Malam ini Diaz kembali ke keluarganya, dia juga tidak yakin jika ayahnya akan menyetujui rencana pernikahannya, apalagi melihat penolakan keras lelaki tua itu saat pertama kali Diaz membawa Mutia ke sini. Sampai di rumah besar itu, ternyata ayahnya tengah keluar rumah. Dia hanya bertemu Karlina dan Farel di sana. Karlina melihat adiknya datang, tentu sangat senang menyambutnya. Wanita itu langsung mengajaknya makan malam bersama. "Ayah dan Dini kemana?" tanya Diaz ketika sudah di meja makan. "Nggak tahu, tuh. Dari tadi siang aku tidak melihat mereka di rumah," jawab Karlina. "Tante Dini ada di kamarnya, tadi pas magrib baru pulang," jawab Farel. "Tidak diajak makan sekalian dia?" "Nggak usah! lebih baik kita bertiga saja!" jawab Karlina dengan ketus, sepertinya kemarahan Karlina dari tadi siang masih membekas. "Mama kamu kenapa, Rel? dia kelihatannya marah-marah begitu," tanya Diaz yang heran melihat kakak perempuannya berwajah masam malam ini. "Tadi siang sepertinya mama ke
"Jadi, mau kan Kakak menjadi keluarga yang mendampingiku ke sana? Aku masih bisa mengandalkan mu, kan?" "Tentu saja! kau tidak perlu kuatir, kirimkan saja lokasinya aku akan datang mengendarai mobil sendiri." "Mau mendampingi ke mana?" Suara berat terdengar membuat mereka yang berada di meja makan terkejut. "Ayah?" desis Diaz menatap ayahnya dengan tatapan tidak suka. "Hem, mendampingi ketemu klien, Yah. Klien ini orang Tiongkok dan tidak bisa berbahasa inggris, jadi aku diminta untuk menjadi penerjemah," jawab Karlina yang memang mahir tiga bahasa asing, China, Inggris dan Perancis. "Oh, klien dalam rangka apa?" "klien ini menawarkan kerjasama eksport import produk dua negara." "Hati-hati berbisnis dengan orang asing, apalagi dari Tiongkok, mereka terkenal cerdik dan licik," ujar Hadi yang sudah duduk di meja makan "Iya, Yah," jawab Karlina tidak mau memperpanjang pembahasan. "Karlina, Ayah meminta maaf dengan sikap ayah tadi siang. Harusnya ayah bersyukur kamu bert
Benar kata Diaz, pagi itu dokter Fadil sudah datang dan memeriksa nenek, perawat yang selama ini merawat dan menjaga nenek memberi kabar pada Mutia. Makanya Mutia segera datang ke rumah sakit. Setelah sampai ruang rawat inap nenek, nenek bahkan sedang tertawa bahagia, terdengar suara dokter Fadil yang juga sangat ceria. Ketika Mutia mengucapkan salam dan masuk ruangan, mereka menghentikan tawa dan melihat siapa yang datang. "Mutia, lihat siapa yang datang! pengantin baru, kasihan malah datang ke sini," ujar nenek dengan tawa yang kembali menggema. "Mbak Mutia, ini semua ulah calon suamimu itu. Benar-benar dia malam-malam memaksaku untuk ke sini memeriksa nenek. Nggak tahu apa malam-malam itu jadwalku enak-enak sama istriku, malah diganggu seperti ini." Mendengar perkataan Fadil yang begitu frontal membuat Mutia malah malu sendiri, wajahnya menjadi bersemu merah dan bibirnya tidak bisa untuk tidak tersenyum canggung. Untung saja neneknya yang mendengar perkataan itu tertawa den
"Baiklah, Nenek. Sekarang aku akan mengurus kepulangan Nenek. Besok pagi kita baru keluar dari rumah sakit ini, aku akan menyewa mobil untuk mengantar nenek ke desa." "Baiklah." Mutia langsung menuju ruang administrasi, menang pembayaran sudah dibayar lunas oleh Diaz, tetapi dia membutuhkan surat menyuratnya. Ketika dia sampai di ruang administrasi, tidak terduga dia bertemu dengan Fahri di sana. Lelaki itu juga terkejut melihat Mutia ada di sana. "Mutiara? siapa yang sakit?" tanya lelaki itu dengan tatapan penuh selidik Lama tidak bertemu dengan Fahri membuat Mutia begitu canggung menghadapainya. wanita itu hanya tersenyum tipis dan menjawab pertanyaan lelaki itu apa adanya. "Nenek yang sakit, Mas. Tapi sudah mau keluar dari rumah sakit, ini ku sedang mengurus administrasinya, Mas Fahri sendiri, siapa yang sedang sakit?" "Fahri!" Belum Fahri menjawab pertanyaan Mutia, nama lelaki itu tiba-tiba dipanggil oleh seorang perempuan, Mutia menoleh ke arah sumber suara terl
Akhirnya Nurhidah dan Fahri mengikuti mutiara untuk mengunjungi nenek Rosida. Ketika mereka tahu bahwa nenek Rosida dirawat diruang VVIP yang begitu mewah, mereka cukup terkejut. Tetapi mereka juga akhirnya menyadari, dahulu nenek Rosida ini adalah orang kaya yang. suaminya memiliki banyak usaha dan juga aset, mungkin mereka masih menjadi orang kaya. Itulah sebabnya dahulu Nenek Rosida sering menolak Fahri karena mereka tidak sepadan, Fahri hanya pemuda biasa sedang Mutia anak orang kaya. Tetapi Mutia selalu menyakinkan jika dia sudah tidak punya orang tua dan tidak lagi menjadi orang yang mampu secara finansial, sehingga Fahri percaya diri mendekati dan memacarinya. "Nenek, aku bertemu dengan Bibi Nurhidah di dung administrasi dan mereka ingin menjenguk nenek," ujar Mutia setelah nenek Nurhidah terkejut melihat dia orang yang dulu menjadi tetangganya itu. "Nurhidah? ini kamu?" seru nenek Rosida."Iya, Bu. Ini Nurhidah? Bu Rosida apa kabar?" "Yah, beginilah, Nur. Aku baru saja saki
Selesai rapat, Diaz langsung kembali ke ruangannya. Dia langsung mengecek ponselnya, selama rapat dengan koleganya tadi, dia sengaja men-senyapkan ponselnya. ada beberapa panggilan tak terjawab dari Fadil, setelah itu sahabatnya itu meninggalkan pesan. Diaz segera membuka kotak pesan tersebut. [Nenek Mutia sudah boleh pulang sekarang. Katanya dia akan pulang ke kampung halamannya, jadi lebih baik besok saja check out dari rumah sakit, kalau dipaksa sekarang nanti kelelahan dan tidak bagus buat jantungnya. Kamu akan mengantar ke sana, kan?] [Ya. Terima kasih, ya] Centang satu, ternyata Fadil sedang berada di pesawat. Jadi tidak bisa mengaktifkan ponselnya. Diaz melihat jam di tangannya, sudah pukul satu siang, apakah Mutia berangkat kerja hari ini? Diaz tadi pagi saat sibuk, dia berangkat sangat pagi hingga tidak bertemu Mutia, hanya saling bertukar pesan saja. Jadi Diaz segera melakukan panggilan pada Mutia. baru beberapa kali berdering, Mutia langsung mengangkat panggilan tersebu
Mutia pulang tepat waktu, dia langsung pergi ke supermarket dan belanja oleh-oleh untuk dibawa ke Bogor. Di sekitar rumah nenek adalah rumah kerabat jauh nenek, sehingga dia tidak ingin mengabaikan hal besar yang kelihatannya kecil seperti ini. Pilihan Mutia adalah memasuki toko kue yang ada di mall. Toko ini menjual aneka cake yang sangat lezat. Mutia memilih beberapa cake keju, cake buah dan cake coklat. Dia membeli sekitar dua puluh box, Karen kata nenek, ada sekitar dua puluh kepala keluarga di sekitar rumah nenek. Mutia juga membeli lima buah cake lagi untuk keluarganya sendiri. Tidak disangka ternyata bawaannya sangat berat. Mutia menitipkan belanjaannya ini di toko tersebut karena dia akan mencari barang kain di mall tersebut. Ketika Mutia akan keluar toko kue, di pintu masuk seorang wanita masuk dengan tergesa-gesa dan menabrak tubuhnya hingga Mutia nyaris saja terjatuh, jika tidak ada kursi yang menyanggah tubuhnya. Wanita yang menabrak Mutia juga terpental ke pintu dan t
Mutia memesan taksi online dan meminta pelayan toko untuk membawa perasaannya ke dalam mobil, dia sudah memesan kue ulang tahun yang tidak terlalu besar, kue ulang tahun berwarna coklat karena memang diselimuti irisan coklat batang dan dihiasi buah Cherry dan strawberry di atasnya. Ada tulisan nama Diaz dan hari jadinya. Setalah sampai rumah, Mutia membungkus kado yang berupa pisau cukur itu, setalah menimang-nimang kado tersebut, perasaan kecil hati kembali menyusup di hatinya, akankah Diaz terkesan dengan hadiah ulang tahunnya? Hari sudah malam, Mutia kembali menghubungi Diaz, dia ingin memastikan jika laki-laki itu ingat makan malam, jangan sampai terlalu fokus berkerja hingga tidak memperhatikan diri sendiri. Pada panggilan pertama, lelaki itu tidak mengangkat panggilannya, Mutia kembali memanggil, terlihat tanda dering diatas ponselnya yang menandakan jika ponsel lelaki itu aktif. "Halo, Sayang!" Mutia menghela napas lega disaat terdengar suara lelaki itu dari sebarang s