Kami langsung masuk ke dalam salon dan bertemu dengan Angela, wanita muda berparas cantik dengan dress selutut berwarna baby pink, ia terlihat begitu segar dengan gaya rambut baru, panjang sebahu berwarna cokelat keemasan dengan bagian bawah rambut di buat bergelombang, membuat tampilannya lebih segar. Angela adalah pemilik salon ini."Eh, Tante Maya, lama baru kesini lagi Tante!" sambutnya hangat."Iya, maklum biasalah sibuk, ini baru sempat," sahut Tante Maya."Ini juga nih, Putri, apa kabar? aduh iya deh iya yang sekarang makin sibuk urusan kantor sampai lupa perawatan kemari," ia merangkulku dan Tante Maya bergantian."Duduk dulu yuk duduk, sini. Tante apa kabar?" Angela mengajak kami duduk-duduk sebentar di sofa, kemudian memanggil salah seorang karyawatinya untuk segera memberikan pelayanan khusus untuk kami."Alhamdulillah baik, makin cantik aja nih kamu Angela.""Lho iya dong Tan, cantik itu harus biar suami di rumah juga anteng, nggak tengok sana sini cari yang seger- seger,"
Sengaja aku menutup pintu kamar mandi agak sedikit keras agar mereka tahu aku mendengar semuanya. Dasar orang-orang julid. Meskipun aku serumah dengan Raffi, bukan berarti aku setiap saat berduaan dengannya. Aku juga tahu diri sampai mana batasan antara kami, Raffi sibuk, aku pun sibuk, bahkan terkadang sampai berhari-hari aku tak berjumpa dengan dia. Terkadang aku berangkat ke kantor satu mobil dengan Om Hendrawan dan Raffi memilih untuk naik motornya.Mereka hanya melihat sepintas dengan kacamata miliknya, bukan dengan yang sebenarnya.Ingin rasanya aku melontarkan semua kata itu. Tapi apa daya. Aku memilih untuk segera menyelesaikan aktivitasku di kamar mandi kemudian segera kembali ke tempat dimana Tante Maya tadi duduk."Kok lama Put, ngantri ya?" tanya Tante Maya begitu aku kembali duduk disebelahnya."Ehm enggak kok Tante, agak mules aja tadi," sahutku nyengir."Oh, kamu ini ada-ada aja. Sekarang udah nggak kan?""Alhamdulillah udah nggak kok Tante.""Mari Bu Maya dan Mbak Putr
Aku tercengang mendengarkan ucapan Om Aksa. Apa maksudnya dia berkata demikian?"Jika Om Aksa telepon saya hanya untuk menjelek-jelekkan Om Hendrawan. Maaf semua itu tentu tidak mempan mempengaruhiku. Selamat malam!""Putri! Putri tunggu, sebentar, dengerkan Om bicara sebentar saja.""Ada apa lagi!""Putri dengar, Kau tahu Wijaya Grup sudah berdiri jauh sebelum ayahmu memimpin. Lebih tepatnya Kakek Wijaya yang telah merintisnya. Ya kuakui memang, saat perkembangannya, mengalami perkembangan pesat di saat kepemimpinan ayahmu. Aku akui ayahmu memang seorang pebisnis handal, kemampuannya membaca peluang sangat diacungi jempol. Tapi sekarang, apa kau yakin Hendrawan benar-benar tulus ingin membantumu untuk berdiri di kursi pimpinan perusahaan Wijaya grup? Hanya itu? Apa Kau tidak merasa janggal dengan semua yang dia lakukan? Mati-matian dia berusaha agar kau bisa masuk ke dalam Wijaya Grup. Apa Kau yakin tak ada udang dibalik batu?"Makin panjang lebar Om berbicara, makin membuatku muak.
"Iya. Kamu mah main langsung habiskan semuanya.""Ya mana Raffi tahu Ma.""Sudah nggak apa-apa kok Tan, Alhamdulillah 'kan kalau kemakan, asal nggak kebuang." Aku menyabut sambil berjalan menghampiri Tante Maya.Raffi hanya menggaruk kepala belakangnya."Maaf ya Put," ucapnya nyengir menatapku."Ya, nggak apa-apa."Aku kembali ke dapur. Kali ini entah kenapa aku tiba-tiba pengin makan risol. Jajanan yang biasa aku buat untuk di jual. Entah kenapa kesibukan di kantor membuatku kangen dengan kegiatan membuat kue seperti saat aku masih jualan kue."Mau masak apa lagi Put?" tanya Tante Maya melihatku mengambil mangkok dan menyendok tepung terigu."Pengin bikin risol Tante, kangen bikin-bikin kue kayak dulu," sahutku sambil nyengir."Oh, kamu ini ada-ada aja. Ya udah bikin, Tante bantuin ya. Tante juga suka lho jajanan pasar kayak gitu.""Eh nggak usah Tante, Malah repot. Udah Tante duduk manis, biar Putri yang bikin, bikin sedikit mah gampang, beda sama pas Putri jualan dulu, sampai satu
Wanita yang mengenakan mini dress berwarna merah dengan bahu terbuka menampakkan leher jenjang dan bahunya yang putih mulus. rambut panjang tergerai berwarna kecokelatan. Makeup tebal dengan lipstik merah menyala, netranya menatapku penuh kebencian."Siena cukup! Pergi dari sini, aku sudah muak dengan semua ocehan kamu!" ucap Raffi tegas."Kamu yang keterlaluan Raffi! Dan kamu, ya! Kamu! Tampilan aja yang sok alim, tapi ternyata kamu tak jauh beda dengan wanita murahan di luaran sana!"Wanita bernama Siena itu merangsek masuk ke dalam rumah, ia terus saja bicara sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Pelan ia berjalan mendekat ke arahku."Siena cukup!" Dengan cepat Raffi meraih lengannya dan menarik paksa wanita itu untuk keluar rumah. Tapi Siena yang sudah dikuasai emosi selalu bisa menepis tangan Raffi."Ada apa sih ribut-ribut!" ucap Tante Maya yang baru saja keluar dari kamarnya."Putri juga nggak tahu Tante," sahutku dengan menunjuk Siena dengan dagu."Siena!""Tante, Tante apa kabar?
"Putri! Put tunggu!" Raffi tergopoh menghampiriku yang baru saja memasuki ruang kerjaku. Bahkan satu tanganku masih menekan dada ini, menahan detak jantung yang masih berdentam keras.Aku tersenyum berusaha setenang mungkin menatap wajah Raffi yang terlihat sedikit panik."Hei, kau kenapa? Santai aja, aku paham kok," ucapku sambil tersenyum manis padanya. Padahal hatiku juga masih sangat syok antara tak enak dan juga merasa seperti ... Ada yang tercubit di dalam sini.Raffi malah melongo menatapku."Ekhem! Harusnya aku yang minta maaf. Maaf ya tadi aku main nyelonong aja masuk. Aku ganggu waktu kalian berdua," ucapku lagi masih kubuat sesantai mungkin."Put, ini nggak seperti yang kamu pikirkan." Raffi maju beberapa langkah, ia menatap serius ke arahku."Ehm, maaf. Ini, tadi aku cuma mau minta tandatangan ini." Aku menyodorkan satu buah file yang harus ia tandatangani.Namun ternyata Raffi justru menggeser file itu menjauh darinya. Lekat dan dalam tatapan netranya, membuatku kehilanga
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang tidak beres. Perasaanku mendadak tidak enak.Aku putuskan untuk kembali ke kantor. Baru saja aku tiba di kantor, aku sudah dihadapkan dengan dua orang yang sejak kemarin membuatku pusing. Ya, siapa lagi kalau bukan Raffi dan Siena.Mereka berjalan bersisian, dengan tangan Siena mengamit erat lengan Raffi. Aku yang masih berada di dalam mobil langsung berinisiatif untuk lewat pintu lain agar tak berpapasan dengan mereka. Entahlah malas saja rasanya bertemu mereka. Apalagi gayanya Siena yang sok posesif begitu membuatku mual.Aku bergegas turun dari mobil dan berjalan ke samping kantor. "Putri!" Mendadak langkahku terhenti mendengar seseorang memanggilku. Raffi.Aku berdecak kesal. Kenapa dia harus lihat aku lewat sih. "Tunggu Put!" Raffi berjalan cepat menghampiriku yang masih enggan membalikkan badan."Katanya mau ketemu temen? Kok cepet?"Dengan berat hati aku memutar tubuhku menghadapnya."Nggak jadi. Jadi aku balik lagi ke kantor." Aku m
Jam lima sore, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Om Aksa. Kali ini aku datang sendiri tak bersama Yanto dan Arman seperti biasanya.Karena Om Aksa tak menghendaki itu. Itu pilihan dan aku sudah memutuskan untuk datang sesuai dengan apa yang ia inginkan.Aku memesan taksi online sesaat setelah jam pulang kantor. Arman dan Yanto sudah lebih dulu aku perintahkan untuk membeli beberapa makanan ringan di minimarket tak jauh dari kantor.Ini memang nekat. Tapi untuk mengetahui sebuah informasi terkadang memang perlu masuk ke dalam markas musuh bukan? Raffi dan Om Hendrawan, seperti biasa tentu mereka mengira aku sudah pulang dulu, karena hari ini aku mengeluh tak enak badan.Sebuah rumah megah, dengan pagar berwarna keemasan mengelilingi hunian besar itu. Beberapa pilar besar menjulang tinggi seolah menyambut siapapun yang datang bertandang kemari."Akhirnya kau datang juga Putri." Suara kekehan khas Om Aksa menyambutku ketika kaki ini memasuki gerbang rumahnya. Beliau seperti sudah menu