[Tadi aku chat sama Tasya. Dia sekarang sedang bulan madu ke Bali. dia sangat menyesal tidak datang ke acara pernikahan kita besok, dia marah karena acara kita begitu mendadak.] [Oh, chat sama Tasya? Fadil juga barusan nelpon, dia akan mengusahakan untuk datang. Jangan kuatir.] [Apa Mas memberi tahu Dokter Fadil?] [Ya, apa nenek sudah tidur?] [Sudah] [Datanglah ke sini, aku tidak bisa tidur!] [Eh, mana bisa begitu] [Kalau kamu tidak datang, aku akan tidur di kamar nenek, biarlah aku tidur di lantai.] Apa? dasar aneh, orang dewasa begitu tidak bisa tidur dan akan tidur bertiga di kamar nenek? apa itu pantas? pemikiran lelaki ini sungguh aneh, mana bisa dibiarkan begitu saja. [Ya, sudah. Aku akan datang, tunggu!] Ketika Mutia akan menutup ponselnya, tidak sengaja dia melihat nama Evita bertengger di barisan chat yang telah dia baca. Mutia akhirnya mengurungkan niat menutup ponselnya, pasalnya dia belum melihat kiriman video dan foto yang gadis itu kirimkan. Ada satu
Diaz segera keluar dari rumah, dengan modal senter di ponselnya dia mencari wanita itu. Hari ini masih jam sembilan malam, tetapi suasana sudah begitu gelap dan hanya terlihat cahaya yang redup dari lampu rumah-rumah warga.Ke mana Mutia? Kenapa dia pergi begitu saja?Mutia berjalan perlahan menyusuri jalan setapak di bawah bukit kecil di dekat rumah nenek. Desa ini cenderung aman dari kejahatan, setiap penduduk masih memiliki etika dan kesopanan yang tinggi, jadi Mutia tidak takut untuk berjalan sendirian di tengah malam seperti ini. langit tampak terang dengan bertaburan bintang-bintang. Dahulu ayahnya sering membawanya ke sini jika malam tiba setiap berkunjung ke rumah nenek.Itu sudah sangat lama, Mutia sendiri sampai lupa kapan terakhir ayahnya membawanya ke sini. Jika menuruni bukit kecil dan mengikuti jalan setapak, akan bertemu dengan Padang ilalang dan akan ada sungai kecil yang airnya sangat jernih dengan batu-batu pengunungan yang besar dan berwarna hitam. Jika siang Muti
"Apa yang kulakukan hingga membuatmu sedih? aku tidak akan sengaja menyakitimu? apa?!" pertanyaan Diaz benar-benar mendesaknya, lelaki itu begitu cemas Mendengar jawaban Mutia tersebut, bagaimana bisa dia menyakiti wanita yang begitu sangat dia cintai? "Mas, apa kamu benar-benar mencintaiku? kenapa kamu bisa mencintaiku? apa kamu memiliki motif tertentu?" "Bicara apa kamu, Sayang? Aku benar-benar mencintaimu, seluruh hati dan perasaanku hanya ada dirimu, bagaimana aku harus membuktikannya? aku mencintaimu begitu saja, bagaimana rasa cinta dan perasaan bisa direkayasa? apa kau tidak merasakan apa yang aku rasakan? rasa cinta itu datang begitu saja di dalam hatiku tanpa aku minta dan tanpa aku undang." "Sejak kapan?" "Sejak kapan, ya? aku juga tidak tahu kapan pastinya. Yang harus kau tahu, aku sangat serius padamu." "Apakah kau akan berbohong padaku?" "Mana bisa aku membohongi perasaanku padamu." "Kalau hal lainnya, apa kau akan berbohong?" "Sebenarnya apa yang akan kau b
"Tenangkan dulu dirimu, tarik napas perlahan. Kamu ini sedang cemburu, memang kalau sedang cemburu akan susah dibilangin, teraih cobalah buka pikiran dan hati kamu, jangan turutkan amarah, oke?" Mutia kini terdiam, dia membalikkan tubuhnya menghadap ke arah lelaki itu, matanya langsung menatap lelaki itu dengan tajam. "Oke, sekarang jelaskan, Mas." "Tadi malam aku memang lembur, tetapi ayahku menelpon katanya aku disuruh menemuinya di hotel Sriwijaya, ada hal pertemuan yang sangat penting di sana. Aku segera menyelesaikan pekerjaanku dengan dibantu oleh staf lainnya, sehingga pukul sepuluh malam baru bisa datang ke hotel tersebut. Tidak aku sangka saja, ternyata mereka memberikan kejutan pesta ulang tahun untukku." "Oh, jadi mereka memberikan surprise party, ya? apa kamu merasa surprise juga ketika melihat Tania yang menyiapkan itu semua?" "Aku malah tidak memperhatikan kalau dia yang mengurus semua itu." "Tapi tampaknya kamu sangat mengapresiasi dia, ya? sampai-sampai pot
"Tidak ada yang lebih berharga daripada hadiah yang kamu berikan. Ini bukan soal harga, aku sudah biasa mendapat hadiah mewah, mobil, jam tangan, perhiasan. Tapi baru kali ini aku diberikan pisau cukur, itu tandanya kamu ingin aku tampil bersih dan rapi di hadapanmu, kan? jam tangan yang diberikan Tania bahkan sudah kukasih sama Rais." "Apa? yang benar saja? bukankah tidak baik memberikan hadiah dari orang lain kepada orang lain pula? apalagi itu hadiah mahal?" "Aku sudah punya jam rolex, harganya bahkan tiga ratus jutaan. aku tidak butuh lagi. sedang Rais dia belum punya, apa salahnya kalau dia kuberi biar gak mubazir. Tapi apakah kau mau aku memakai barang pemberian wanita lain?" "Nggak!" Mutia segera menutup mulutnya, terlalu frontal dia mengutarakan isi hatinya, membuat senyum Diaz langsung merekah. Bagaimanapun cemburu itu tandanya cinta, rasanya bahagia sekali jika perasaan kita dibalas dengan perasaan yang sama oleh seseorang yang kita cintai. "Jadi, apa kamu juga ing
Ketika Diaz mengatakan hal itu pada Mutia, wanita itu tampak ragu-ragu. "Hanya nikah siri, Mas?" ada nada kecewa di dalam suara wanita itu. "Hanya sementara, nanti setelah pulang dari sini kita langsung urus surat nikahnya dengan mengajukan isbat nikah ke KUA." "Apa itu tidak apa-apa? bukan apa-apa, hanya saja aku sering mendengar pernikahan siri itu sangat melemahkan pihak perempuan." Mutia benar-benar masih ragu. "Tidak apa-apa. Kita akan langsung mengurusnya sepulang dari desa nenek ini. Aku tidak berniat sama sekali untuk menikahimu dengan cara siri, ini semua di luar kuasaku, karena ada insiden itu. Kamu jangan kuatir, Sayang. Sekarang teruskanlah berias, nanti sekitar pukul sembilan pagi acara sudah dimulai." Diaz meyakinkan Mutia sehingga wanita itu kembali bersikap lunak, berusaha menghilangkan perasaan kuatirnya. Diaz tersenyum membelai kepala Mutia kembali meyakinkan wanitanya, dia tentu tidak mau, rencana pernikahannya yang sudah dia rencanakan dari awal ini akan b
Sultan yang melihat Diaz datang menemui kakaknya, segera mendekat ke arah mereka. Diaz memang belum pernah bertemu dengan Sultan, karena selama ini dia berada di luar negeri dan dia hanya mendengar cerita dari kakaknya saja. Ternyata Sultan juga lumayan, tidak kalah dengan Kevin mantan suami Karlina, bahkan tatapan mata lelaki ini lebih lembut dan lebih memiliki kasih sayang kepada kakaknya. "Kak Sultan?!" sapa Diaz yang langsung mengulurkan tangan pada lelaki itu. "Diaz, ya? Selamat ya atas pernikahanmu, walaupun pernikahan ini digelar secara sederhana tetapi tidak mengurangi makna kesakralannya. Semoga keluarga yang akan kamu bina nanti langgeng sampai kakek nenek." "Terima kasih, Kak Sultan. Saya juga berharap agar Kak Sultan dan Kak Karlina segera melangkah ke pelaminan. Tidak perlu lagi membuang waktu," sambut Diaz dengan antusias. "Ya, doakan juga agar semuanya lancar." "Diaz, Acara akan segera dimulai, penghulunya sudah siap dia panggung," ujar nenek menyela pembicara
Pak Sultan?!" Mutia jelas terkejut mendengar suara bahkan orangnya yang sudah nongol di hadapannya ini. Dia tidak memperhatikan para tamu tadi, karena rasa gugup dan grogi langsung naik ke atas panggung, jadi tidak tahu kalau bosnya juga ada menjadi tamu di nikahannya, benar-benar surprise. "Kamu kenal sama Kak Sultan?" tanya Diaz yang keheranan. "Pak Sultan ini atasan aku di kantor, Mas. Emang siapanya Mas Diaz?" "Kak Sultan ini calon suaminya kak Karlina." "Oh, terima kasih sudah datang, Pak." "Iya, selamat ya, Mutia. Kamu mau nikah kok gak bilang-bilang, nikahnya dengan calon adik ipar saya pula." "Terima kasih sekali lagi, Pak." Rasanya Mutia begitu senang karena ternyata atasannya yang selalu bersikap datar itu ternyata adalah calon kakak iparnya, Mutia sangat senang karena Karlina akan mendapatkan suami yang menurut Mutia juga sangat baik. "Nah, itu atasan kamu sendiri yang sudah ngasih tambahan hari libur buat honeymoon, jadi gak ada alasan buat nolak," ujar T