"Pak Diaz, sekarang giliran anda," instruksi petugas lapangan itu. "Oh, oke!" Ketika Diaz sudah berancang-ancang memukul bola pertamanya, rombongan Sumargo sudah tiba lagi di teeing ground. Wajah sumringah lelaki itu benar-benar membuat semua pemain jatuh mentalnya, walaupun sudah berumur ternyata Sumargo benar-benar masih ahli. Postur tinggi Diaz yang memakai celana training hitam merk Adidas dan kaos abu-abu sangat terlihat begitu keren, topi golf yang dikenakannya juga bukan merek sembarangan, membuat penampilan lelaki itu terlihat mahal dari segala sisi. "Pak Sumargo, tadi itu pukulan yang sangat bagus sekali," puji Diaz dengan tulus pada kliennya ini. "Terimakasih, pak Diaz. saya juga tidak sabar melihat anda beraksi," ujar Sumargo dengan senyuman yang begitu lebar. "Jika saya bisa mengalahkan anda kali ini, saya ijin hanya main satu ronde saja. Saya cukup lelah akhir-akhir ini," kata Diaz sambil mengelap stiknya. "Oh, silahkan, tidak masalah!" Semua orang yang
"Kau tidak mengucapkan selamat pada kemenangan ku?" tanya Diaz Mutia hanya terbengong melihat senyum narsis lelaki di depannya. "Apa mas tadi menang?" Diaz yang mendengar perkataan itu mendadak berhenti melangkah, matanya menyipit menatap wanita di depannya dengan wajah muram. Rasanya kepalanya akan meledak saat itu juga. Perempuan ini, memang ... dia tidak bisa berkata-kata lagi. Apa dia meremehkan atau otaknya benar-benar jongkok sekali? "Em, maksudku ... apa hanya begitu saja menangnya? bukankah hanya memasukkan bola dari jarak dua jengkal itu mudah, di jentik pakai jari saja sudah bisa masuk, terus hebatnya dimana?" Hufff ... Mendnegar perkataan Mutia, Diaz serasa mau muntah. Apa dia benar-benar meremehkannya? hebatnya di mana katanya? benar-benar minta diberi pelajaran perempuan ini. Diaz tertawa sumbang melihat sikap Mutia yang merasa prestasinya itu tidak ada hebat-hebatnya. "Jadi menurutmu itu tidak hebat? jadi kau jauh lebih lebat begitu?!" "Aku belum pernah main g
"Duh, ternyata rumit ya, bermain golf itu. Kenapa para pengusaha dan orang kaya suka main golf, sih?" keluh Mutia."Kamu baru menyadari kalau permainan ini rumit? sebanarnya itu tidaklah rumit, kenapa ada pengusaha menyukai permainan ini? permainan ini ada filosofinya, sesuai dengan dunia usaha. pertama, lihat stik yang ada itu, banyak kan? nah, dunia usaha juga begitu, harus memiliki banyak alat dan cara, menghadapi setiap situasi itu berbeda cara, walaupun permasalahannya sama, memasukkan bola, tetapi kendala yang dihadapi itu berbeda, caranya juga berbeda harus pandai-pandai. yang kedua, bermain golf itu butuh kejujuran, ketika kita memukul bola, di manapun bola jatuh, kita akan memukul kembali jika tidak masuk lubang, hal itu dilarang curang dengan memindahkan bola, itu kesalahan fatal. makanya pengusaha butuh mitra yang berintegritas dan jujur, jika sudah curang sedikit saja bisa hancur kerjasama dan nggak bakal dipakai lagi selamanya. aih, kenapa aku musti repot-repot memberika
"Hu, dasar! kamu memang pintar bicara. Baiklah kalau begitu, kalau tidak bisa membawamu liburan. kita manfaatkan waktu yang sedikit ini, ayo ikut denganku." "Eh, mau kemana?"Diaz tidak peduli dengan teriakan Mutia, lelaki itu sudah menarik tangan wanita itu dengan kuat, sehingga mau tak mau dia mengikuti ke mana Diaz pergi. Fadil yang selalu mengikuti mereka layaknya seorang kameramen sebuah adegan film sudah resah dari tadi dipanas-panasi adegan romantis keduanya."Dasar pamer kau, Diaz!" gerutu lelaki itu. "Ingat, jaga jarak. Jangan sampai Mutia merasa kalau kamu selalu mengambil foto dan vidio kebersamaan kami!" tegas Diaz ketika menyuruh Fadil mengambil foto-foto mereka."Aduh, payah! aku ke sini mau main golf bukan ngintipin orang pacaran!" protes Fadil."Lakukan apa yang aku perintahkan, kalau kau tidak mau, akan kutarik dana investasi untuk membangun rumah sakitmu, paham?!""eh, jangan dong. Iya, iya! akan aku lakukan, anggap saja itu sebagai pertukaran bisnis."kalau sudah
Tasya sangat senang melihat Mutia datang. Acara family gathering di perusahaannya akan berlangsung satu hari lagi, Minggu siang mereka baru akan check out dari resort. Setelah mandi, Mutia memakai baju santai, celana jeans dan baju kaos oblong pendek warna putih bergambar salah satu destinasi wisata di Jawa barat, kaos yang dibelikan oleh Tasya ketika mereka jalan-jalan ke pasar tadi pagi. Tasya sengaja membeli dua buah memang, salah satunya akan diberikan pada Mutia untung Mutia datang. Sementara Tasya langsung menuju ke lokasi acara yang sedang berlangsung. "Kamu istirahat dulu ya, Mut. aku mau menuju ke lokasi gathering. Nanti sore kamu baru aku ajak." "Iya." Mutia juga ingin istirahat, rasanya sudah capek dari lapangan golf tadi. tapi sebelum tidur dia menelpon Walimar karena dia tidak bisa pulang bersama wanita itu malam ini, dia memang sudah bilang pada Walimar, tetapi ini untuk menegaskan kembali. "Jadi kamu nginap dengan temanmu itu, Mut?" "Iya, Mbak. ini saya sudah
Mutia mendongak mendengar suara lembut seorang wanita yang tengah menggoda anaknya, anak kecil yang baru berumur sekitar delapan bulan itu tergelak, dia terlonjak di gendongan seorang pria, dia Raid. "Wah, Bang Raid, anaknya sudah besar, ya? kapan nikahnya kok gak ngundang-ngundang?" seru Mutia yang langsung mengejutkan lelaki yang tengah menggendong anak itu. Raid menatap Mutia yang tengah tersenyum miring menatapnya, sementara Tasya yang berada di hadapan Mutia tampak acuh dengan pertanyaan temannya ini, seolah-olah Raid memang tidak dikenalnya sama sekali. "Eh, Mutia. Kenapa kamu ke sini?" tanya Raid dengan salah tingkah ditatap Mutia seperti itu. "Oh, ini menemani temanku, katanya dia mau dipromosikan menjadi kepala bagian, dia tidak ada pendamping, sengit teman yang baik tentu aku dengan senang hati jadi pendampingnya." "Apa? kata siapa Tasya akan dipromosikan? darimana kamu mendengarnya?" Mutia menatap Tasya, tetapi gadis yang dia tatap juga masih acuh tak acuh. "Oh, itu
Saat itu Tasya hanya mengangguk cuek. Tetapi wajahnya langsung berubah drastis saat pria yang membelakanginya menoleh ke arahnya. "KAMU?!" Ternyata suara itu bukan hanya keluar dari mulut Tasya, tetapi Fadil juga menemukan hal yang sama. Lelaki itu bahkan reflek berdiri, jarak Tasya dan Fadil yang tidak terlalu jauh sangat mudah bagi lelaki itu menjangkau Tasya. Sedangkan Diaz dan Mutia hanya melihat mereka dengan terbengong? jadi mereka saling kenal? "Ternyata kamu di sini? Aku sudah mencarimu ke mana-mana ternyata kamu di sini? Dengar, ya ... aku tidak akan melepaskan kamu lagi!" Dengan arogan Fadil langsung memanggul Tasya seperti seorang kuli memanggul beras. "Dasar lelaki gila! lepaskan aku!" teriak Tasya sambil memukul punggung belakang lelaki itu, memberontak agar dilepaskan. "He, Fadil?! Apa yang kau lakukan?!" tanya Diaz yang heran melihat temannya seagresif itu. "Diaz, aku pergi dulu! terima kasih sudah membawaku ke sini!" teriak Fadil tidak menghiraukan sekita
"Lepaskan!!" teriak Tasya ketika dia dimasukkan ke dalam mobil SUV yang dikendarai Fadil "Lepaskan? heh, ngimpi aja kamu. Bagaimana aku bisa melepaskan kamu? aku terus saja mencarimu ke mana-mana, eh tahunya kamu itu temannya Mutia, kalau tahu gitu sudah dari kemarin-kemarin aku ketemukan kamu." "Dasar lelaki gila! kamu akan membawaku ke mana?" ujar Tasya dengan wajah cemas "Ke mana saja, yang penting bisa mengurung kamu supaya tidak berkeliaran dan kabur lagi." "Apa?! ya, Allah ... mimpi apa aku bisa sial begini ketemu orang kayak kamu." "Astaga naga pak ogah! kamu ini yang perempuan aneh! biasanya perempuan itu kalau direnggut keperawanannya bakalan menuntut orang yang merenggutnya, ini aku sebagai lelaki ingin bertanggung jawab padaku eh, kamunya malah gak mau. situasi seperti ini itu biasanya yang dirugikan yang perempuan loh, sebagai lelaki aku sih gak rugi apa-apa, malah untung bisa mencicipi tubuh perawan kamu." Fadil nampak sedikit frustasi menghadapi sikap Tasya
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me