Pak Sultan?!" Mutia jelas terkejut mendengar suara bahkan orangnya yang sudah nongol di hadapannya ini. Dia tidak memperhatikan para tamu tadi, karena rasa gugup dan grogi langsung naik ke atas panggung, jadi tidak tahu kalau bosnya juga ada menjadi tamu di nikahannya, benar-benar surprise. "Kamu kenal sama Kak Sultan?" tanya Diaz yang keheranan. "Pak Sultan ini atasan aku di kantor, Mas. Emang siapanya Mas Diaz?" "Kak Sultan ini calon suaminya kak Karlina." "Oh, terima kasih sudah datang, Pak." "Iya, selamat ya, Mutia. Kamu mau nikah kok gak bilang-bilang, nikahnya dengan calon adik ipar saya pula." "Terima kasih sekali lagi, Pak." Rasanya Mutia begitu senang karena ternyata atasannya yang selalu bersikap datar itu ternyata adalah calon kakak iparnya, Mutia sangat senang karena Karlina akan mendapatkan suami yang menurut Mutia juga sangat baik. "Nah, itu atasan kamu sendiri yang sudah ngasih tambahan hari libur buat honeymoon, jadi gak ada alasan buat nolak," ujar T
"Aku lihat mas Diaz tadi menangis setelah ijab kabul, kenapa, Mas? Apa mas Diaz menyesal?" "Menyesal? iya, Mutia ... aku menyesal." Mutia jelas terkejut mendengar pengakuan lelaki ini. Matanya sampai membelalak tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, aku menyesal, kenapa nggak dari dulu kita ditemukan, kenapa harus menunggu waktu selama ini harus bersatu denganmu, Sayang." Wajah sendu Mutia langsung sumringah, dia mencubit pinggang suaminya dengan gemas. Lelaki ini pintar sekali menggodanya. Diaz yang bisa mengerjai istrinya hanya tertawa dengan renyah. "Sayang, aku sudah menunggu lama, jadi malam ini aku tidak bisa lagi bertahan. Aku selalu ingin mengulang malam pertama kita dulu, sekarang kita sudah sama-sama halal, kan?" bisik Diaz ditelinga Mutia membuat sekujur tubuh Mutia merasa merinding. Tak hanya itu, lelaki itu juga mengecup telinga Mutia dengan lembut, kecupan itu merambat ke arah leher dan meraup bibir Mutia dengan lembut membuat Mutia terbuai dan meng
Setelah menikah dan berbulan madu libur selama seminggu, Diaz dan Mutia kembali ke jakarta. Hubungan keduanya bertambah mesra dan tidak bisa terkendali, seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua, yang lain hanya mengontrak. "Kita akan pulang ke mana, Mas?" "Ke rumah Kita, Mas sudah membangun rumah tetapi belum pernah ditempati selama ini." "Bagaimana kalau kita ke rumah tua itu saja, aku merasa lebih nyaman tinggal di sana." "Kenapa, Mut? Rumah itu terlalu kecil dan tidak layak." "Rumah yang Mutia kontrak memang mungkin tidak layak, tetapi rumah yang ditinggali Mas Diaz itu sudah cukup layak," jawab Mutia. "Okelah, untuk sementara kita ke sana." Akhirnya Diaz hanya bisa mengalah demi kenyamanan istrinya. Mereka melajukan mobil menuju ke rumah tua tempat tinggal mereka berdua selama ini. "Tetapi Mutia harus pindah ke rumah Mas, ya?" pinta Diaz dengan lemah lembut "Iya, bantu Mutia mengepak barang dong, mas. Barang Mutia cukup banyak, loh!" "Iya, Sayang. Pasti
Pagi itu Diaz berangkat dengan dijemput oleh Rais, Mutia mengantar lelaki itu sampai ke pintu mobil. Pelukan dan ciuman panjang lelaki itu seolah-olah dia akan pergi dan tidak tahu kapan akan kembali. Mutia juga masuk kerja kembali, siangnya dia membeli beberapa barang di supermarket. Hari terlihat mendung dan petir serta angin kencang membuatnya tertahan di supermarket, dia sudah memesan taksi online lama tetapi belum juga sampai, sang sopir menelpon bahwa dia terjebak karena ada pohon yang tumbang "Mutia?" suara seseorang mengejutkan Mutia, terlihat seorang pria berpakaian dinas berjalan ke arahnya. "Mas Fahri?" gumam Mutia. "Mau pulang? di luar hujan badai sepertinya, biar aku antar kamu pulang." "Tidak usah, Mas. Aku sedang menunggu taksi online." "Batalkan saja, sepertinya hujan akan lama berhenti." Mutia melihat jam di ponselnya, sudah hampir jam sembilan malam, dia sudah terjebak di sini lebih dari tiga jam. "Sebentar lagi supermarket ini akan tutup," ujar Fah
Seminggu berlalu, komunikasi antara Mutia dan suaminya terjalin dengan harmonis, Diaz akan menelpon kapan saja bila dia rindu, begitu juga dengan Mutia. Diaz mengatakan jika kinerjanya di sana akan segera selesai dalam seminggu lagi, hal itu karena dia ngebut dalam pengerjaan agar bisa segera pulang dalam pelukan istrinya. Siang itu udara terasa cukup menyengat, ini hari Minggu sehingga Mutia tidak bekerja, hari ini dia bermaksud pergi ke mall untuk sekedar refreshing dan makan bersama dengan Tasya. Ketika sudah sampai food court ternyata Tasya belum datang, dia bergegas duduk di bangku, hari Minggu mall selalu ramai, sehingga akan sulit mendapat bangku di food court seperti ini, sehingga ketika ada meja kosong Mutia langsung duduk di sana. Dari pada bosan, Muria memainkan ponselnya dan duduk dengan menundukkan wajahnya cukup dalam. "Permisi, boleh saya duduk di sini sebentar?" tanya seseorang, Ketika Mutia mendongak, orang tersebut dan juga Mutia sama-sama terkejut. "Loh, T
"Halo, Bik Wati?" sapa Mutia. "Mbak, Mbak Mutia! Nenek pingsan, Mbak! Nenek pingsan!" Suara teriakan bercampur cemas terdengar di seberang telepon membuat Mutia sangat terkejut sekaligus kuatir dan takut. "Apa, Bik? Kenapa nenek bisa pingsan? Bagaimana keadaannya?!" teriak Mutia dengan wajah yang sangat cemas. "Bibik tidak tahu, tadi baik-baik saja. Apa yang harus Bibik lakukan, Mbak?" tanya wanita di sebrang tak kalah cemas. Mendengar kecemasan dalam suara dan raut wajah Mutia, Fahri yang akan menyendokan makanan ke mulutnya tangannya mengambang di udara dan tidak jadi memasukkan makanan ke mulutnya. lelaki itu memperhatikan wanita di hadapannya dengan intens. "Sekarang bibik hubungi paman Furqon, minta tolong dia cari mobil dan bawa ke rumah sakit daerah. Tolong ya, Bik." "Baik, mbak!" Mutia langsung berdiri dalam keadaan linglung, apa yang terjadi pada neneknya? padahal tadi pagi sebelum dia shalat subuh neneknya masih menelponnya dan nada suaranya masih baik-baik saj
"Bik Wati, kenapa nenek bisa seperti itu, Bik?" tanya Mutia dengan nada yang sangat sedih. "Anu, Mbak. Tadi siang nenek kedatangan tamu seorang perempuan cantik. Waktu itu bibik ke belakang untuk membuatkan minum, tetapi setelah bibik kembali, nenek sudah terkapar dan perempuan itu sudah pergi dari sana." "Siapa? Siapa yang menemui nenek, Mbak?" tanya Mutia dengan suara yang menekan, matanya bahkan menatap tajam ke arah wanita itu. "Saya juga nggak tahu, Mbak. Dia datang naik mobil bagus, terus dia pakai baju bagus juga, penampilannya modern, pakai gaun pendek, rambutnya panjang dan ujungnya ikal, pokonya cewek itu cantiklah, mbak. Nampaknya nenek Rosida juga tidak asing sama cewek itu, dia bilang cewek itu cucunya." Cucunya? Mutia membelalakkan matanya. Kalau cucunya berarti dia adalah Evita. Kalau sudah menyangkut gadis itu tidak akan mungkin berakhir dengan baik, gadis itu pasti sudah membuat gara-gara pada nenek hingga wanita tua bisa Anfal seperti ini. Kepala Mutia lang
Mutia hanya bisa mengatakan hal-hal baik pada Diaz setelah mendengar perkataan lelaki itu yang begitu memiliki harapan tinggi pada proyek tersebut. Dia akan mengatasi kekuatiran pada neneknya sendirian, nanti ketika Diaz pulang baru dua akan memberitahunya, semoga nenek cepat sadar. Mutia masih menunggu neneknya di rumah sakit, Bik Wati bolak-balik membawakan keperluan Mutia, sementara Fahri akan balik lagi ke Jakarta untuk mengurus surat kepindahannya. Nanti kalau urusannya sudah selesai dia akan datang lagi menemui Mutia. Hari berganti, Mutia masih kuatir dengan keadaan neneknya. Hari ini Fadil dan Tasya datang ke rumah sakit daerah, karena kesibukannya, dokter Fadil sampai tidak sempat memeriksa ponselnya, baru tadi pagi dia sempat memeriksa ternyata mengetahui kabar dari Mutia, Tasya pun baru sempat pagi ini memberitahunya tadi malam lelaki itu juga pulang sudah terlalu larut malam. "Bagaimana keadaan nenek?" tanya lelaki itu dengan langkah tegap ke arahnya, sementara Tasya