"Putri! Put tunggu!" Raffi tergopoh menghampiriku yang baru saja memasuki ruang kerjaku. Bahkan satu tanganku masih menekan dada ini, menahan detak jantung yang masih berdentam keras.Aku tersenyum berusaha setenang mungkin menatap wajah Raffi yang terlihat sedikit panik."Hei, kau kenapa? Santai aja, aku paham kok," ucapku sambil tersenyum manis padanya. Padahal hatiku juga masih sangat syok antara tak enak dan juga merasa seperti ... Ada yang tercubit di dalam sini.Raffi malah melongo menatapku."Ekhem! Harusnya aku yang minta maaf. Maaf ya tadi aku main nyelonong aja masuk. Aku ganggu waktu kalian berdua," ucapku lagi masih kubuat sesantai mungkin."Put, ini nggak seperti yang kamu pikirkan." Raffi maju beberapa langkah, ia menatap serius ke arahku."Ehm, maaf. Ini, tadi aku cuma mau minta tandatangan ini." Aku menyodorkan satu buah file yang harus ia tandatangani.Namun ternyata Raffi justru menggeser file itu menjauh darinya. Lekat dan dalam tatapan netranya, membuatku kehilanga
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang tidak beres. Perasaanku mendadak tidak enak.Aku putuskan untuk kembali ke kantor. Baru saja aku tiba di kantor, aku sudah dihadapkan dengan dua orang yang sejak kemarin membuatku pusing. Ya, siapa lagi kalau bukan Raffi dan Siena.Mereka berjalan bersisian, dengan tangan Siena mengamit erat lengan Raffi. Aku yang masih berada di dalam mobil langsung berinisiatif untuk lewat pintu lain agar tak berpapasan dengan mereka. Entahlah malas saja rasanya bertemu mereka. Apalagi gayanya Siena yang sok posesif begitu membuatku mual.Aku bergegas turun dari mobil dan berjalan ke samping kantor. "Putri!" Mendadak langkahku terhenti mendengar seseorang memanggilku. Raffi.Aku berdecak kesal. Kenapa dia harus lihat aku lewat sih. "Tunggu Put!" Raffi berjalan cepat menghampiriku yang masih enggan membalikkan badan."Katanya mau ketemu temen? Kok cepet?"Dengan berat hati aku memutar tubuhku menghadapnya."Nggak jadi. Jadi aku balik lagi ke kantor." Aku m
Jam lima sore, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Om Aksa. Kali ini aku datang sendiri tak bersama Yanto dan Arman seperti biasanya.Karena Om Aksa tak menghendaki itu. Itu pilihan dan aku sudah memutuskan untuk datang sesuai dengan apa yang ia inginkan.Aku memesan taksi online sesaat setelah jam pulang kantor. Arman dan Yanto sudah lebih dulu aku perintahkan untuk membeli beberapa makanan ringan di minimarket tak jauh dari kantor.Ini memang nekat. Tapi untuk mengetahui sebuah informasi terkadang memang perlu masuk ke dalam markas musuh bukan? Raffi dan Om Hendrawan, seperti biasa tentu mereka mengira aku sudah pulang dulu, karena hari ini aku mengeluh tak enak badan.Sebuah rumah megah, dengan pagar berwarna keemasan mengelilingi hunian besar itu. Beberapa pilar besar menjulang tinggi seolah menyambut siapapun yang datang bertandang kemari."Akhirnya kau datang juga Putri." Suara kekehan khas Om Aksa menyambutku ketika kaki ini memasuki gerbang rumahnya. Beliau seperti sudah menu
Aku menatap nanar lelaki tua yang tampak begitu nelangsa. Aku paham, walau semua ambisinya tercapai aku yakin hati kecilnya miris.Namun tetap saja, apapun alasannya, semua perlakuannya itu tidaklah benar. Om Aksa bisa di tindak pidana atas dasar pembunuhan berencana."Sekarang Kau paham kan, bagaimana perasaanku! Kau datang seolah menguak semuanya yang telah lalu. Tentu aku tak kan membiarkan semua itu terjadi."Aku membuang pandangan keluar rumah. "Tak kusangka ternyata ada orang di dunia ini sejahat Anda! Yang tega menyingkirkan seorang kakak hanya demi ambisimu itu!" sentakku tajam.Kembali suara tawa yang tadi sempat lenyap, itu terdengar."Ya. Aku memang jahat. Kau mau apa? Kau hanya bocah ingusan, yang baru kemarin sore terjun dalam bisnis. Lalu dengan bangganya Kau akan menggeserku! Tentu itu tidak akan mungkin terjadi! Lupakan semua itu. Lupakan rencana Hendrawan yang konyol itu! Karena aku sendiri yang akan melenyapkanmu di sini!" Derai tawanya menggelegar.Tapi aku tak gen
Aku merebahkan tubuhku di pembaringan, rasa lelah membelenggu jiwa. Namun kali ini berbeda, seperti ada sebongkahan beban yang terangkat. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Semoga dengan mendekam di jeruji besi, baik Om Aksa maupun Rendra mereka bisa menyadari kesalahan. Sadar akan perbuatannya. Meski kejadian itu sudah berlalu berpuluh tahun yang lalu, namun keadilan tetap harus ditegakkanOm Aksa di jatuhi pasal berlapis, pasal pembunuhan berencana atas kematian Bapak dan juga pasal penyekapan serta ancaman yang ia lakukan kemarin sore.Sedangkan Rendra di jatuhi pasal penyekapan dan penculikan Pasal 333 KUHP Tentang Penyekapan dan Penculikan.Keduany,a ayah dan anak itu harus menerima hukuman yang lumayan lama mendekam di balik jeruji besi. Terlebih Om Aksa. Sungguh sayang sekali di usia yang seharusnya beliau hidup dengan tenang dan damai menikmati waktu memasuki waktu senja, kini harus beliau habiskan di balik jeruji besi."Semoga Kau tenang di sana Pak
Arman dan Yanto memasukkan semua barang dan koperku ke dalam mobil. Tak lupa semua buku yang masih kuperlukan juga semua aku masukkan ke dalam kardus untuk diangkut ke rumah baruku.Rumah bergaya minimalis tak jauh dari sini, yang semua surat dan kepemilikannya atas namaku sendiri. Om Hendrawan memberikan sebagai bonus dari perusahaan untukku.Sore hari nanti baru kami semua akan berkumpul di rumah baruku itu untuk makan bersama sekaligus syukuran atas semua yang sudah kulalui. Tak lupa seratus pcs nasi kotak siap untuk dibagikan kepada para tetangga sebagai tanda aku sudah menempati rumah ini, sekaligus sebagai bentuk bersosialisasi kepada para tetangga sekitar.Ya, aku memutuskan untuk pindah dari rumah Om Hendrawan dengan Bik Jum ikut serta denganku. Rumah bercat putih dengan daun pintu berwarna cokelat tua kehitaman. Gaya minimalis modern, pagar rumah bernuansa kayu dengan sebuah taman kecil di sudut halaman depan rumah. Rumah satu lantai dengan tiga kamar tidur. Kamar tidur uta
Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sedang menuju rumah Intan. Alunan musik dari grup band terkenal asal Jogja yang berjudul kisah klasik, mengalun merdu dengan iringan musik akustik.Hingga hampir satu jam perjalanan yang kutempuh kini aku telah sampai di depan rumah Intan. Semuanya masih sama seperti saat terakhir kali aku kesini. Hanya saja tanaman di depan rumahnya seperti tak terawat, juga sampah daun-daun kering yang berjatuhan berserakan. Ini tak seperti biasanya. Karena biasanya Bik Mirna begitu rajin membersihkan halaman rumah setiap hari.Aku mulai turun dari mobil, melangkah pelan mendekati pagar hitam itu.Terkunci. Tapi bukankah memang pagar rumah Intan selalu terkunci, meski Intan berada di dalam rumah sekalipun. Ia baru akan membukanya jika ada tamu datang, keluar masuk rumah, setelah itu dia ataupun Bik Mirna kembali menguncinya."Assalamu'alaikum Intan!" seruku seraya mengetukkan gembok yang tergantung pada tepian pagar, sehingga menimbulkan bunyi nyaring."Intan
POV Adrian."Mas Adrian," ucap perempuan itu. Ia terlihat begitu anggun dengan setelan baju berwarna ungu motif bunga-bunga kecil. Hijab pasmina instan berwarna hitam makin menambah elegan penampilannya.Anisa yang kulihat saat ini sungguh, berbeda. Cantik. Satu kata yang tepat untuk dia. Ia turun dengan anggun dari mobil, sepatu santai yang ia kenakan pun jelas terlihat berkelas, tas handbag buluk yang dulu selalu ia bawa kemana-mana saat masih bersamaku, kini telah berganti dengan tas mahal dan bermerk.Wajahnya begitu bersih, putih, terawat, bibir ranum berwarna pink, begitu membuatnya terlihat segar dan elegan. Saat tersenyum menampilkan gigi gingsulnya, senyum khasnya itu makin menambah kadar kecantikannya. Beberapa saat aku menatapnya tanpa mampu berkedip. Anisa kini benar-benar berubah, dia begitu cantik mirip seperti artis Irish Bella.Satu tahun lebih tak ada kabar beritanya, bahkan Mama Ranti sendiri tak tahu kabarnya Anisa. Sampai Mama Ranti rela mencarinya kemana-mana ta