Akhirnya Nurhidah dan Fahri mengikuti mutiara untuk mengunjungi nenek Rosida. Ketika mereka tahu bahwa nenek Rosida dirawat diruang VVIP yang begitu mewah, mereka cukup terkejut. Tetapi mereka juga akhirnya menyadari, dahulu nenek Rosida ini adalah orang kaya yang. suaminya memiliki banyak usaha dan juga aset, mungkin mereka masih menjadi orang kaya. Itulah sebabnya dahulu Nenek Rosida sering menolak Fahri karena mereka tidak sepadan, Fahri hanya pemuda biasa sedang Mutia anak orang kaya. Tetapi Mutia selalu menyakinkan jika dia sudah tidak punya orang tua dan tidak lagi menjadi orang yang mampu secara finansial, sehingga Fahri percaya diri mendekati dan memacarinya. "Nenek, aku bertemu dengan Bibi Nurhidah di dung administrasi dan mereka ingin menjenguk nenek," ujar Mutia setelah nenek Nurhidah terkejut melihat dia orang yang dulu menjadi tetangganya itu. "Nurhidah? ini kamu?" seru nenek Rosida."Iya, Bu. Ini Nurhidah? Bu Rosida apa kabar?" "Yah, beginilah, Nur. Aku baru saja saki
Selesai rapat, Diaz langsung kembali ke ruangannya. Dia langsung mengecek ponselnya, selama rapat dengan koleganya tadi, dia sengaja men-senyapkan ponselnya. ada beberapa panggilan tak terjawab dari Fadil, setelah itu sahabatnya itu meninggalkan pesan. Diaz segera membuka kotak pesan tersebut. [Nenek Mutia sudah boleh pulang sekarang. Katanya dia akan pulang ke kampung halamannya, jadi lebih baik besok saja check out dari rumah sakit, kalau dipaksa sekarang nanti kelelahan dan tidak bagus buat jantungnya. Kamu akan mengantar ke sana, kan?] [Ya. Terima kasih, ya] Centang satu, ternyata Fadil sedang berada di pesawat. Jadi tidak bisa mengaktifkan ponselnya. Diaz melihat jam di tangannya, sudah pukul satu siang, apakah Mutia berangkat kerja hari ini? Diaz tadi pagi saat sibuk, dia berangkat sangat pagi hingga tidak bertemu Mutia, hanya saling bertukar pesan saja. Jadi Diaz segera melakukan panggilan pada Mutia. baru beberapa kali berdering, Mutia langsung mengangkat panggilan tersebu
Mutia pulang tepat waktu, dia langsung pergi ke supermarket dan belanja oleh-oleh untuk dibawa ke Bogor. Di sekitar rumah nenek adalah rumah kerabat jauh nenek, sehingga dia tidak ingin mengabaikan hal besar yang kelihatannya kecil seperti ini. Pilihan Mutia adalah memasuki toko kue yang ada di mall. Toko ini menjual aneka cake yang sangat lezat. Mutia memilih beberapa cake keju, cake buah dan cake coklat. Dia membeli sekitar dua puluh box, Karen kata nenek, ada sekitar dua puluh kepala keluarga di sekitar rumah nenek. Mutia juga membeli lima buah cake lagi untuk keluarganya sendiri. Tidak disangka ternyata bawaannya sangat berat. Mutia menitipkan belanjaannya ini di toko tersebut karena dia akan mencari barang kain di mall tersebut. Ketika Mutia akan keluar toko kue, di pintu masuk seorang wanita masuk dengan tergesa-gesa dan menabrak tubuhnya hingga Mutia nyaris saja terjatuh, jika tidak ada kursi yang menyanggah tubuhnya. Wanita yang menabrak Mutia juga terpental ke pintu dan t
Mutia memesan taksi online dan meminta pelayan toko untuk membawa perasaannya ke dalam mobil, dia sudah memesan kue ulang tahun yang tidak terlalu besar, kue ulang tahun berwarna coklat karena memang diselimuti irisan coklat batang dan dihiasi buah Cherry dan strawberry di atasnya. Ada tulisan nama Diaz dan hari jadinya. Setalah sampai rumah, Mutia membungkus kado yang berupa pisau cukur itu, setalah menimang-nimang kado tersebut, perasaan kecil hati kembali menyusup di hatinya, akankah Diaz terkesan dengan hadiah ulang tahunnya? Hari sudah malam, Mutia kembali menghubungi Diaz, dia ingin memastikan jika laki-laki itu ingat makan malam, jangan sampai terlalu fokus berkerja hingga tidak memperhatikan diri sendiri. Pada panggilan pertama, lelaki itu tidak mengangkat panggilannya, Mutia kembali memanggil, terlihat tanda dering diatas ponselnya yang menandakan jika ponsel lelaki itu aktif. "Halo, Sayang!" Mutia menghela napas lega disaat terdengar suara lelaki itu dari sebarang s
Diaz melaju ke hotel yang disebutkan ayahnya, setelah sampai lobi hotel, dia bergegas keluar, tadi ayahnya bilang dia harus menemui di ballroom hotel, sepertinya ayahnya tengah menghadiri sebuah acara. Langkah tegap lelaki itu berjalan dengan mantap, Rais yang mengikuti dari belakang seolah-olah terlihat seperti pengawal. Ketika sampai ballroom hotel, hari sudah jam sepuluh malam. Tetapi di ballroom terlihat sangat ramai, sepertinya memang sedang ada acara pesta. Jadi Diaz sendiri bingung mau mencari ayahnya di mana, sementara musik terdengar menghentak dan pencahayaan juga seperti di diskotik dengan lampu disko yang berwarna-warni. Tiba-tiba musik berhenti dan ruangan terang benderang sepenuhnya, terlihat banyak orang yang hadir di sana, Diaz sendiri tidak sempat mengamati siapa saja yang hadir di sana. "SURPRISE!!" teriak semua orang dan bertepuk tangan dengan gembira. Diaz hanya mendelik kan matanya, menatap bingung dengan situasi yang ada, sebelum Rais berbisik ke telinganya
Mutia telah mengemas pakaian Diaz dalam koper kecil, mereka hanya tiga hari di sana, jadi tidak perlu membawa baju banyak. Hari sudah jam sepuluh malam lewat, tetapi Diaz belum juga pulang. Apa lelaki itu memang begitu banyak pekerjaan? kalau memang banyak seharusnya dia tidak memaksa untuk mengantar nenek, dia dan nenek bisa naik kereta api ke kampungnya. Dari stasiun dia bisa memesan taksi online menuju ke desa nenek. Bukankah jika lelaki itu kurang istirahat juga tidak terlalu bagus, dia bisa mengantuk di jalan dan menyebabkan hal berbahaya nanti di jalan, lagipula jalan ke kampung nenek itu berkelok karena daerah pegunungan, juga banyak tanjakan yang di kanan kiri jalan berupa jurang. Mutia menghela napas berat, dia mengambil ponselnya di saku celana, bermaksud mengirim pesan agar lelaki itu tidak terlalu larut lemburnya, jika dia kekurangan waktu istirahat Mutia akan pergi sendiri naik kereta api. Namun sebelum dia mengetik pesan, ada pesan dari Evita yang menumpuk, harusnya
"Mas, ayo. Bangun, Selamat ulang tahun ...." Mutia kembali mengguncang tubuh lelaki itu, Diaz yang merasa tengah bermimpi tangannya spontan meraih tubuh Mutia dan membaringkan di sampingnya, hal itu tentu saja membuat wanita itu terkejut dan berteriak. "Aaargh!" Mendnegar teriakan Mutia, kesadaran Diaz datang secara perlahan, lelaki itu membuka matanya secara perlahan, mengernyit dan melihat kalau dia sudah mengungkung seorang wanita di bawahnya. "Astaga!" Mata Diaz terbelalak mana kala apa yang disangkanya mimpi ternyata dunia kenyataan. "Mut, kupikir tadi mimpi aku mencium dan mencumbu kamu, ternyata kamu sungguhan ada di sini. Apa yang kamu lakukan di sini, Sayang?" Suara Diaz yang serak khas orang bangun tidur sungguh begitu seksi, membuat Mutia terpaku sesaat sebelum dia sadar dari terpesona pada lelaki itu. Mutia berusaha bangun dari tempat tidur dan duduk, menatap Diaz yang juga ikut bangun. "Em, aku sengaja datang ke sini untuk memberikan sesuatu," jawab Mut
"Aku tidak akan menilai benda ini dari harganya, tetapi aku akan menilainya dari siapa yang memberikannya, karena kamu orang yang memberinya, semurah apapun harganya bagiku sangat berharga." Mutia tambah tersenyum lebar mendengar perkataan lelaki di hadapannya, kenapa lelaki ini dari tadi menyerangnya dengan kalimat Bucin seperti ini. "Mas buka, ya?!" ujar Diaz. "Nanti aja, mas. kalau aku sudah pergi dari sini. Aku malu." "Gak perlu malu, seperti apapun yang kau berikan aku pasti akan menghargainya." Diaz mulai membuka bungkusan kado itu, setelah dilihat di dalamnya sebuah pisau cukur, lelaki itu tersenyum sumringah, reaksinya sungguh diatas ekspektasi. "Ini pisau cukur?" "Iya, aku juga membelikan silet isi ulangnya," jawab Mutia. Diaz menatap pisau cukur itu dengan tatapan mata berbinar-binar seperti melihat sebongkah berlian. Mutia yang melihat itu menjadi tidak enak, jadi spontan dia meraih pisau cukur yang masih terbungkus dengan pembungkus, tetapi sebelum tangan M