"Aku tidak akan menilai benda ini dari harganya, tetapi aku akan menilainya dari siapa yang memberikannya, karena kamu orang yang memberinya, semurah apapun harganya bagiku sangat berharga." Mutia tambah tersenyum lebar mendengar perkataan lelaki di hadapannya, kenapa lelaki ini dari tadi menyerangnya dengan kalimat Bucin seperti ini. "Mas buka, ya?!" ujar Diaz. "Nanti aja, mas. kalau aku sudah pergi dari sini. Aku malu." "Gak perlu malu, seperti apapun yang kau berikan aku pasti akan menghargainya." Diaz mulai membuka bungkusan kado itu, setelah dilihat di dalamnya sebuah pisau cukur, lelaki itu tersenyum sumringah, reaksinya sungguh diatas ekspektasi. "Ini pisau cukur?" "Iya, aku juga membelikan silet isi ulangnya," jawab Mutia. Diaz menatap pisau cukur itu dengan tatapan mata berbinar-binar seperti melihat sebongkah berlian. Mutia yang melihat itu menjadi tidak enak, jadi spontan dia meraih pisau cukur yang masih terbungkus dengan pembungkus, tetapi sebelum tangan M
Pagi hari, Diaz memang tertidur dengan pulas, Mutia sendiri jam setengah enam sudah siap. Sudah selesai mandi, Diaz juga sudah terbangun, sudah sikat gigi dan salat subuh, dia berbaring kembali, pasalnya pakaiannya juga sudah di-packing oleh Mutia. Mutia mengambil ponselnya dan menelpon Diaz, apa lelaki itu belum bangun? ini sudah jam setengah enam pagi, jangan-jangan belum bangun. Mutia bergegas ke rumah lelaki itu dan membuka kode pintu rumahnya. "Mas Diaz?!" panggil Mutia dari ruang tamu. Diaz yang memang tidak tertidur mendengar suara Mutia langsung pura-pura tertidur. wajahnya dia benamkan ke dalam bantal. kreeek Pintu kamar terbuka, Mutia terbelalak melihat Diaz masih tertidur di kamarnya. Dia ingin berteriak memanggil lelaki itu agar lekas terbangun, tetapi itu bukan cara yang sopan untuk membangunkan orang. Mutia melangkah perlahan, Diaz yang sudah sangat manja dan senang dengan gaya dan cara Mutia membangunkannya tadi malam tentu saja sangat ketagihan. Wanita itu m
Sepanjang jalan Diaz menyetel lagu-lagu lembut agar nenek tidur dengan nyenyak, ada juga lagu religi yang lembut dan menyejukkan. Mutia sebagai pemandu jalan. "Kamu pernah ke kampung halaman nenek, Sayang?" tanya Diaz. "Pernah, aku dulu bahkan pernah tinggal di sana bersama ayah dan ibuku. Adalah beberapa tahun ketika ayah mulai merintis usaha, tapi saat itu aku masih bayi," jawab Mutia bercanda "Lah, kamu tinggal di sana saat masih bayi, emangnya sekarang kamu masih ingat jalan ke sana?" tanya Diaz dengan bibir mengkerut membuat Mutia tertawa terbahak. "Ya, nggak ingatlah!" "Terus, aku mau bawa mobil ke arah mana ini?" "Pakai GPS aja sih, Mas." "Ya, udah kamu cepat buka GPS, sudah itu pandu aku, gak mungkin kan aku sambil nyetir mata jelalatan lihat hp?" "Jelalatan kok ke hp? mendingan jelalatan itu ke cewek." "Nah itu kamu tahu, jadi kamu yang ngelihat hp, aku yang jelalatan ke kamu." "Apaan sih kamu, Mas!" Mutia mencubit lengan Diaz dengan gemas. "Augh! kamu
Diaz bermaksud setelah beberapa hari membersihkan rumah nenek, dia akan melangsungkan pernikahan di rumah ini, jadi kue-kue bolu yang dibawa Mutia bisa menjadi hidangan alternatif, dia sudah menyuruh Rais untuk mencari catering terbaik di kota Bogor untuk acaranya.Ketika memasuki rumah, para tetangga yang dari tadi menyambangi mereka juga sudah pulang, Diaz dan Mutia masih sibuk berbenah menyusun barang-barang nenek."Di sini cuma ada dua kamar, jadi Mutia akan tidur dengan nenek, Diaz bisa tidur di kamar depan," ujar nenek.Hari sudah malam, suasana di desa juga sepi tidak seperti di kota, jadi jam delapan malam sudah seperti larut malam, setalah makan malam, nenek beranjak untuk pergi ke kamar beristirahat."Oh, baiklah, Nek. Aku akan membereskan meja makan dan mencuci piring setelah itu menyusul nenek di kamar.' Mutia menjawab dengan wajah senang, tetapi ketika melihat ke arah Diaz, lelaki itu malah berwajah masam dan menatapnya dengan tajam. ada apa dengan orang ini? selalu saja
[Tadi aku chat sama Tasya. Dia sekarang sedang bulan madu ke Bali. dia sangat menyesal tidak datang ke acara pernikahan kita besok, dia marah karena acara kita begitu mendadak.] [Oh, chat sama Tasya? Fadil juga barusan nelpon, dia akan mengusahakan untuk datang. Jangan kuatir.] [Apa Mas memberi tahu Dokter Fadil?] [Ya, apa nenek sudah tidur?] [Sudah] [Datanglah ke sini, aku tidak bisa tidur!] [Eh, mana bisa begitu] [Kalau kamu tidak datang, aku akan tidur di kamar nenek, biarlah aku tidur di lantai.] Apa? dasar aneh, orang dewasa begitu tidak bisa tidur dan akan tidur bertiga di kamar nenek? apa itu pantas? pemikiran lelaki ini sungguh aneh, mana bisa dibiarkan begitu saja. [Ya, sudah. Aku akan datang, tunggu!] Ketika Mutia akan menutup ponselnya, tidak sengaja dia melihat nama Evita bertengger di barisan chat yang telah dia baca. Mutia akhirnya mengurungkan niat menutup ponselnya, pasalnya dia belum melihat kiriman video dan foto yang gadis itu kirimkan. Ada satu
Diaz segera keluar dari rumah, dengan modal senter di ponselnya dia mencari wanita itu. Hari ini masih jam sembilan malam, tetapi suasana sudah begitu gelap dan hanya terlihat cahaya yang redup dari lampu rumah-rumah warga.Ke mana Mutia? Kenapa dia pergi begitu saja?Mutia berjalan perlahan menyusuri jalan setapak di bawah bukit kecil di dekat rumah nenek. Desa ini cenderung aman dari kejahatan, setiap penduduk masih memiliki etika dan kesopanan yang tinggi, jadi Mutia tidak takut untuk berjalan sendirian di tengah malam seperti ini. langit tampak terang dengan bertaburan bintang-bintang. Dahulu ayahnya sering membawanya ke sini jika malam tiba setiap berkunjung ke rumah nenek.Itu sudah sangat lama, Mutia sendiri sampai lupa kapan terakhir ayahnya membawanya ke sini. Jika menuruni bukit kecil dan mengikuti jalan setapak, akan bertemu dengan Padang ilalang dan akan ada sungai kecil yang airnya sangat jernih dengan batu-batu pengunungan yang besar dan berwarna hitam. Jika siang Muti
"Apa yang kulakukan hingga membuatmu sedih? aku tidak akan sengaja menyakitimu? apa?!" pertanyaan Diaz benar-benar mendesaknya, lelaki itu begitu cemas Mendengar jawaban Mutia tersebut, bagaimana bisa dia menyakiti wanita yang begitu sangat dia cintai? "Mas, apa kamu benar-benar mencintaiku? kenapa kamu bisa mencintaiku? apa kamu memiliki motif tertentu?" "Bicara apa kamu, Sayang? Aku benar-benar mencintaimu, seluruh hati dan perasaanku hanya ada dirimu, bagaimana aku harus membuktikannya? aku mencintaimu begitu saja, bagaimana rasa cinta dan perasaan bisa direkayasa? apa kau tidak merasakan apa yang aku rasakan? rasa cinta itu datang begitu saja di dalam hatiku tanpa aku minta dan tanpa aku undang." "Sejak kapan?" "Sejak kapan, ya? aku juga tidak tahu kapan pastinya. Yang harus kau tahu, aku sangat serius padamu." "Apakah kau akan berbohong padaku?" "Mana bisa aku membohongi perasaanku padamu." "Kalau hal lainnya, apa kau akan berbohong?" "Sebenarnya apa yang akan kau b
"Tenangkan dulu dirimu, tarik napas perlahan. Kamu ini sedang cemburu, memang kalau sedang cemburu akan susah dibilangin, teraih cobalah buka pikiran dan hati kamu, jangan turutkan amarah, oke?" Mutia kini terdiam, dia membalikkan tubuhnya menghadap ke arah lelaki itu, matanya langsung menatap lelaki itu dengan tajam. "Oke, sekarang jelaskan, Mas." "Tadi malam aku memang lembur, tetapi ayahku menelpon katanya aku disuruh menemuinya di hotel Sriwijaya, ada hal pertemuan yang sangat penting di sana. Aku segera menyelesaikan pekerjaanku dengan dibantu oleh staf lainnya, sehingga pukul sepuluh malam baru bisa datang ke hotel tersebut. Tidak aku sangka saja, ternyata mereka memberikan kejutan pesta ulang tahun untukku." "Oh, jadi mereka memberikan surprise party, ya? apa kamu merasa surprise juga ketika melihat Tania yang menyiapkan itu semua?" "Aku malah tidak memperhatikan kalau dia yang mengurus semua itu." "Tapi tampaknya kamu sangat mengapresiasi dia, ya? sampai-sampai pot