Selesai rapat, Diaz langsung kembali ke ruangannya. Dia langsung mengecek ponselnya, selama rapat dengan koleganya tadi, dia sengaja men-senyapkan ponselnya. ada beberapa panggilan tak terjawab dari Fadil, setelah itu sahabatnya itu meninggalkan pesan. Diaz segera membuka kotak pesan tersebut. [Nenek Mutia sudah boleh pulang sekarang. Katanya dia akan pulang ke kampung halamannya, jadi lebih baik besok saja check out dari rumah sakit, kalau dipaksa sekarang nanti kelelahan dan tidak bagus buat jantungnya. Kamu akan mengantar ke sana, kan?] [Ya. Terima kasih, ya] Centang satu, ternyata Fadil sedang berada di pesawat. Jadi tidak bisa mengaktifkan ponselnya. Diaz melihat jam di tangannya, sudah pukul satu siang, apakah Mutia berangkat kerja hari ini? Diaz tadi pagi saat sibuk, dia berangkat sangat pagi hingga tidak bertemu Mutia, hanya saling bertukar pesan saja. Jadi Diaz segera melakukan panggilan pada Mutia. baru beberapa kali berdering, Mutia langsung mengangkat panggilan tersebu
Mutia pulang tepat waktu, dia langsung pergi ke supermarket dan belanja oleh-oleh untuk dibawa ke Bogor. Di sekitar rumah nenek adalah rumah kerabat jauh nenek, sehingga dia tidak ingin mengabaikan hal besar yang kelihatannya kecil seperti ini. Pilihan Mutia adalah memasuki toko kue yang ada di mall. Toko ini menjual aneka cake yang sangat lezat. Mutia memilih beberapa cake keju, cake buah dan cake coklat. Dia membeli sekitar dua puluh box, Karen kata nenek, ada sekitar dua puluh kepala keluarga di sekitar rumah nenek. Mutia juga membeli lima buah cake lagi untuk keluarganya sendiri. Tidak disangka ternyata bawaannya sangat berat. Mutia menitipkan belanjaannya ini di toko tersebut karena dia akan mencari barang kain di mall tersebut. Ketika Mutia akan keluar toko kue, di pintu masuk seorang wanita masuk dengan tergesa-gesa dan menabrak tubuhnya hingga Mutia nyaris saja terjatuh, jika tidak ada kursi yang menyanggah tubuhnya. Wanita yang menabrak Mutia juga terpental ke pintu dan t
Mutia memesan taksi online dan meminta pelayan toko untuk membawa perasaannya ke dalam mobil, dia sudah memesan kue ulang tahun yang tidak terlalu besar, kue ulang tahun berwarna coklat karena memang diselimuti irisan coklat batang dan dihiasi buah Cherry dan strawberry di atasnya. Ada tulisan nama Diaz dan hari jadinya. Setalah sampai rumah, Mutia membungkus kado yang berupa pisau cukur itu, setalah menimang-nimang kado tersebut, perasaan kecil hati kembali menyusup di hatinya, akankah Diaz terkesan dengan hadiah ulang tahunnya? Hari sudah malam, Mutia kembali menghubungi Diaz, dia ingin memastikan jika laki-laki itu ingat makan malam, jangan sampai terlalu fokus berkerja hingga tidak memperhatikan diri sendiri. Pada panggilan pertama, lelaki itu tidak mengangkat panggilannya, Mutia kembali memanggil, terlihat tanda dering diatas ponselnya yang menandakan jika ponsel lelaki itu aktif. "Halo, Sayang!" Mutia menghela napas lega disaat terdengar suara lelaki itu dari sebarang s
Diaz melaju ke hotel yang disebutkan ayahnya, setelah sampai lobi hotel, dia bergegas keluar, tadi ayahnya bilang dia harus menemui di ballroom hotel, sepertinya ayahnya tengah menghadiri sebuah acara. Langkah tegap lelaki itu berjalan dengan mantap, Rais yang mengikuti dari belakang seolah-olah terlihat seperti pengawal. Ketika sampai ballroom hotel, hari sudah jam sepuluh malam. Tetapi di ballroom terlihat sangat ramai, sepertinya memang sedang ada acara pesta. Jadi Diaz sendiri bingung mau mencari ayahnya di mana, sementara musik terdengar menghentak dan pencahayaan juga seperti di diskotik dengan lampu disko yang berwarna-warni. Tiba-tiba musik berhenti dan ruangan terang benderang sepenuhnya, terlihat banyak orang yang hadir di sana, Diaz sendiri tidak sempat mengamati siapa saja yang hadir di sana. "SURPRISE!!" teriak semua orang dan bertepuk tangan dengan gembira. Diaz hanya mendelik kan matanya, menatap bingung dengan situasi yang ada, sebelum Rais berbisik ke telinganya
Mutia telah mengemas pakaian Diaz dalam koper kecil, mereka hanya tiga hari di sana, jadi tidak perlu membawa baju banyak. Hari sudah jam sepuluh malam lewat, tetapi Diaz belum juga pulang. Apa lelaki itu memang begitu banyak pekerjaan? kalau memang banyak seharusnya dia tidak memaksa untuk mengantar nenek, dia dan nenek bisa naik kereta api ke kampungnya. Dari stasiun dia bisa memesan taksi online menuju ke desa nenek. Bukankah jika lelaki itu kurang istirahat juga tidak terlalu bagus, dia bisa mengantuk di jalan dan menyebabkan hal berbahaya nanti di jalan, lagipula jalan ke kampung nenek itu berkelok karena daerah pegunungan, juga banyak tanjakan yang di kanan kiri jalan berupa jurang. Mutia menghela napas berat, dia mengambil ponselnya di saku celana, bermaksud mengirim pesan agar lelaki itu tidak terlalu larut lemburnya, jika dia kekurangan waktu istirahat Mutia akan pergi sendiri naik kereta api. Namun sebelum dia mengetik pesan, ada pesan dari Evita yang menumpuk, harusnya
"Mas, ayo. Bangun, Selamat ulang tahun ...." Mutia kembali mengguncang tubuh lelaki itu, Diaz yang merasa tengah bermimpi tangannya spontan meraih tubuh Mutia dan membaringkan di sampingnya, hal itu tentu saja membuat wanita itu terkejut dan berteriak. "Aaargh!" Mendnegar teriakan Mutia, kesadaran Diaz datang secara perlahan, lelaki itu membuka matanya secara perlahan, mengernyit dan melihat kalau dia sudah mengungkung seorang wanita di bawahnya. "Astaga!" Mata Diaz terbelalak mana kala apa yang disangkanya mimpi ternyata dunia kenyataan. "Mut, kupikir tadi mimpi aku mencium dan mencumbu kamu, ternyata kamu sungguhan ada di sini. Apa yang kamu lakukan di sini, Sayang?" Suara Diaz yang serak khas orang bangun tidur sungguh begitu seksi, membuat Mutia terpaku sesaat sebelum dia sadar dari terpesona pada lelaki itu. Mutia berusaha bangun dari tempat tidur dan duduk, menatap Diaz yang juga ikut bangun. "Em, aku sengaja datang ke sini untuk memberikan sesuatu," jawab Mut
"Aku tidak akan menilai benda ini dari harganya, tetapi aku akan menilainya dari siapa yang memberikannya, karena kamu orang yang memberinya, semurah apapun harganya bagiku sangat berharga." Mutia tambah tersenyum lebar mendengar perkataan lelaki di hadapannya, kenapa lelaki ini dari tadi menyerangnya dengan kalimat Bucin seperti ini. "Mas buka, ya?!" ujar Diaz. "Nanti aja, mas. kalau aku sudah pergi dari sini. Aku malu." "Gak perlu malu, seperti apapun yang kau berikan aku pasti akan menghargainya." Diaz mulai membuka bungkusan kado itu, setelah dilihat di dalamnya sebuah pisau cukur, lelaki itu tersenyum sumringah, reaksinya sungguh diatas ekspektasi. "Ini pisau cukur?" "Iya, aku juga membelikan silet isi ulangnya," jawab Mutia. Diaz menatap pisau cukur itu dengan tatapan mata berbinar-binar seperti melihat sebongkah berlian. Mutia yang melihat itu menjadi tidak enak, jadi spontan dia meraih pisau cukur yang masih terbungkus dengan pembungkus, tetapi sebelum tangan M
Pagi hari, Diaz memang tertidur dengan pulas, Mutia sendiri jam setengah enam sudah siap. Sudah selesai mandi, Diaz juga sudah terbangun, sudah sikat gigi dan salat subuh, dia berbaring kembali, pasalnya pakaiannya juga sudah di-packing oleh Mutia. Mutia mengambil ponselnya dan menelpon Diaz, apa lelaki itu belum bangun? ini sudah jam setengah enam pagi, jangan-jangan belum bangun. Mutia bergegas ke rumah lelaki itu dan membuka kode pintu rumahnya. "Mas Diaz?!" panggil Mutia dari ruang tamu. Diaz yang memang tidak tertidur mendengar suara Mutia langsung pura-pura tertidur. wajahnya dia benamkan ke dalam bantal. kreeek Pintu kamar terbuka, Mutia terbelalak melihat Diaz masih tertidur di kamarnya. Dia ingin berteriak memanggil lelaki itu agar lekas terbangun, tetapi itu bukan cara yang sopan untuk membangunkan orang. Mutia melangkah perlahan, Diaz yang sudah sangat manja dan senang dengan gaya dan cara Mutia membangunkannya tadi malam tentu saja sangat ketagihan. Wanita itu m
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me