"Buka kain di mulutnya itu." Aku mengerejap mendengar suara laki-laki berbicara pada dua laki-laki yang membekapku.Suaranya datar. Laki-laki itu mengenakan kemeja hitam, rambut tertata rapi klimis. Hidungnya mancung, kulitnya putih, dengan garis wajah tegas, tatapannya dingin memindai diri ini.Menatap laki-laki itu, aku bisa menyimpulkan sepertinya dia bukan orang sembarangan, tapi apa maksudnya dia menculikku di sini?Laki-laki berambut gondrong itu membuka dengan kasar kain berwarna merah yang sedari tadi mengunci mulutku.Jilbab yang membalut kepalaku sudah tak ada di tempatnya entah kemana, kini rambutku tergerai berantakan. Sungguh kini aku merasa seperti dikuliti hidup-hidup.Aku bernapas lega ketika kain merah itu telah terlepas dari mulutku. Rasa pegal diarea pipi dan mulutku sedikit terobati."Halo Putri, Kau sudah besar rupanya? Apa Kau mengenaliku?"Aku tercengang orang itu menyebutku Putri, nama kecilku.Laki-laki itu mendekat, semakin dekat hanya beberapa senti jarak an
"Putri! Ssstt, Put!"Aku menoleh ke samping. Samar-samar aku bisa melihat siluet laki-laki itu, tengah mengatupkan jari telunjuknya di bibirnya. Tanda agar aku diam tak bersuara. Bersamaan dengan itu salah seorang preman bayaran itu terbangun dari tidurnya, Menatap sekeliling, juga menatap lekat ke arahku."Heh! Awas saja jika kau coba-coba untuk kabur!" sentaknya. Aku pura-pura lemas, gaya seperti orang baru bangun tidur."Hem apa? Kabur? Jika aku bisa kabur, tentu sudah sejak tadi aku kabur saat kau tidur," sungutku."Ya! Baguslah. Jangan macam-macam kalau kau masih ingin hidup!"Aku hanya melengos mendengar ucapannya itu.Laki-laki itu kembali merebahkan tubuhku di atas meja yang dijejer jadi mirip seperti dipan. Kembali aku menoleh kearah tiang beton penyangga gedung tua ini. Tak ada. Laki-laki yang tadi bersembunyi di sana kini tak ada. Kemana dia?Apakah dia seorang yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkanku dari sini? Atau dia juga sama jahatnya dengan Bos besar itu?Aku menole
Hening. Hanya suara langkah laki-laki itu yang tengah mencari keberadaanku dan Raffi."Dimana Kau perempuan sialan! Shit! Merepotkan saja!" Laki-laki itu terus saja mengumpat sambil melangkah.Sedikit saja aku bergerak dan menimbulkan bunyi, habislah sudah. Aku dan Raffi hanya saling pandang, seolah saling menguatkan.Ceklek! Bunyi pintu terbuka, di iringi langkah kaki seseorang yang baru saja masuk ke ruangan ini."Met!" panggilnya. Memanggil laki-laki bertubuh tambun yang tengah mencariku. Itu pasti laki-laki berambut gondrong yang tadi ijin keluar membeli makanan."Met! Sedang apa Lu! Mana wanita itu?!" tanyanya. Dari nada suaranya ia seperti terkejut mendapati kawannya yang tengah berjalan seperti mencari sesuatu.Langkah pria bertubuh tambun itu sontak terhenti. Sedikit lagi ia melangkah, aku dan Raffi tertangkap karena posisi kami buntu sebelah kanan tembok. Aku dan Raffi menghela napas. Pasukan oksigen seakan masuk ke rongga dada bersamaan. Lega."Dia–dia kabur Jul.""Apa?!" t
Kami berjongkok di semak belukar. Kedua preman bayaran itu keduanya mendekat.Raffi menoleh ke belakang, tatapannya seolah memberi kode untuk beringsut mundur dimana ada pohon kelapa dibelakang kami. Raffi mengatupkan jari telunjuknya di bibirnya, tanda untuk aku diam.Pelan dia meraih batu yang kebetulan ada di dekat kami berjongkok. Pelan ia berdiri terhalang oleh pohon kelapa yang mampu menutupi satu orang tubuh manusia itu.Secepat mungkin ia lempar batu itu sejauh mungkin, hingga menimbulkan bunyi 'blugh!' suara benda terjatuh dari ketinggian, di kejauhan sana. Sontak suara itu tentu menarik perhatian kedua preman bayaran yang keduanya tengah berjalan mendekat."Ssst! Di sana!" Salah satu dari mereka bersuara lalu setengah berlari menuju ke asal sumber suara benda jatuh itu. Disusul satu orang lainnya.Aku paham sekarang, yang Raffi lakukan tadi adalah untuk mengalihkan perhatian. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, seperti ada air hujan yang mengguyur tubuhku
Netraku mengerejap, menyapu pandangan ke sekitar ruangan. Kini aku berada di dalam kamar, jendela berteralis, tempat tidur dan kasur berukuran sedang beralaskan seprei warna putih bersih.Ya Tuhan aku dimana ini.Satu jam lalu, ketika aku menyadari laki-laki tukang ojek yang kutumpangi itu tak lain adalah juga orang suruhan laki-laki biadab itu.Ketika di pertigaan itu, motor berbelok ke arah kiri, aku baru menyadari semuanya."Kita mau kemana Pak! Turunkan aku di sini, atau aku teriak!" teriakku pada laki-laki itu.Laki-laki itu berhenti di tepi jalan, ia terkekeh mendengarku mengumpat."Maafkan aku Nona, tapi bayaran dari laki-laki bermobil yang beberapa waktu lalu lewat begitu menjanjikan. Ya, laki-laki itu berpesan jika aku bertemu dengan seorang perempuan yang fotonya ia sodorkan padaku, akan ada imbalan yang besar untukku." Ia berkata sambil tertawa.Shit Sial! Laki-laki itu ternyata punya berbagai cara untuk menangkapku kembali."Hari sudah malam, sebaiknya kau ikuti saja keman
Aku terus meronta, berusaha sekuat tenaga agar bisa terlepas dari jeratan tangan laki-laki dibelakangku ini.Tapi sia-sia bagaimanapun juga aku perempuan, tak dapat melawan tenaga laki-laki yang tentu lebih kuat dariku."Sssttt! Diam Put, ini aku," bisik laki-laki itu.Aku terdiam beberapa saat. Ya, aku mengenali suara itu."Raffi, bisikku lirih." Tentu tak terdengar olehnya karena mulutku sedang di bekap olehnya."Jangan bersuara. Cepat lewat sini." Kini ia telah melepaskan tangannya dari mulutku, dan menarik lenganku menyelinap ke belakang."Shit! Perempuan sialan! Masih juga kabur lagi Dia." Laki-laki berambut gondrong itu mengumpat."Mana Dia, perempuan set*n!" Suara laki-laki bertubuh tambun itu. Ia menyusul temannya yang sedang mencariku. Aku masih bisa mendengar jelas karena aku dan Raffi masih terus mengendap pelan menjauhi mereka."Lo yang tolol! Bodoh! Semalam juga kabur gara-gara Lo! Sekarang begini lagi! Gue nggak mau tau, Lo cari tu cewek sampe ketemu! Kalau nggak ketemu,
"Tiduran aja tak apa-apa, kamu harus banyak istirahat," ucapnya mendapatiku sedang berusaha untuk duduk.Aku pun kembali merebahkan tubuhku di ranjang berukuran besar ini.Senyumnya mengembang begitu netra kami bertemu. "Alhamdulillah kamu siuman Put."Sama dengan anaknya, Tuan Hendrawan ini juga memanggilku Putri."Iya Tuan, Alhamdulillah, terimakasih banyak, saya tak tahu bagaimana nasib saya jika tak bertemu dengan–""Panggil saja saya Om Hendra." Aku mengangguk patuh."Baik Om, terimakasih atas semuanya." Sekali lagi aku mengangguk, berterimakasih padanya."Iya sama-sama, itu sudah menjadi kewajiban saya, menjaga kamu, melindungi kamu, dari mereka semua."Aku mengerenyit masih tak begitu paham dengan apa yang beliau ucapkan. Mereka semua? mungkin orang-orang yang telah menculikku, dan si Bos besar itukah?"Sekarang makanlah, perlu saya panggilkan Bik Jum untuk menyuapimu? Sepertinya kau masih sangat lemah." Aku menggeleng cepat mendengar itu."Tidak Tuan, ehm, maksud saya Om, s
"Pa," sapa Raffi menghampiri Om Hendrawan yang sudah duduk di ruang keluarga setelah tadi ke kamarku lebih dahulu, mengajakku untuk menemui papanya."Duduklah Raffi, Putri, duduklah," sahut Om Hermawan menunjuk sofa sebelah kanan beliau duduk. Beliau melipat koran yang tengah dibacanya, meletakkannya di meja kecil yang berada sudut sofa.Aku dan Raffi pun mendaratkan bobotnya di sofa."Permisi Tuan." Belum sempat kami berbincang Bik Jum datang membawa teh hangat tiga cangkir dan langsung meletakkannya di meja depan kami.Usai meletakkan teh dan beberapa kue kering yang dibawanya dari dapur, Bik Jum pamit kembali ke dapur."Tenang Put, kau di sini aman, tak usah terlalu tegang begitu." Om Hendrawan terkekeh menatapku. Sepertinya beliau menangkap ketegangan di wajahku."Putri, sebelumnya saya ingin memperkenalkan, siapa saya, mengapa kami melindungi kamu. Saya Hendrawan Wicaksana. Saya sahabat dekat almarhum ayahmu Hadiwijaya."Aku mematung menyimak ucapan Om Hendrawan. Pelan-pelan aku
Dua bulan sudah terhitung sejak Adrian mulai datang hampir setiap hari ke rumah Yulia untuk membantu segala sesuatu kebutuhan Anita.Merawat orang lumpuh ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Tanpa rasa sungkan Adrian membantu mengangkat tubuh Anita jika hendak ke kamar mandi. Barulah setelah di bawa ke kamar mandi urusan mandi atau buang air akan di bantu oleh Yulia atau Sumi.Adrian duduk termenung di ruang tamu menunggu Anita yang sedang dimandikan oleh Yulia di dalam.Sebenarnya ia tak masalah membantu sampai sejauh ini, Adrian ikhlas. Hanya saja kalau Anita tetap tak merestui hubungan mereka, apa semua yang sudah ia lakukan ini akan sia-sia belaka?"Kenapa? Kok ngelamun? Kamu capek? Bantu Aku dan Mama?" Adrian terkejut tiba-tiba Yulia ada di sebelahnya."Oh, nggak aku lagi menikmati pemandangan bunga-bunga di halaman aja." Adrian berkilah."Oh. Kalau di rasa sudah tak sanggup membantu, katakan saja, aku nggak apa-apa."Adrian terdiam. Baginya cinta yang sudah terlanjur tumbuh
"Selamat pagi Tante," sapa Adrian hari Minggu pagi ini ia datang ke rumah Yulia. Kini Yulia sedang membawa ibunya yang duduk di kursi roda, bermaksud untuk menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Sebuah rutinitas yang tak pernah terlewatkan setiap pagi, agar tubuhnya Anita lebih segar.Adrian datang dengan membawa buah dan kue red Velvet kesukaan Anita.Anita diam, dari raut wajahnya masih memperlihatkan ketidaksukaannya pada Adrian, meski ia tahu Adrian adalah orang yang menolong nyawanya ketika waktu ia butuh transfusi darah. Anita tetap keras kepala, sekali tak suka maka sampai kapanpun ia tetap tak suka.Adrian tersenyum, ia paham dirinya masih belum diterima oleh Anita."Mulai sekarang Saya akan sering datang untuk menemui Tante. Jadi kalau ada apa-apa yang dibutuhkan, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Tante."Anita mendelik mendengar ucapan Adrian."Memangnya kamu siapa?! Nggak! Nggak perlu kamu datang kemari sering-sering! Bikin mata sepet aja!" sentak Anita.Sedangkan Y
Semenjak hari itu Yulia benar-benar sulit ditemui, bahkan di kantornya, Adrian tak dapat menemuinya. Gadis itu benar-benar serius dengan ucapannya, yaitu ingin instrospeksi diri juga berpikir lebih jernih mengenai hubungan mereka ke depan.Jangan tanya bagaimana suasana hati Adrian. Tidak bisa mendengar suara Yulia, tak bisa melihat senyumannya, tentu rasanya sangat menyiksa.Ternyata sesakit diabaikan. Apa kabar dengan hati Yulia yang menunggu selama berbulan-bulan, menyembunyikan perasaannya sampai pada akhirnya Adrian menyambut cinta itu.Adrian tak pernah menyerah, ia kembali mencoba menghubungi Yulia melalui sambungan telepon.Namun tetap sama, tidak diangkat.Hingga lebih dari dua minggu kondisi ini berlalu. Adrian menyerah tak lagi mengubungi gadisnya. Ia sudah pasrah. Jika memang mereka ditakdirkan bersama maka insya Allah nanti mereka akan bersama-sama. Tapi jika memang takdir tak menyatukan mereka maka Adrian akan berusaha ikhlas.Ikhlas adalah titik terdalam sebuah perasaa
Mendadak wajah Adrian pucat, ia terlihat gugup menatap Yulia yang menatapnya tajam."Ehm, Li, aku akan jelasin ke kamu semuanya, dan kamu jangan dulu salah paham, oke." Yulia masih terdiam menunggu penjelasan seperti apa yang akan Adrian katakan.Setelah keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat, Adrian meneguk jus alpukat miliknya."Aku khilaf telah bermain api di belakang Anisa," ucap Adrian jujur. Sebenarnya ia tak tahu lagi dari mana ia harus memulai bercerita, kata-kata seperti apa yang harus ia rangkai dan ia katakan pada Yulia.Ia tak ingin Yulia jadi salah tangkap dan jadi membencinya, Adrian tak sanggup jika harus kehilangan Yulia. Baginya Anisa sudah menjadi masa lalu, dan sekarang ia ingin menggapai masa depan bersama gadis manis yang tengah merajuk ini."Khilaf sampai berselingkuh dengan sepupunya istrimu, Yan?!" Yulia menggeleng tak percaya.Adrian tercekat, ia tak mampu membantah karena memang itu faktanya."Aku nggak nyangka kamu ternyata setega itu Yan. Apa kehadiran
"Aku pamit pulang ya Kak, kasihan Mama, pasti sudah menungguku pulang." Jari sudah hampir gelap, Yulia pun pamit untuk pulang.Putri mengantar Yulia hingga ke depan pintu gerbang, saat sebuah taksi mobil yang dipesan Yulia tiba di depan rumah Putri, Yulia langsung naik dan berlalu pulang ke rumahnya.Sepanjang perjalanan, perasaan Yulia gampang, antara tetap melanjutkan atau memilih mundur pada hubungannya dengan Adrian. Sesungguhnya jauh di lubuk hatinya, Yulia sangat mencintai laki-laki itu, sejauh ini, walaupun mamanya menentang keras hubungan mereka, selama ini ia tetap berdiri tegak, teguh pada pendiriannya, yaitu memperjuangkan cinta.Tapi menilik akan kisah masa lalunya Adrian, apakah laki-laki itu benar-benar bisa tulus mencintainya sepanjang hidup mereka? Seperti cintanya pada Adrian.Bagaimana kalau tiba-tiba Adrian mengulangi kesalahan yang pernah ia lakukan pada Anisa? Tentu saja hati Yulia akan hancur.Orang bilang sekali saja laki-laki berselingkuh maka tak menutup kemu
Mendadak raut wajah Putri berubah. Ia merasa kurang nyaman membahas lagi tentang masa lalunya."Ehm maaf Kak, maaf banget. Aku bukan bermaksud untuk mengingatkan Kak Putri tentang masa lalu Kakak, tapi aku sangat butuh informasi tentang Adrian." Yulia berkata dengan sungguh-sungguh.Ia tak ada maksud apapun, ia hanya ingin tahu tentang Adrian. Ia tak ingin salah dalam melangkah.Putri menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia meraih cangkir teh-nya, menyesapnya pelan, berharap ia bisa merasa lebih rileks sebelum memulai bercerita tentang mantan suaminya."Ehm, memangnya Yulia kenal Adrian dimana?" tanyanya yang merasa heran bagaimana bisa sosok Yulia yang terlahir dari keluarga terhormat, tumbuh menjadi gadis cantik, berpendidikan tinggi, dan kini memiliki karir yang bagus di perusahaan tempatnya bekerja, tiba-tiba saja kenal dengan Adrian yang notabenenya hanya laki-laki biasa.Yulia tersenyum kecil."Mas Adrian ... Dia calon suami Yulia Kak," jawabnya.Seketi
"Yulia, boleh Tante ngobrol sebentar?" tanya Maya setelah Adrian pamit pulang."Ada apa Tante?" Yulia mendaratkan bobotnya di sebelah Maya.Maya mengulas senyum lembut pada gadis disebelahnya. Yulia memang cantik, dia juga sangat penurut."Gimana kerjaan kamu? Lancar?" tanya Maya sekedar basa-basi."Alhamdulillah lancar Tante." Yulia menatap lekat wajah Maya, ia seakan bisa membaca gurat ekspresi tantenya yang terlihat sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan."Ada apa Tante? Ada yang ingin Tante katakan sama Yulia?" tanya Yulia langsung pada intinya. Maya pun kembali mengulas senyum."Iya ada sedikit yang ingin Tante tanyakan." Yulia menegakkan tubuhnya seakan ia telah siap untuk mendengarkan apa yang hendak Maya tanyakan."Kamu serius sama laki-laki itu? Siapa itu tadi namanya, ehm ....""Adrian Tante.""Ah ya, Adrian. Apa kamu benar-benar serius dengan hubungan kalian?" "Iya Tante. Yulia sama dia sih serius, tapi masalahnya ada sama Mama, Mama nggak merestui hubungan kami, padaha
Semenjak hari itu Anita lebih banyak diam, tak lagi membahas tentang perjodohan pada Yulia.Sampai pada hari ini rumah Anita kedatangan sepupunya, yang tak lain adalah Maya–ibunya Raffi.Beberapa kali Maya datang ke rumah, dan dua kali menjenguk di rumah sakit. Melihat kondisi sepupunya yang kini terbaring di tempat tidur membuat Maya sedih, karena biasanya saat ada acara kumpul keluarga, Anita selalu menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah mereka. Tapi kini semenjak ia mengalami kecelakaan, Anita seakan tersisih dari keluarga besarnya."Gimana keadaan kamu sekarang Mbak?" tanya Maya. Ia datang sendiri dengan di temani supir."Ya beginilah May, tak ada perubahan apapun, aku cuma wanita tua yang lumpuh, dan merepotkan," ketus Anita.Maya yang memang sudah sangat mengerti karakter Anita pun biasa saja."Sabar Mbak, namanya juga ujian. Alhamdulillah Yulia gadis yang baik, aku lihat dia merawatmu dengan baik."Anita hanya menghela napas. Putrinya memang gadis yang baik, cantik, ta
"Makan dulu Ma." Yulia menyuapi bubur untuk Anita. Namun Anita masih diam tak bergeming."Ma, makanlah sedikit," pinta Yulia lagi, pasalnya semenjak sadar dari komanya mamanya lebih banyak diam, tak mau makan.Akibat kecelakaan yang menimpanya dan masalah pada saraf otaknya, menyebabkan kedua kaki Anita tak bisa digerakkan. Lumpuh.Segala sesuatunya harus di bantu. Yulia jadi sering ijin tak masuk kantor, untungnya pihak kantor berbaik hati memberikan dispensasi karena selama mengabdi pada perusahaan kinerja Yulia bagus."Kamu nggak masuk kerja lagi?" tanya Anita.Beruntung meski kakinya lumpuh, dalam berbicara Anita masih lancar, tak ada masalah."Nggak usah pikirkan tentang kerjaanku Ma, yang penting sekarang Mama harus makan biar cepat sembuh," sahut Yulia."Assalamualaikum, selamat pagi." Tiba-tiba pintu ruang rawat Anita terbuka, menampakkan sosok Adrian.Melihat kehadiran Adrian, Anita langsung membuang muka."Ini aku bawakan buah-buahan dan brownies untuk Tante Anita." Adrian m