Diaz keluar dari pesawat yang membawanya dari Dubai menuju bandara Soekarno-Hatta. Dengan kerja kerasnya, juga sering lembur dan mengejar waktu, akhirnya belum sampai tiga hari dia sudah menyelesaikan proyek pembangunan stadion sepakbola di kota itu, nilai proyeknya memang ratusan miliar, namun di sana proyeknya juga mengambil bagian proyek untuk finishing dan desain interior stadion. Lelaki itu keluar dari tubuh pesawat, dia sengaja tidak memberi kabar pada istrinya untuk memberinya kejutan. Rasanya sudah sangat rindu dia menemui istrinya itu setelah satu bulan dia tinggalkan. Kaki Diaz yang panjang melangkah lebar, terburu-buru agar cepat sampai tujuan, Rais sudah menunggu di pintu kedatangan untuk menjemputnya. Setelah keluar dari pintu kedatangan, lelaki itu mengambil koper dan kembali berjalan sampai membuka aplikasi pesan, melihat pesan yang dikirim oleh Rais. “Kak Diaz?!” Panggil seseorang dengan histeris. Diaz menoleh ke arah asal suara, dia melihat Evita yang berlari m
Mutia selesai diinfus satu botol, dia sudah merasa tubuhnya enakan. Jadi Mutia memutuskan untuk pulang ke rumah, dia merasa tidak perlu dirawat lagi. "Kamu yakin sudah baikan? bagaimana kalau besok saja pulangnya?" tawar Fahri. "Aku sudah merasa baikan, Mas. Aku ini hanya sakit karena sedang hamil muda, selain itu tidak memiliki penyakit lain. Aku akan jaga kondisiku dan akan memaksakan diri untuk makan." "Tapi wajahmu masih pucat, apa kau bisa menjaga diri di rumah sendiri?" "Besok suamiku sudah pulang, aku tidak akan sendiri lagi." "Baiklah kalau begitu. Aku akan mengurus kepulangan mu dulu." "Tunggu, Mas!" Mutia meraih tas tangannya yang ada di meja kopi dekat tempat tidur, dia mencari kartu ATM, tidak enak kan kalau biaya rumah sakit juga dibayari oleh Fahri, dengan lelaki itu menemaninya selama ini saja sudah syukur. "Gunakan kartu ini untuk pembayaran." "Apa? tidak usah, biar aku yang bayar." "Jangan begitu, Mas. Aku sudah cukup bersyukur mas menemaniku dan m
Sampai di rumah tua, Diaz langsung turun, dia menyuruh Rais langsung membawa semua pakaian yang ada di rumah ini ke rumah baru yang sudah dipersiapkan untuknya dan Mutia. "Apa semua barang di sini dibawa semua, Pak?" "Ya, bawa saja. Semua mobil pengangkut barang!" Diaz mengambil ponselnya dan melakukan panggilan ke nomor istrinya, dia butuh penjelasan dari Mutia. dia tidak bisa hidup dalam prasangka seperti ini. Tetapi beberapa kali dia menelpon, ternyata ponsel istrinya itu tidak aktif sama sekali, rasa jengkel jelas menguasainya. Diaz keluar menuju mini market di lantai bawah, membeli minuman soda dan beberapa bungkus rokok. Ternyata barang-barang Mutia belum ada satupun yang berpindah ke rumahnya, berarti masih berada di rumah kontrakan Mutia itu. Sayang sekali Diaz tidak memiliki kunci rumah itu, dia hanya membawa kunci cadangan rumahnya. Selama ini Diaz memang tidak meminta Mutia memindahkan barang-barangnya ke rumah Diaz di sebelah, hal itu karena tanggung saja, dia te
Fahri yang sudah menjalankan mobilnya beberapa meter tersadar mana kala menatap bangku sampingnya, di sana teronggok tas wanita milik siapa lagi kalau bukan milik Mutia. Fahri segera memutar kembali mobilnya kembali ke rumah Mutia. Ketika mobilnya tiba, dia melihat dari kaca jendela mobil, Diaz tengah memasuki mobilnya dengan wajah yang teramat dingin, sepertinya lelaki itu menyimpan amarah yang tidak bisa diungkapkan. Apa yang terjadi? apakah mereka baik-baik saja? Fahri segera turun dari mobil, mengambil tas Mutia dan segera turun, dengan berlari dia menaiki tangga. Rasa kuatir nya ternyata terbukti, dia melihat di sana Mutia tengah duduk di lantai, dengan tangisan yang begitu pilu. "Tiara, ada apa? kenapa kamu menangis seperti ini?" tanya Fahri yang langsung meriah tubuh Mutia yang tengah menangis di lantai. Tetapi tubuh Mutia yang sudah lemas, semakin lemas tidak berdaya untuk berdiri. "Sudah kukatakan, kamu masih harus dirawat! aku akan membawamu ke rumah sakit lagi!"
Hadi Kusuma terlihat begitu sumringah mendengar kabar dari anak bungsu dan calon menantu idamannya, jika Diaz dan perempuan liar itu telah berpisah. Berani benar mereka menikah di belakangnya, untung saja anak buahnya cepat mengabari sehingga aksinya mencelakai penghulu yang akan menikahkan mereka berhasil. Tetapi mereka tidak memikirkan lebih lanjut, siapa sangka anaknya itu masih nekat menikahi perempuan itu dibawah tangan. Perempuan yang sama sekali tidak bisa menguntungkan keluarganya berani-beraninya mau menjadi menantunya. Hanya seorang anak yatim piatu yang tidak ada latar belakang sama sekali. "Hugo, acara peresmian hotel Golden Harvest bagaimana persiapannya?" tanya lelaki tua itu pada asistennya di telepon. "Sudah selesai, Pak. Acaranya besok pagi jam sembilan." "Baiklah, jangan lupa undang semua kolega kita. Besok putraku yang akan menggunting pita, karena hotel itu aku peruntukkan untuk dirinya." "Baik, Pak. Apa pak Diaz sudah dikabari?" "Biar aku saja yang m
Sore hari Fahri datang menjenguknya kembali, lelaki itu datang dengan membawa sekeranjang buah-buahan. "Makanlah bnyak buah, biasanya orang hamil itu suka dengan buah-buahan." Fahri mengambil satu buah pir dan mengupas kulitnya, daging buah itu dia tempatkan di piring plastik dan menyodorkannya pada Mutia "Iya, kelihatannya sangat segar," jawab Mutia tetapi tatapan wanita itu tidak berminat sama sekali. "Apa kau sudah memberi kabar suamimu?" tanya Fahri dengan tatapan menyelidik "Belum." "Kenapa?" "Sepertinya tidak perlu mengatakan apapun padanya, dia sudah menalakku." "Ah, kamu ini. Apa kamu akan diam saja tanpa usaha?" "Aku akan tetap bertahan jika dia menginginkan hal itu, tetapi aku akan mundur jika memang dia menginginkannya." "Apa kau tidak memiliki keinginan sendiri? setidaknya demi anakmu, Tiara. aku tidak akan selalu di sampingmu, besok bahkan aku sudah terbang ke Austria, aku akan bekerja di kedutaan sana." "Oh?" Tatapan Mutia terlihat kosong, dia sedikit sedih
"Lantas kenapa anda biarkan Bu Mutia pergi, Pak? kalau memang Bu Mutia itu cinta pertama bapak, harusnya jangan biarkan dia lepas. apalagi dia sudah menjadi istri bapak, sudah menjadi milik bapak seutuhnya, dia juga tidak mungkin akan pergi begitu kalau bapak tidak menyuruhnya pergi, Pak? bagaimana sih anda ini?!" Tanpa sengaja Rais bicara dengan keras dan marah pada Diaz, sungguh rasa cemburu bosnya ini sangat berlebihan, tetapi rasa cemburu itu juga sangat merugikannya. "Apa? berani benar kamu membentakku, Rais?!" geram Diaz dengan tatapan tajam. "Maaf, maaf bukan begitu maksud saya, Pak. Tapi bapak beberapa hari ini sangat tidak baik-baik saja, dari kemarin kita rapat, bapak hanya bisa marah-marah saja. Sejak bapak bersama Bu Mutia, bapak tidak pernah seperti ini. Itu artinya Bu Mutia memberikan dampak positif kepada anda. Apa anda akan melepaskan wanita seperti itu untuk orang lain? sikap anda yang seperti ini yang bisa membuat pihak lain tertawa dan merasa beruntung, pak.
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me