Aku menatap nanar lelaki tua yang tampak begitu nelangsa. Aku paham, walau semua ambisinya tercapai aku yakin hati kecilnya miris.Namun tetap saja, apapun alasannya, semua perlakuannya itu tidaklah benar. Om Aksa bisa di tindak pidana atas dasar pembunuhan berencana."Sekarang Kau paham kan, bagaimana perasaanku! Kau datang seolah menguak semuanya yang telah lalu. Tentu aku tak kan membiarkan semua itu terjadi."Aku membuang pandangan keluar rumah. "Tak kusangka ternyata ada orang di dunia ini sejahat Anda! Yang tega menyingkirkan seorang kakak hanya demi ambisimu itu!" sentakku tajam.Kembali suara tawa yang tadi sempat lenyap, itu terdengar."Ya. Aku memang jahat. Kau mau apa? Kau hanya bocah ingusan, yang baru kemarin sore terjun dalam bisnis. Lalu dengan bangganya Kau akan menggeserku! Tentu itu tidak akan mungkin terjadi! Lupakan semua itu. Lupakan rencana Hendrawan yang konyol itu! Karena aku sendiri yang akan melenyapkanmu di sini!" Derai tawanya menggelegar.Tapi aku tak gen
Aku merebahkan tubuhku di pembaringan, rasa lelah membelenggu jiwa. Namun kali ini berbeda, seperti ada sebongkahan beban yang terangkat. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Semoga dengan mendekam di jeruji besi, baik Om Aksa maupun Rendra mereka bisa menyadari kesalahan. Sadar akan perbuatannya. Meski kejadian itu sudah berlalu berpuluh tahun yang lalu, namun keadilan tetap harus ditegakkanOm Aksa di jatuhi pasal berlapis, pasal pembunuhan berencana atas kematian Bapak dan juga pasal penyekapan serta ancaman yang ia lakukan kemarin sore.Sedangkan Rendra di jatuhi pasal penyekapan dan penculikan Pasal 333 KUHP Tentang Penyekapan dan Penculikan.Keduany,a ayah dan anak itu harus menerima hukuman yang lumayan lama mendekam di balik jeruji besi. Terlebih Om Aksa. Sungguh sayang sekali di usia yang seharusnya beliau hidup dengan tenang dan damai menikmati waktu memasuki waktu senja, kini harus beliau habiskan di balik jeruji besi."Semoga Kau tenang di sana Pak
Arman dan Yanto memasukkan semua barang dan koperku ke dalam mobil. Tak lupa semua buku yang masih kuperlukan juga semua aku masukkan ke dalam kardus untuk diangkut ke rumah baruku.Rumah bergaya minimalis tak jauh dari sini, yang semua surat dan kepemilikannya atas namaku sendiri. Om Hendrawan memberikan sebagai bonus dari perusahaan untukku.Sore hari nanti baru kami semua akan berkumpul di rumah baruku itu untuk makan bersama sekaligus syukuran atas semua yang sudah kulalui. Tak lupa seratus pcs nasi kotak siap untuk dibagikan kepada para tetangga sebagai tanda aku sudah menempati rumah ini, sekaligus sebagai bentuk bersosialisasi kepada para tetangga sekitar.Ya, aku memutuskan untuk pindah dari rumah Om Hendrawan dengan Bik Jum ikut serta denganku. Rumah bercat putih dengan daun pintu berwarna cokelat tua kehitaman. Gaya minimalis modern, pagar rumah bernuansa kayu dengan sebuah taman kecil di sudut halaman depan rumah. Rumah satu lantai dengan tiga kamar tidur. Kamar tidur uta
Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sedang menuju rumah Intan. Alunan musik dari grup band terkenal asal Jogja yang berjudul kisah klasik, mengalun merdu dengan iringan musik akustik.Hingga hampir satu jam perjalanan yang kutempuh kini aku telah sampai di depan rumah Intan. Semuanya masih sama seperti saat terakhir kali aku kesini. Hanya saja tanaman di depan rumahnya seperti tak terawat, juga sampah daun-daun kering yang berjatuhan berserakan. Ini tak seperti biasanya. Karena biasanya Bik Mirna begitu rajin membersihkan halaman rumah setiap hari.Aku mulai turun dari mobil, melangkah pelan mendekati pagar hitam itu.Terkunci. Tapi bukankah memang pagar rumah Intan selalu terkunci, meski Intan berada di dalam rumah sekalipun. Ia baru akan membukanya jika ada tamu datang, keluar masuk rumah, setelah itu dia ataupun Bik Mirna kembali menguncinya."Assalamu'alaikum Intan!" seruku seraya mengetukkan gembok yang tergantung pada tepian pagar, sehingga menimbulkan bunyi nyaring."Intan
POV Adrian."Mas Adrian," ucap perempuan itu. Ia terlihat begitu anggun dengan setelan baju berwarna ungu motif bunga-bunga kecil. Hijab pasmina instan berwarna hitam makin menambah elegan penampilannya.Anisa yang kulihat saat ini sungguh, berbeda. Cantik. Satu kata yang tepat untuk dia. Ia turun dengan anggun dari mobil, sepatu santai yang ia kenakan pun jelas terlihat berkelas, tas handbag buluk yang dulu selalu ia bawa kemana-mana saat masih bersamaku, kini telah berganti dengan tas mahal dan bermerk.Wajahnya begitu bersih, putih, terawat, bibir ranum berwarna pink, begitu membuatnya terlihat segar dan elegan. Saat tersenyum menampilkan gigi gingsulnya, senyum khasnya itu makin menambah kadar kecantikannya. Beberapa saat aku menatapnya tanpa mampu berkedip. Anisa kini benar-benar berubah, dia begitu cantik mirip seperti artis Irish Bella.Satu tahun lebih tak ada kabar beritanya, bahkan Mama Ranti sendiri tak tahu kabarnya Anisa. Sampai Mama Ranti rela mencarinya kemana-mana ta
Aku mengangguk tersenyum, masih terus menatap wanita itu melenggang masuk ke dalam minimarket.Apa mungkin selama Anisa tak kabar ia bekerja di luar negeri mengadu nasib ke negara orang, jadi TKW misalnya, hingga ia sekarang pulang kembali ke Indonesia, ia berhasil mengubah nasib. Menjadi orang kaya.Anisa.Setelah proses perceraianku dengan Anisa selesai, dari sana lah titik balik kehidupanku. Satu setengah tahun lalu.Aku terkena pemutusan hubungan kerja. Bekerja serabutan apapun itu aku lakukan selagi bisa menghasilkan uang untuk menyambung hidup. Belum lagi hutang pada Pak Wahyu makin menumpuk. Aku sudah tak tahu lagi bagaimana caranya untuk melunasi semuanya.Waktu itu aku hanya sebagai kuli bangunan, yang gaji mingguan tak lebih dari tujuh ratus ribu per Minggu.Belum lagi aku masih harus mendengar ocehan Vivi setiap hari.Hingga di hari itu puncaknya aku menyerah. Sudah hampir tiga bulan aku tak mampu membayar cicilan hutangku yang makin menggunung. Bayangkan saja, dari pinjama
"Darimana kamu?" tanyaku pada Vivi yang baru saja memasuki rumah. Sedari tadi aku duduk terdiam di sofa ruang tamu ini, Ibu mengunci diri di dalam kamar usai pertengkaran hebat tadi. Aku yakin kini ibu sangat terpukul."Mas, kamu udah pulang? Kan baru jam segini, kok udah pulang.""Jawab pertanyaanku, kamu darimana?!" sentakku.Wanita yang kini perutnya membuncit itu pun terperangah."Tadi kamu jalan kaki? Darimana?" Aku sedikit menurunkan nada bicaraku, bagaimanapun juga Vivi sedang mengandung anakku, tidak seharusnya aku membentaknya, walau sebenarnya pikiranku sedang kacau balau, karena banyak masalah. Terkadang jika sedang kalut begini emosiku pun gampang tersulut."Ehm, aku dari rumah Mama tadi. Kamu kenapa jam segini udah pulang?" Ia balik bertanya."Tadi Ibu telepon aku suruh pulang. Jadi aku pulang cepat.""Ibu nyuruh pulang cepat? Kenapa?" Vivi mendaratkan bobotnya di sampingku."Ada dua orang laki-laki anak buah Pak Wahyu hendak menyita rumah ini."Lagi Vivi terperangah me
"Cukup! Cukup Adrian! Dania!" teriak Ibu yang secara tiba-tiba membuka pintu kamarnya dan menatap nyalang ke arah kami berdua."Ibu!" ucapku hampir bersamaan dengan Dania.Aku dan Dania menatap wajah ibu yang memucat."Apa dengan kalian bertengkar seperti ini masalahnya akan selesai!"Aku diam menunduk. Seketika merasa bersalah atas semua yang terjadi. Wajar jika Dania semarah ini padaku. Sebagai kakak bukannya memberi perlindungan, justru aku menyengsarakan."Kamu juga Adrian, Ibu nggak mau tahu, dalam waktu seminggu ini kamu harus cari uang, entah darimana kamu dapatkan uang, ibu nggak peduli! Ibu nggak mau sampai rumah ini diambil mereka. Kamu harus tanggung jawab!"tegasnya. Meski netranya masih terlihat sembab."I–Iya Bu. Iyan akan berusaha bagaimanapun caranya agar rumah ini tak sampai di sita.""Ibu! Ibu nggak apa-apa?" tanya Dania.Ibu terlihat sangat pucat."Ibu nggak apa-apa. Ibu hanya syok atas ulah kakakmu ini. Dia sama saja pencuri. Mengambil sertifikat rumah ini tanpa se