Mutia kembali meremas cek itu, kini di hadapan Hadi langsung, membuat lelaki itu membelalakkan matanya. "Maaf, Pak Hadi. uang dua ratus juta ini tidak sebanding dengan besarnya rasa cinta diantara kami berdua, lagipula saya sudah bercerai, status saya sudah bebas untuk membina hubungan baru. Saya tidak akan meninggalkan mas Diaz dengan iming-iming apapun, kecuali mas Diaz sendiri yang berinisiatif meninggalkan saya duluan. Maaf saya tidak bisa mengabulkan permintaan anda." Setelah berkata seperti itu Mutia kembali meletakkan cek senilai dua ratus juta itu yang telah menggumpal karena diremas. Wanita itu segera berdiri dan keluar dari ruangan itu. Melihat perempuan yang teguh seperti itu Hadi hanya tertawa sinis, uang yang diberikan pada perempuan itu hanya senilai dua ratus juta, sementara mungkin Diaz sudah memberikan lebih dari itu, bagaimana dia mau lepaskan tangkapan besar seperti itu? tidak bisa dengan uang, dia harus memikirkan cara lain. Hadi dengan marah langsung menggeb
Setelah bertemu dengan tuan Hadi Kusuma, perasaan Mutia tidak baik-baik saja. Tubuhnya bahkan gemetar, dia tidak tahu apakah keputusan yang diambil olehnya itu tepat atau tidak. Tetapi jika hal itu diketahui oleh Diaz, pasti Diaz akan semakin membenci ayahnya. Jadi sebisa mungkin Mutia akan merahasiakan pertemuan hari ini dengan ayah lelaki itu. Ketika kembali lagi ke pabrik, dia terlambat masuk, untung saja atasannya Pak Sultan belum datang. Sebisa mungkin Mutia berkonsentrasi pada pekerjaan yang cukup banyak. sekarang adalah akhir bulan, jadi banyak sekali pekerjaan administrasi yang harus diselesaikannya. Dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan membuatnya sedikit-dikit tidak lagi memikirkan perkataan ayahnya Diaz yang cukup menyakitkan buatnya. Tanpa terasa waktu pulang kerja sudah tiba, tetapi pekerjaannya belum juga selesai. Mutia bermaksud menambah waktu sekitar setengah jam lagi untuk menyelesaikan pekerjaannya setelah itu dia baru akan kembali. Tepat pukul setengah en
"Kemarin mas Diaz bertanya apa dia harus melamar aku ke keluarga kita, menurut nenek bagaimana? apa mas Diaz perlu melamarku sama om Hilman?" "Tidak perlu! Selama ini Hilman juga tidak menganggap kita sebagai keluarganya. lebih baik kita bicarakan berdua saja." "Tapi, nanti aku menikah kan butuh wali, hanya Om Hilman yang bisa menjadi wali nikahku, Nenek." "Tidak! tidak bisa! Hilman tidak bisa menjadi wali nikah kamu Mutia." Nenek menggeleng dengan tegas. Sikapnya yang terlihat begitu serius jelas membuat Mutia terkejut. "Kenapa nggak bisa, Nek? hanya Om Hilman adik laki-laki ayah, jadi hanya Om Hilman yang bisa menjadi wali nikah Mutia kan, Nek?!" "Mutia ... Ada yang perlu nenek katakan pada Mutia, semoga Mutia tidak marah. Nenek harusnya sudah mengatakan ini dari sejak ayahmu masih hidup atau jauh sebelum itu, yaitu ketika Darmawan masih kecil, tetapi nenek sangat takut kehilangan ayah kamu." Nenek menatap ke luar jendela. matanya tampak berkaca-kaca saat mengenang mas
"Sebelum kalian merencanakan bulan madu, rencanakan dulu kapan nikahnya? tidak baik berlama-lama pacaran," ujar nenek dengan tersenyum melihat interaksi cucunya dan calon cucu menantunya ini. Diaz yang mendengar desakan dari nenek berjalan mendekati nenek dan memegang tangan wanita tua itu, satu tangannya mengelus punggung tangan nenek. "Nenek, aku juga sudah ingin cepat-cepat menikahi Mutia. Siapa yang tidak mau cepat-cepat berbulan madu, nenek kan sudah berpengalaman, bagaimana rasanya menahan semua itu?" Nenek yang mendengar lelaki muda itu tanpa malu berterus terang tertawa terkekeh, bahkan tangannya sudah menjewer telinga Diaz yang menurutnya anak ini sangat nakal. "Em, nakal sekali kamu, ya ... kalau memang begitu, cepat kau urus surat-surat untuk kelengkapan pernikahan kalian. Yang penting akad nikah saja dulu, biar sah. Soal resepsi tidak dilaksanakan juga tidak apa-apa." "Baiklah, aku akan menuruti nasehat nenek. Tapi terlebih dahulu aku akan melamar Mutia pada paman
Malam ini Diaz kembali ke keluarganya, dia juga tidak yakin jika ayahnya akan menyetujui rencana pernikahannya, apalagi melihat penolakan keras lelaki tua itu saat pertama kali Diaz membawa Mutia ke sini. Sampai di rumah besar itu, ternyata ayahnya tengah keluar rumah. Dia hanya bertemu Karlina dan Farel di sana. Karlina melihat adiknya datang, tentu sangat senang menyambutnya. Wanita itu langsung mengajaknya makan malam bersama. "Ayah dan Dini kemana?" tanya Diaz ketika sudah di meja makan. "Nggak tahu, tuh. Dari tadi siang aku tidak melihat mereka di rumah," jawab Karlina. "Tante Dini ada di kamarnya, tadi pas magrib baru pulang," jawab Farel. "Tidak diajak makan sekalian dia?" "Nggak usah! lebih baik kita bertiga saja!" jawab Karlina dengan ketus, sepertinya kemarahan Karlina dari tadi siang masih membekas. "Mama kamu kenapa, Rel? dia kelihatannya marah-marah begitu," tanya Diaz yang heran melihat kakak perempuannya berwajah masam malam ini. "Tadi siang sepertinya mama ke
"Jadi, mau kan Kakak menjadi keluarga yang mendampingiku ke sana? Aku masih bisa mengandalkan mu, kan?" "Tentu saja! kau tidak perlu kuatir, kirimkan saja lokasinya aku akan datang mengendarai mobil sendiri." "Mau mendampingi ke mana?" Suara berat terdengar membuat mereka yang berada di meja makan terkejut. "Ayah?" desis Diaz menatap ayahnya dengan tatapan tidak suka. "Hem, mendampingi ketemu klien, Yah. Klien ini orang Tiongkok dan tidak bisa berbahasa inggris, jadi aku diminta untuk menjadi penerjemah," jawab Karlina yang memang mahir tiga bahasa asing, China, Inggris dan Perancis. "Oh, klien dalam rangka apa?" "klien ini menawarkan kerjasama eksport import produk dua negara." "Hati-hati berbisnis dengan orang asing, apalagi dari Tiongkok, mereka terkenal cerdik dan licik," ujar Hadi yang sudah duduk di meja makan "Iya, Yah," jawab Karlina tidak mau memperpanjang pembahasan. "Karlina, Ayah meminta maaf dengan sikap ayah tadi siang. Harusnya ayah bersyukur kamu bert
Benar kata Diaz, pagi itu dokter Fadil sudah datang dan memeriksa nenek, perawat yang selama ini merawat dan menjaga nenek memberi kabar pada Mutia. Makanya Mutia segera datang ke rumah sakit. Setelah sampai ruang rawat inap nenek, nenek bahkan sedang tertawa bahagia, terdengar suara dokter Fadil yang juga sangat ceria. Ketika Mutia mengucapkan salam dan masuk ruangan, mereka menghentikan tawa dan melihat siapa yang datang. "Mutia, lihat siapa yang datang! pengantin baru, kasihan malah datang ke sini," ujar nenek dengan tawa yang kembali menggema. "Mbak Mutia, ini semua ulah calon suamimu itu. Benar-benar dia malam-malam memaksaku untuk ke sini memeriksa nenek. Nggak tahu apa malam-malam itu jadwalku enak-enak sama istriku, malah diganggu seperti ini." Mendengar perkataan Fadil yang begitu frontal membuat Mutia malah malu sendiri, wajahnya menjadi bersemu merah dan bibirnya tidak bisa untuk tidak tersenyum canggung. Untung saja neneknya yang mendengar perkataan itu tertawa den
"Baiklah, Nenek. Sekarang aku akan mengurus kepulangan Nenek. Besok pagi kita baru keluar dari rumah sakit ini, aku akan menyewa mobil untuk mengantar nenek ke desa." "Baiklah." Mutia langsung menuju ruang administrasi, menang pembayaran sudah dibayar lunas oleh Diaz, tetapi dia membutuhkan surat menyuratnya. Ketika dia sampai di ruang administrasi, tidak terduga dia bertemu dengan Fahri di sana. Lelaki itu juga terkejut melihat Mutia ada di sana. "Mutiara? siapa yang sakit?" tanya lelaki itu dengan tatapan penuh selidik Lama tidak bertemu dengan Fahri membuat Mutia begitu canggung menghadapainya. wanita itu hanya tersenyum tipis dan menjawab pertanyaan lelaki itu apa adanya. "Nenek yang sakit, Mas. Tapi sudah mau keluar dari rumah sakit, ini ku sedang mengurus administrasinya, Mas Fahri sendiri, siapa yang sedang sakit?" "Fahri!" Belum Fahri menjawab pertanyaan Mutia, nama lelaki itu tiba-tiba dipanggil oleh seorang perempuan, Mutia menoleh ke arah sumber suara terl