Setelah menikah dan berbulan madu libur selama seminggu, Diaz dan Mutia kembali ke jakarta. Hubungan keduanya bertambah mesra dan tidak bisa terkendali, seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua, yang lain hanya mengontrak. "Kita akan pulang ke mana, Mas?" "Ke rumah Kita, Mas sudah membangun rumah tetapi belum pernah ditempati selama ini." "Bagaimana kalau kita ke rumah tua itu saja, aku merasa lebih nyaman tinggal di sana." "Kenapa, Mut? Rumah itu terlalu kecil dan tidak layak." "Rumah yang Mutia kontrak memang mungkin tidak layak, tetapi rumah yang ditinggali Mas Diaz itu sudah cukup layak," jawab Mutia. "Okelah, untuk sementara kita ke sana." Akhirnya Diaz hanya bisa mengalah demi kenyamanan istrinya. Mereka melajukan mobil menuju ke rumah tua tempat tinggal mereka berdua selama ini. "Tetapi Mutia harus pindah ke rumah Mas, ya?" pinta Diaz dengan lemah lembut "Iya, bantu Mutia mengepak barang dong, mas. Barang Mutia cukup banyak, loh!" "Iya, Sayang. Pasti
Pagi itu Diaz berangkat dengan dijemput oleh Rais, Mutia mengantar lelaki itu sampai ke pintu mobil. Pelukan dan ciuman panjang lelaki itu seolah-olah dia akan pergi dan tidak tahu kapan akan kembali. Mutia juga masuk kerja kembali, siangnya dia membeli beberapa barang di supermarket. Hari terlihat mendung dan petir serta angin kencang membuatnya tertahan di supermarket, dia sudah memesan taksi online lama tetapi belum juga sampai, sang sopir menelpon bahwa dia terjebak karena ada pohon yang tumbang "Mutia?" suara seseorang mengejutkan Mutia, terlihat seorang pria berpakaian dinas berjalan ke arahnya. "Mas Fahri?" gumam Mutia. "Mau pulang? di luar hujan badai sepertinya, biar aku antar kamu pulang." "Tidak usah, Mas. Aku sedang menunggu taksi online." "Batalkan saja, sepertinya hujan akan lama berhenti." Mutia melihat jam di ponselnya, sudah hampir jam sembilan malam, dia sudah terjebak di sini lebih dari tiga jam. "Sebentar lagi supermarket ini akan tutup," ujar Fah
Seminggu berlalu, komunikasi antara Mutia dan suaminya terjalin dengan harmonis, Diaz akan menelpon kapan saja bila dia rindu, begitu juga dengan Mutia. Diaz mengatakan jika kinerjanya di sana akan segera selesai dalam seminggu lagi, hal itu karena dia ngebut dalam pengerjaan agar bisa segera pulang dalam pelukan istrinya. Siang itu udara terasa cukup menyengat, ini hari Minggu sehingga Mutia tidak bekerja, hari ini dia bermaksud pergi ke mall untuk sekedar refreshing dan makan bersama dengan Tasya. Ketika sudah sampai food court ternyata Tasya belum datang, dia bergegas duduk di bangku, hari Minggu mall selalu ramai, sehingga akan sulit mendapat bangku di food court seperti ini, sehingga ketika ada meja kosong Mutia langsung duduk di sana. Dari pada bosan, Muria memainkan ponselnya dan duduk dengan menundukkan wajahnya cukup dalam. "Permisi, boleh saya duduk di sini sebentar?" tanya seseorang, Ketika Mutia mendongak, orang tersebut dan juga Mutia sama-sama terkejut. "Loh, T
"Halo, Bik Wati?" sapa Mutia. "Mbak, Mbak Mutia! Nenek pingsan, Mbak! Nenek pingsan!" Suara teriakan bercampur cemas terdengar di seberang telepon membuat Mutia sangat terkejut sekaligus kuatir dan takut. "Apa, Bik? Kenapa nenek bisa pingsan? Bagaimana keadaannya?!" teriak Mutia dengan wajah yang sangat cemas. "Bibik tidak tahu, tadi baik-baik saja. Apa yang harus Bibik lakukan, Mbak?" tanya wanita di sebrang tak kalah cemas. Mendengar kecemasan dalam suara dan raut wajah Mutia, Fahri yang akan menyendokan makanan ke mulutnya tangannya mengambang di udara dan tidak jadi memasukkan makanan ke mulutnya. lelaki itu memperhatikan wanita di hadapannya dengan intens. "Sekarang bibik hubungi paman Furqon, minta tolong dia cari mobil dan bawa ke rumah sakit daerah. Tolong ya, Bik." "Baik, mbak!" Mutia langsung berdiri dalam keadaan linglung, apa yang terjadi pada neneknya? padahal tadi pagi sebelum dia shalat subuh neneknya masih menelponnya dan nada suaranya masih baik-baik saj
"Bik Wati, kenapa nenek bisa seperti itu, Bik?" tanya Mutia dengan nada yang sangat sedih. "Anu, Mbak. Tadi siang nenek kedatangan tamu seorang perempuan cantik. Waktu itu bibik ke belakang untuk membuatkan minum, tetapi setelah bibik kembali, nenek sudah terkapar dan perempuan itu sudah pergi dari sana." "Siapa? Siapa yang menemui nenek, Mbak?" tanya Mutia dengan suara yang menekan, matanya bahkan menatap tajam ke arah wanita itu. "Saya juga nggak tahu, Mbak. Dia datang naik mobil bagus, terus dia pakai baju bagus juga, penampilannya modern, pakai gaun pendek, rambutnya panjang dan ujungnya ikal, pokonya cewek itu cantiklah, mbak. Nampaknya nenek Rosida juga tidak asing sama cewek itu, dia bilang cewek itu cucunya." Cucunya? Mutia membelalakkan matanya. Kalau cucunya berarti dia adalah Evita. Kalau sudah menyangkut gadis itu tidak akan mungkin berakhir dengan baik, gadis itu pasti sudah membuat gara-gara pada nenek hingga wanita tua bisa Anfal seperti ini. Kepala Mutia lang
Mutia hanya bisa mengatakan hal-hal baik pada Diaz setelah mendengar perkataan lelaki itu yang begitu memiliki harapan tinggi pada proyek tersebut. Dia akan mengatasi kekuatiran pada neneknya sendirian, nanti ketika Diaz pulang baru dua akan memberitahunya, semoga nenek cepat sadar. Mutia masih menunggu neneknya di rumah sakit, Bik Wati bolak-balik membawakan keperluan Mutia, sementara Fahri akan balik lagi ke Jakarta untuk mengurus surat kepindahannya. Nanti kalau urusannya sudah selesai dia akan datang lagi menemui Mutia. Hari berganti, Mutia masih kuatir dengan keadaan neneknya. Hari ini Fadil dan Tasya datang ke rumah sakit daerah, karena kesibukannya, dokter Fadil sampai tidak sempat memeriksa ponselnya, baru tadi pagi dia sempat memeriksa ternyata mengetahui kabar dari Mutia, Tasya pun baru sempat pagi ini memberitahunya tadi malam lelaki itu juga pulang sudah terlalu larut malam. "Bagaimana keadaan nenek?" tanya lelaki itu dengan langkah tegap ke arahnya, sementara Tasya
"Mas Fahri, dokter sedang di dalam ruang ICU. Tiba-tiba layar monitor nenek berupa garis lurus. Aku sangat takut kehilangan nenek, Mas." "Sabar, Ra. Jangan seperti ini, kamu harus sabar dan ikhlas dengan apapun yang terjadi pada nenek, agar nenek tenang." Fahri memapah Mutia ke bangku tunggu dan mendudukkan di sana dengan perlahan dan mengelus pundaknya agar tenang. Fahri memberikan minuman hangat, Mutia terpaksa menyesapnya dengan perlahan. "Minum yang banyak agar kau tenang," ujar Fahri membujuk Mutiara. Beberapa saat kemudian seorang dokter dan beberapa perawat keluar dari ruang perawatan nenek, Mutia yang tengah meminum air langsung menghentikan kegiatannya dan berlari menyongsong dokter, Fahri juga mengikutinya dari belakang. "Dokter? Bagaimana keadaan nenek saya?" "Maaf, Bu. Kami gagal menyelamatkan nyawanya, semoga ibu tabah menghadapi ini semua." "APA?!" Mendengar kabar itu Mutia tampak begitu shock. Hampir saja tubuhnya limbung kalau Fahri tidak cepat mena
Plakk! "Kau ini memang gak becus, Mutia! Apa sih yang kau pikirkan ini, ha? Kalau begini siapa yang rugi? Perusahaan yang rugi! Sekarang kau bereskan semua kekacauan ini, Paham?!"Wanita yang dipanggil Mutia itu mengusap pipinya yang kini memerah akibat tamparan lelaki di hadapannya ini. Mata wanita itu sudah berkaca-kaca, rasanya malu ditampar di depan umum seperti ini. Namun, lelaki ini mana peduli dengan sekitarnya? Apabila dia marah, di mana pun tempatnya akan diluapkan. Apalagi sekarang dia benar-benar marah besar pada wanita ini."Dengar tidak apa yang kukatakan?" bentak lelaki itu lagi. "Iya, Mas. Maaf, beliau hanya ingin bertemu dan mengobrol dengan Mas sebagai direktur utama PT Sanjaya Sejahtera. Beliau tidak ingin membicarakan bisnis denganku.""Alah, alasan saja kamu! Bilang saja kamu gak bisa kerja! Menemui klien begitu saja tidak bisa!” bentak pria itu lagi. “Aku tidak mau tahu, sekarang kamu bereskan kekacauan ini!"Mutia menunduk dan berujar pelan, "Iya, Mas. Aku aka