu tersenyum. “Pekerjaan papi banyak, Sayang. Jadi papi harus tetap kerja walaupun hari libur.”“Oo… gitu ya, Mi?”Feli mengangguk. Meski sebenarnya ia tidak tahu ke mana perginya Archer sejak tadi siang—setelah Feli mengoleskan salep
Tanpa sadar, tangan Archer terulur mendekati wajah Feli. Entah mendapat dorongan dari mana hingga tangannya ingin sekali menghapus sisa air mata itu.“Lagi ngapain di sini?”“Shit!”Archer mengumpat lalu buru-buru menarik tangannya kembali dan memasukkannya ke kantong celana ketika Feli tiba-tiba membuka matanya.“Kamu pura-pura tidur?” desis Archer dengan rahang mengetat.Feli menegakkan punggung lalu mengucek mata. Ia tercenung karena matanya masih terasa basah. Memang sudah menjadi kebiasaannya akan menangis jika sedang merenung sendirian.“Anggap saja begitu. Asumsimu selalu benar.” Wanita berpakaian tidur hitam satin itu merapikan peralatan menggambarnya.“Aku benci wanita yang suka menyindir.”“Aku nggak pernah berharap disukai oleh pria sepertimu,” timpal Feli dengan cepat. Ia menatap Archer sejenak dengan tatapan jengah, pria itu tengah menatapnya dengan tatapan tak terbaca. “Kimmy menyisakan makanan buat kamu.”Archer mengalihkan pandangannya ke tengah-tengah meja makan.“Tap
Archer bergegas menyusul Feli yang sudah berjalan cukup jauh di depannya.“Shit!” umpat pria itu saat pintu lift yang ditumpangi Feli tertutup. Ia tidak sempat menghalangi pintu agar terbuka lagi.Archer menonjok dinding dengan tangan yang dikepalkan, kemudian mengusap wajahnya kasar. Emosinya selalu campur aduk jika berhadapan dengan istrinya. Ingin marah, kesal, dan emosi lain yang sulit sekali Archer jabarkan dengan kata-kata. Bahkan, Archer sendiri terkadang bingung dengan apa yang tengah ia rasakan.Pintu lift terbuka. Archer bergegas masuk dan menekan tombol menuju lobi.Sesampainya di lobi ia melihat Feli tengah berjalan sedikit sempoyongan sembari memijat pelipisnya.Feli nyaris terjatuh.Refleks Archer berlari hendak mendekat. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu melihat Rafi—yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba menahan tubuh Feli yang akan jatuh dengan merangkulnya.Jari jemari Archer perlahan mengepal.“Feli, apa yang terjadi? Kamu sakit? Wajah kamu pucat.”
“Mami…!”Seruan Kimberly membuat Archer terkejut. Ia mengalihkan tatapannya dari layar ponsel yang masih menampilkan pesan dari Belvina, ke arah Feli yang baru saja keluar dari mobil.“Papi turunin aku,” rengek Kimberly.“Oh? Oke.”Anak itu langsung menghambur ke pelukan ibunya begitu turun dari gendongan Archer.Archer memperhatikan mereka berdua. Hatinya mendadak kacau, pikirannya rumit saat melihat bagaimana Kimberly tertawa dan Feli yang berusaha terlihat sehat-sehat saja di depan anak itu.“Papi! Ayo!” seru Kimberly sambil melambaikan tangan.“O-oh, iya.” Archer tersadar dari keterpakuannya. Ia mengunci ponsel lalu memasukkannya ke saku celana, sebelum kemudian menghampiri anak dan istrinya.Dengan telaten Archer mendudukkan Kimberly di kursi khusus anak di kabin belakang dan memakaikan sabuk pengaman. Sedangkan Feli sudah duduk di kursi depan.“Papi, laper,” rengek Kimberly.“Mau makan siang sekarang?”“Hm-hm. Mau.”“Oke. Mau makan di mana?”“Em….” Kimberly mengusap dagu, meniru
“Mami bangun, Mi. Ayo kita berangkat, nanti kita kesiangan gimana?” Usapan lembut di pipi yang diiringi bisikan pelan di telinganya, membuat Feli membuka kelopak matanya lalu mendapati Kimberly sudah duduk di atas perutnya sembari cekikikan sendiri. “Jam berapa sekarang, Nak?” “Jam lima, Mami.” “Ya Tuhan… masih jam lima, kita nggak bakal kesiangan dong, Sayang,” erang Feli sembari mencubit pipi Kimberly dengan gemas. Tawa Kimberly yang terdengar renyah menggema memenuhi ruangan kamar yang masih diterangi lampu tidur itu. Feli tersenyum lembut lalu membelai puncak kepala putrinya. “Kamu pasti nggak sabar ya, tumben bangun pagi-pagi banget.” “Aku nggak sabaaaar banget, Mi.” Anak itu membuat gerakan lingkaran di udara dengan kedua tangannya. “Tapi papi ke mana, Mi? Kok nggak ada di sini?” Feli berdehem lalu bangkit duduk sembari memeluk Kimberly. Ia sudah bisa menebak Kimberly akan bertanya hal tersebut, karena biasanya anak berpipi chubby itu jarang memasuki kamar ini pagi-pagi b
Archer melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Pukul lima pagi. Ia merasa harus segera pulang untuk memenuhi janjinya pada Kimberly.Ia baru saja terbangun setelah ketiduran di sofa sejak pukul empat dini hari tadi. Archer bangkit dan meraih jaket yang tergeletak di single sofa.Sebisa mungkin Archer akan berusaha untuk menemani Kimberly seharian ini. Selain tak mau mengecewakan putrinya lagi, Archer tahu bahwa acara Family Gathering ini sangat dinanti-nantikan Kimberly.“Aku pulang, Vin,” gumam Archer sembari menatap Belvina yang terbaring lemah di atas kasur. Wajahnya pucat pasi setelah mengalami muntah darah semalam. Satu tangan Belvina memiliki jari-jari yang kaku dan jari bagian tengahnya lebih pendek dari jari lainnya. Itu cacat akibat kecelakaan saat itu.“Archer, jangan pergi… please,” lirih Belvina, yang membuat langkah kaki Archer tertahan di dekat pintu.Archer berbalik, lalu mendekati ranjang lagi. “Aku harus menemani Kimberly hari ini, Vin. Kamu bisa ditemani perawa
Archer kembali ke dalam mobil seraya menghubungi nomor Feli lagi. Namun untuk ke sekian kalinya nomor Feli tetap tidak aktif.Jantung Archer tak berhenti berdebar kencang, debarannya jauh berada di atas normal. Ada rasa sesal yang menghujam hatinya begitu dalam saat ini.Archer memacu kendaraannya dengan cepat menuju rumahnya. Jaraknya yang cukup jauh dan kondisi lalu lintas yang macet siang ini, membuat waktu yang dibutuhkan Archer cukup lama untuk sampai di rumah.Ia tak menunggu dibukakan pintu oleh satpam begitu mobil berhenti di halaman. Archer bergegas masuk karena ingin cepat bertemu dengan Kimberly dan meminta maaf kepadanya. Archer sangat yakin anak itu akan merajuk dan kecewa. Lalu ibunya… Archer menghela napas panjang saat sorot mata Feli yang tampak marah dan terluka membayang-bayangi kepalanya.“Mereka belum pulang?” tanya Archer pada Bik Sumi ketika tidak menemukan orang yang ia cari di seisi rumah.“Belum, Tuan.”Apa mereka mampir dulu ke suatu tempat?Archer bertanya-t
“Mami, kenapa kita nggak pulang ke rumah?”Pertanyaan Kimberly berhasil mengeluarkan Feli dari lamunannya. Ia menoleh ke samping, lalu tersenyum sembari mengelus wajah Kimberly yang tampak mendung.Selama di acara Family Gathering siang tadi Kimberly terlihat ceria karena terbawa suasana, apalagi ada Xavier bersamanya. Tapi setelah acara selesai, anak ini kembali murung seperti anak ayam kehilangan induknya.“Untuk beberapa hari kita menginap dulu di sini, ya. Kimmy nggak apa-apa, ‘kan?”“Berarti kita nggak akan ketemu papi?”Feli mengerjap. Lalu berusaha keras untuk tidak mengumpati pria itu di depan putrinya yang polos ini. Rasanya Feli selalu ingin marah setiap kali mengingat pria yang sudah berulang kali menancapkan ujung pedang pada setiap sudut hatinya.“Hm-hm. Kan papi ada pekerjaan, Sayang.” Feli berdusta untuk alasan yang satu ini. “Selama papi kerja, kita akan menginap di apartemennya Uncle Xavier. Nggak apa-apa?” tanyanya sekali lagi.“Nggak apa-apa.” Kimberly menggeleng ce