Pias. Bahkan Rendra juga Om Aksa tak mampu berkata banyak. Ia menyimak sebuah surat perjanjian yang pernah di tandatanganinya dulu sewaktu mendiang Bapak masih berdiri di sini.Kini Om Hendrawan membuka kembali map berisi perjanjian itu. Selama ini memang Om Hendrawan lah yang menjaga semuanya, sampai hari ini tiba. Ya, hari dimana keturunan Hadiwijaya hadir di sini dan mengambil alih semuanya.Aku duduk diam menyimak semuanya, tampak beberapa orang peserta rapat mengangguk paham dengan semua penjelasan Om Hendrawan yang dengan detail dan gamblang menjelaskan semuanya. Benar apa yang dikatakan Om Hendrawan kemarin lalu, Om Aksa dan Rendra tak bisa berkutik, bahkan sepertinya mereka tak menyangka aku akan hadir dan berdiri di sini sebagai salah satu peserta rapat. Mungkin mereka kira Putri wanita udik dari kampung ini tak akan bisa mengerti apa-apa soal perusahaan dan juga bisnis. Mereka salah. Mereka lengah. Selama berbulan-bulan aku dalam penjagaan Om Hendrawan. Selama hampir satu
"Heh! Kau baru anak kemarin sore! Jadi jangan sok!" sentak Om Aksa mendengar ucapanku.Aku hanya membuang pandangan mendengar kata-kata Om Aksa.Pertemuan dengan Om Aksa tak membuahkan hasil."Kalau dengan cara baik-baik Aksa tak mau. Maka tak ada cara lain, paling lambat akhir bulan depan, kita akan datang dan mengambil alih semuanya," ucap Om Hendrawan ketika kami berada di mobil menuju kantor.Aku mengangguk paham.Hening, tak ada obrolan yang berarti di dalam mobil, hingga suara dering ponsel Om Hendrawan memecah keheningan."Ya, Mahesa. Bagaimana?""....""Oke segera selesaikan saya tak mau menunggu lebih lama lagi." Om Hendrawan berkata dengan lawan bicaranya di telepon.Sesampai di kantor aku sudah di suguhkan segudang pekerjaan. Tumpukan file yang harus diselesaikan, belum lagi ketemu dengan beberapa klien dari perusahaan vendor sore ini.Tetap semangat Nisa! terkadang aku tertawa sendiri melihat keadaanku sekarang, tak pernah aku bermimpi menjadi wanita karir dengan pekerjaan
Kami langsung masuk ke dalam salon dan bertemu dengan Angela, wanita muda berparas cantik dengan dress selutut berwarna baby pink, ia terlihat begitu segar dengan gaya rambut baru, panjang sebahu berwarna cokelat keemasan dengan bagian bawah rambut di buat bergelombang, membuat tampilannya lebih segar. Angela adalah pemilik salon ini."Eh, Tante Maya, lama baru kesini lagi Tante!" sambutnya hangat."Iya, maklum biasalah sibuk, ini baru sempat," sahut Tante Maya."Ini juga nih, Putri, apa kabar? aduh iya deh iya yang sekarang makin sibuk urusan kantor sampai lupa perawatan kemari," ia merangkulku dan Tante Maya bergantian."Duduk dulu yuk duduk, sini. Tante apa kabar?" Angela mengajak kami duduk-duduk sebentar di sofa, kemudian memanggil salah seorang karyawatinya untuk segera memberikan pelayanan khusus untuk kami."Alhamdulillah baik, makin cantik aja nih kamu Angela.""Lho iya dong Tan, cantik itu harus biar suami di rumah juga anteng, nggak tengok sana sini cari yang seger- seger,"
Sengaja aku menutup pintu kamar mandi agak sedikit keras agar mereka tahu aku mendengar semuanya. Dasar orang-orang julid. Meskipun aku serumah dengan Raffi, bukan berarti aku setiap saat berduaan dengannya. Aku juga tahu diri sampai mana batasan antara kami, Raffi sibuk, aku pun sibuk, bahkan terkadang sampai berhari-hari aku tak berjumpa dengan dia. Terkadang aku berangkat ke kantor satu mobil dengan Om Hendrawan dan Raffi memilih untuk naik motornya.Mereka hanya melihat sepintas dengan kacamata miliknya, bukan dengan yang sebenarnya.Ingin rasanya aku melontarkan semua kata itu. Tapi apa daya. Aku memilih untuk segera menyelesaikan aktivitasku di kamar mandi kemudian segera kembali ke tempat dimana Tante Maya tadi duduk."Kok lama Put, ngantri ya?" tanya Tante Maya begitu aku kembali duduk disebelahnya."Ehm enggak kok Tante, agak mules aja tadi," sahutku nyengir."Oh, kamu ini ada-ada aja. Sekarang udah nggak kan?""Alhamdulillah udah nggak kok Tante.""Mari Bu Maya dan Mbak Putr
Aku tercengang mendengarkan ucapan Om Aksa. Apa maksudnya dia berkata demikian?"Jika Om Aksa telepon saya hanya untuk menjelek-jelekkan Om Hendrawan. Maaf semua itu tentu tidak mempan mempengaruhiku. Selamat malam!""Putri! Putri tunggu, sebentar, dengerkan Om bicara sebentar saja.""Ada apa lagi!""Putri dengar, Kau tahu Wijaya Grup sudah berdiri jauh sebelum ayahmu memimpin. Lebih tepatnya Kakek Wijaya yang telah merintisnya. Ya kuakui memang, saat perkembangannya, mengalami perkembangan pesat di saat kepemimpinan ayahmu. Aku akui ayahmu memang seorang pebisnis handal, kemampuannya membaca peluang sangat diacungi jempol. Tapi sekarang, apa kau yakin Hendrawan benar-benar tulus ingin membantumu untuk berdiri di kursi pimpinan perusahaan Wijaya grup? Hanya itu? Apa Kau tidak merasa janggal dengan semua yang dia lakukan? Mati-matian dia berusaha agar kau bisa masuk ke dalam Wijaya Grup. Apa Kau yakin tak ada udang dibalik batu?"Makin panjang lebar Om berbicara, makin membuatku muak.
"Iya. Kamu mah main langsung habiskan semuanya.""Ya mana Raffi tahu Ma.""Sudah nggak apa-apa kok Tan, Alhamdulillah 'kan kalau kemakan, asal nggak kebuang." Aku menyabut sambil berjalan menghampiri Tante Maya.Raffi hanya menggaruk kepala belakangnya."Maaf ya Put," ucapnya nyengir menatapku."Ya, nggak apa-apa."Aku kembali ke dapur. Kali ini entah kenapa aku tiba-tiba pengin makan risol. Jajanan yang biasa aku buat untuk di jual. Entah kenapa kesibukan di kantor membuatku kangen dengan kegiatan membuat kue seperti saat aku masih jualan kue."Mau masak apa lagi Put?" tanya Tante Maya melihatku mengambil mangkok dan menyendok tepung terigu."Pengin bikin risol Tante, kangen bikin-bikin kue kayak dulu," sahutku sambil nyengir."Oh, kamu ini ada-ada aja. Ya udah bikin, Tante bantuin ya. Tante juga suka lho jajanan pasar kayak gitu.""Eh nggak usah Tante, Malah repot. Udah Tante duduk manis, biar Putri yang bikin, bikin sedikit mah gampang, beda sama pas Putri jualan dulu, sampai satu
Wanita yang mengenakan mini dress berwarna merah dengan bahu terbuka menampakkan leher jenjang dan bahunya yang putih mulus. rambut panjang tergerai berwarna kecokelatan. Makeup tebal dengan lipstik merah menyala, netranya menatapku penuh kebencian."Siena cukup! Pergi dari sini, aku sudah muak dengan semua ocehan kamu!" ucap Raffi tegas."Kamu yang keterlaluan Raffi! Dan kamu, ya! Kamu! Tampilan aja yang sok alim, tapi ternyata kamu tak jauh beda dengan wanita murahan di luaran sana!"Wanita bernama Siena itu merangsek masuk ke dalam rumah, ia terus saja bicara sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Pelan ia berjalan mendekat ke arahku."Siena cukup!" Dengan cepat Raffi meraih lengannya dan menarik paksa wanita itu untuk keluar rumah. Tapi Siena yang sudah dikuasai emosi selalu bisa menepis tangan Raffi."Ada apa sih ribut-ribut!" ucap Tante Maya yang baru saja keluar dari kamarnya."Putri juga nggak tahu Tante," sahutku dengan menunjuk Siena dengan dagu."Siena!""Tante, Tante apa kabar?
"Putri! Put tunggu!" Raffi tergopoh menghampiriku yang baru saja memasuki ruang kerjaku. Bahkan satu tanganku masih menekan dada ini, menahan detak jantung yang masih berdentam keras.Aku tersenyum berusaha setenang mungkin menatap wajah Raffi yang terlihat sedikit panik."Hei, kau kenapa? Santai aja, aku paham kok," ucapku sambil tersenyum manis padanya. Padahal hatiku juga masih sangat syok antara tak enak dan juga merasa seperti ... Ada yang tercubit di dalam sini.Raffi malah melongo menatapku."Ekhem! Harusnya aku yang minta maaf. Maaf ya tadi aku main nyelonong aja masuk. Aku ganggu waktu kalian berdua," ucapku lagi masih kubuat sesantai mungkin."Put, ini nggak seperti yang kamu pikirkan." Raffi maju beberapa langkah, ia menatap serius ke arahku."Ehm, maaf. Ini, tadi aku cuma mau minta tandatangan ini." Aku menyodorkan satu buah file yang harus ia tandatangani.Namun ternyata Raffi justru menggeser file itu menjauh darinya. Lekat dan dalam tatapan netranya, membuatku kehilanga