Seminggu berlalu, komunikasi antara Mutia dan suaminya terjalin dengan harmonis, Diaz akan menelpon kapan saja bila dia rindu, begitu juga dengan Mutia. Diaz mengatakan jika kinerjanya di sana akan segera selesai dalam seminggu lagi, hal itu karena dia ngebut dalam pengerjaan agar bisa segera pulang dalam pelukan istrinya. Siang itu udara terasa cukup menyengat, ini hari Minggu sehingga Mutia tidak bekerja, hari ini dia bermaksud pergi ke mall untuk sekedar refreshing dan makan bersama dengan Tasya. Ketika sudah sampai food court ternyata Tasya belum datang, dia bergegas duduk di bangku, hari Minggu mall selalu ramai, sehingga akan sulit mendapat bangku di food court seperti ini, sehingga ketika ada meja kosong Mutia langsung duduk di sana. Dari pada bosan, Muria memainkan ponselnya dan duduk dengan menundukkan wajahnya cukup dalam. "Permisi, boleh saya duduk di sini sebentar?" tanya seseorang, Ketika Mutia mendongak, orang tersebut dan juga Mutia sama-sama terkejut. "Loh, T
"Halo, Bik Wati?" sapa Mutia. "Mbak, Mbak Mutia! Nenek pingsan, Mbak! Nenek pingsan!" Suara teriakan bercampur cemas terdengar di seberang telepon membuat Mutia sangat terkejut sekaligus kuatir dan takut. "Apa, Bik? Kenapa nenek bisa pingsan? Bagaimana keadaannya?!" teriak Mutia dengan wajah yang sangat cemas. "Bibik tidak tahu, tadi baik-baik saja. Apa yang harus Bibik lakukan, Mbak?" tanya wanita di sebrang tak kalah cemas. Mendengar kecemasan dalam suara dan raut wajah Mutia, Fahri yang akan menyendokan makanan ke mulutnya tangannya mengambang di udara dan tidak jadi memasukkan makanan ke mulutnya. lelaki itu memperhatikan wanita di hadapannya dengan intens. "Sekarang bibik hubungi paman Furqon, minta tolong dia cari mobil dan bawa ke rumah sakit daerah. Tolong ya, Bik." "Baik, mbak!" Mutia langsung berdiri dalam keadaan linglung, apa yang terjadi pada neneknya? padahal tadi pagi sebelum dia shalat subuh neneknya masih menelponnya dan nada suaranya masih baik-baik saj
"Bik Wati, kenapa nenek bisa seperti itu, Bik?" tanya Mutia dengan nada yang sangat sedih. "Anu, Mbak. Tadi siang nenek kedatangan tamu seorang perempuan cantik. Waktu itu bibik ke belakang untuk membuatkan minum, tetapi setelah bibik kembali, nenek sudah terkapar dan perempuan itu sudah pergi dari sana." "Siapa? Siapa yang menemui nenek, Mbak?" tanya Mutia dengan suara yang menekan, matanya bahkan menatap tajam ke arah wanita itu. "Saya juga nggak tahu, Mbak. Dia datang naik mobil bagus, terus dia pakai baju bagus juga, penampilannya modern, pakai gaun pendek, rambutnya panjang dan ujungnya ikal, pokonya cewek itu cantiklah, mbak. Nampaknya nenek Rosida juga tidak asing sama cewek itu, dia bilang cewek itu cucunya." Cucunya? Mutia membelalakkan matanya. Kalau cucunya berarti dia adalah Evita. Kalau sudah menyangkut gadis itu tidak akan mungkin berakhir dengan baik, gadis itu pasti sudah membuat gara-gara pada nenek hingga wanita tua bisa Anfal seperti ini. Kepala Mutia lang
Mutia hanya bisa mengatakan hal-hal baik pada Diaz setelah mendengar perkataan lelaki itu yang begitu memiliki harapan tinggi pada proyek tersebut. Dia akan mengatasi kekuatiran pada neneknya sendirian, nanti ketika Diaz pulang baru dua akan memberitahunya, semoga nenek cepat sadar. Mutia masih menunggu neneknya di rumah sakit, Bik Wati bolak-balik membawakan keperluan Mutia, sementara Fahri akan balik lagi ke Jakarta untuk mengurus surat kepindahannya. Nanti kalau urusannya sudah selesai dia akan datang lagi menemui Mutia. Hari berganti, Mutia masih kuatir dengan keadaan neneknya. Hari ini Fadil dan Tasya datang ke rumah sakit daerah, karena kesibukannya, dokter Fadil sampai tidak sempat memeriksa ponselnya, baru tadi pagi dia sempat memeriksa ternyata mengetahui kabar dari Mutia, Tasya pun baru sempat pagi ini memberitahunya tadi malam lelaki itu juga pulang sudah terlalu larut malam. "Bagaimana keadaan nenek?" tanya lelaki itu dengan langkah tegap ke arahnya, sementara Tasya
"Mas Fahri, dokter sedang di dalam ruang ICU. Tiba-tiba layar monitor nenek berupa garis lurus. Aku sangat takut kehilangan nenek, Mas." "Sabar, Ra. Jangan seperti ini, kamu harus sabar dan ikhlas dengan apapun yang terjadi pada nenek, agar nenek tenang." Fahri memapah Mutia ke bangku tunggu dan mendudukkan di sana dengan perlahan dan mengelus pundaknya agar tenang. Fahri memberikan minuman hangat, Mutia terpaksa menyesapnya dengan perlahan. "Minum yang banyak agar kau tenang," ujar Fahri membujuk Mutiara. Beberapa saat kemudian seorang dokter dan beberapa perawat keluar dari ruang perawatan nenek, Mutia yang tengah meminum air langsung menghentikan kegiatannya dan berlari menyongsong dokter, Fahri juga mengikutinya dari belakang. "Dokter? Bagaimana keadaan nenek saya?" "Maaf, Bu. Kami gagal menyelamatkan nyawanya, semoga ibu tabah menghadapi ini semua." "APA?!" Mendengar kabar itu Mutia tampak begitu shock. Hampir saja tubuhnya limbung kalau Fahri tidak cepat mena
Fahri menatap Mutia dengan perasaan iba, dengan perlahan lelaki itu mendekati Mutia dan menggenggam tangan wanita itu. "Ra, sebaiknya kamu beri kabar suamimu, kamu sedang hamil sekarang." Mutia yang menatap Fahri dengan terkejut, matanya yang sembab itu menyipit, spontan dia memegang perutnya. "Apa? aku hamil?" ujarnya dengan suara lemah. "Iya, kamu tidak mungkin mengatasi masalah ini sendiri, sekarang kita pulang ke rumah nenek, nenek harus diurus jenazahnya." "Kalaupun mas Diaz datang, itu tidak akan terkejar. dia sedang berada di luar negeri, dia sedang di Dubai." "Kalau begitu kita langsung urus jenazahnya, kamu kabari suamimu." "Dia tinggal tiga hari lagi di sana, kalau aku mengabarinya, dia tidak akan tenang di sana dan akan buru-buru pulang, kalau sampai dia meninggalkan pekerjaannya di sana, semua yang dia usahakan akan sia-sia. Biarlah nanti ketika dia pulang akan aku beritahu." "Ya, sudah kalau memang itu keputusanmu. Ayo, kita ambil nenek untuk dibawa ambula
Fahri Pergi ke pemakaman, Tasya dan Mutia menyusul, setelah pemakaman selesai, Tasya dan suaminya langsung pulang ke Jakarta. “Kapan Mas Fahri akan pergi ke luar negeri? Jadinya ditempatkan di negara mana?” Tanya Mutia setelah pulang ke rumah nenek dari pemakaman. “Belum tahu di negara mana, tetapi nggak sampai satu bulan aku sudah keluar SK ke sana.” Suasana rumah nenek begitu sunyi setelah tamu-tamu pergi dari sana, Bik Yanti dan para tetangga sibuk masak di rumah Bik Yanti untuk acara tahlilan kematian nenek. Mereka melarang Mutia ikut membantu, Mutia cukup tinggal di rumah nenek. Para tetangga yang menghadiri pernikahan Mutia cukup heran, karena lelaki yang menikah dengan Mutia kemarin bukanlah lelaki ini, tetapi mereka tidak ada yang berani menanyakan. “Mas Fahri kalau mau pulang silahkan, aku akan tinggal di sini selama tiga hari, setalah tahlilan nenek tiga hari baru akan pulang ke Jakarta.” “Tidak, Ra. Aku akan menemanimu selama tiga hari ini, melihat kondisimu yang sed
Diaz keluar dari pesawat yang membawanya dari Dubai menuju bandara Soekarno-Hatta. Dengan kerja kerasnya, juga sering lembur dan mengejar waktu, akhirnya belum sampai tiga hari dia sudah menyelesaikan proyek pembangunan stadion sepakbola di kota itu, nilai proyeknya memang ratusan miliar, namun di sana proyeknya juga mengambil bagian proyek untuk finishing dan desain interior stadion. Lelaki itu keluar dari tubuh pesawat, dia sengaja tidak memberi kabar pada istrinya untuk memberinya kejutan. Rasanya sudah sangat rindu dia menemui istrinya itu setelah satu bulan dia tinggalkan. Kaki Diaz yang panjang melangkah lebar, terburu-buru agar cepat sampai tujuan, Rais sudah menunggu di pintu kedatangan untuk menjemputnya. Setelah keluar dari pintu kedatangan, lelaki itu mengambil koper dan kembali berjalan sampai membuka aplikasi pesan, melihat pesan yang dikirim oleh Rais. “Kak Diaz?!” Panggil seseorang dengan histeris. Diaz menoleh ke arah asal suara, dia melihat Evita yang berlari m
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me