"Pa," sapa Raffi menghampiri Om Hendrawan yang sudah duduk di ruang keluarga setelah tadi ke kamarku lebih dahulu, mengajakku untuk menemui papanya."Duduklah Raffi, Putri, duduklah," sahut Om Hermawan menunjuk sofa sebelah kanan beliau duduk. Beliau melipat koran yang tengah dibacanya, meletakkannya di meja kecil yang berada sudut sofa.Aku dan Raffi pun mendaratkan bobotnya di sofa."Permisi Tuan." Belum sempat kami berbincang Bik Jum datang membawa teh hangat tiga cangkir dan langsung meletakkannya di meja depan kami.Usai meletakkan teh dan beberapa kue kering yang dibawanya dari dapur, Bik Jum pamit kembali ke dapur."Tenang Put, kau di sini aman, tak usah terlalu tegang begitu." Om Hendrawan terkekeh menatapku. Sepertinya beliau menangkap ketegangan di wajahku."Putri, sebelumnya saya ingin memperkenalkan, siapa saya, mengapa kami melindungi kamu. Saya Hendrawan Wicaksana. Saya sahabat dekat almarhum ayahmu Hadiwijaya."Aku mematung menyimak ucapan Om Hendrawan. Pelan-pelan aku
"Sepeninggal Pak Wijaya, Aksa makin menjadi, ia ingin memiliki keselurahan saham perusahaan, dengan cara licik tentunya.""Tapi aku sudah mengamankan semuanya, dengan bantuan temanku yang sangat ahli dalam bidangnya, saham kepemilikan Hadi tidak dapat di ambil alih seenaknya, harus Hadi sendiri atau ahli waris yang secara sadar memberikan semua itu pada Aksa. Aksa masih tertawa jumawa ketika mengetahui Hadi meninggal karena kecelakaan. Ia masih berdiri tegak di kursi kepemimpinan menikmati semua jerih payah papamu, Put. Hingga sebuah kabar berhembus bahwa Hadi meninggal, tapi istrinya tengah hamil. Itu artinya sebuah ancaman bagi Aksa, ia akan kehilangan semuanya. Oleh karena itu selama berpuluh tahun ia mencari keberadaanmu. Pun denganku, aku mencarimu selama ini.""Aku tak ingin mereka, orang-orang tamak itu menikmati hasil jerih payah papamu, aku sangat paham, papamu di alam sana pun juga pasti tak kan rela. Jadi sekarang kau sudah berada di sini sekarang, sudah saatnya tunjukkan p
"Apa yang harus kita lakukan sekarang Pa? Apa perlu lapor polisi? Bukankah semuanya sudah jelas, Rendra ataupun Om Aksa bisa terjerat kasus penculikan dan penganiayaan," ucap Raffi.Om Hendrawan hanya menggeleng pelan."Aku sudah hafal betul bagaimana Aksa, sepak terjangnya di dunia bisnis. Bahkan dia punya banyak kenalan orang dalam, akan sulit bagi kita untuk menembusnya kesana, pasti ada saja yang bisa membuat mereka menyangkal dan ujungnya laporan kita tidak gubris."Aku hanya menelan ludah mendengar semuanya."Lalu bagaimana Pa?" Lagi Raffi bertanya, ia terlihat frustasi, beberapa kali menyugar rambutnya dengan kasar."Yang harus kita lakukan sekarang adalah, kita persiapkan Putri, kita bisa mengajarinya tentang mengelola bisnis, bahkan jika perlu kita sekolahkan lagi di luar negeri, agar kemampuan tentang bisnis, mumpuni, aku yakin, putri Hadiwijaya ini pasti kemampuannya tak kan jauh-jauh dari ayahnya. Bagaimana Put, kau siap?"Aku hanya melongo mendapat pertanyaan dari Om Hendr
Suara ketukan pintu mengagetkanku yang tengah duduk di ranjang kamarku.Aku melangkah membuka pintu."Hei Put, ayo ikut aku," ucap Raffi."Kemana?""Ikut aja, yuk!"Aku pun berjalan dibelakangnya, menuruni anak tangga, karena kamarku di lantai dua.Kini aku telah sampai di sebuah ruangan di lantai satu. Cukup luas, ruangan ini bersebelahan dengan kolam renang, hanya di sekat dengan dinding kaca, jadi dari sini terlihat birunya kolam renang yang luas. Sekat kaca itu bisa di geser, membuat ruangan ini begitu sejuk karena hembusan angin dari area kolam renang outdoor itu.Di ruangan ini juga ada tiga lemari rak buku, penuh dari atas sampai bawah, buku itu tertata rapi. Ini seperti perpustakaan mini."Duduklah, dan ini."Bruk!Raffi meletakkan setumpuk buku berukuran lumayan besar dan tebal. Aku melongo melihat tumpukan buku itu."Ini semua yang harus kamu pelajari." Raffi menepuk buku paling atas. Dengan senyum meledek."Ini semua? Sebanyak ini?""Ya, ini semua.""Dan satu lagi, mulai be
Seakan jantungku berhenti berdetak. Semakin dekat mereka memasuki pintu masuk gedung ini. Aku semakin yakin jika laki-laki itu. Ia adalah laki-laki dan i Bos besar itu.Degh! Ck, kenapa dunia sempit sekali. Kenapa harus laki-laki itu yang meminang Intan sahabatku. Aku diam membisu, ketika netra ini melirik Intan di sebelahku, senyum merekah di bibir sahabatku itu."Inilah dia, rombongan calon suami dari intana Prameswari, yang sejak tadi kita tunggu-tunggu. Marilah kita sambut bersama Rendra Aksawijaya!" Suara MC acara lamaran ini memperjelas nama laki-laki itu, aku tak salah lagi, itu benar Rendra.Mendadak aku jadi tidak fokus dengan jalannya acara. Senyum kedua orang tua Intan juga kedua orang tua Rendra begitu merekah saat bersua saling cipika-cipiki menyambut hangat acara bahagia dua keluarga ini.Keluarga Rendra kini telah duduk di deretan bangku yang sudah di sediakan. Sesekali aku melirik ke arah orangtuanya Rendra. Ya, laki-laki paruh baya itu, garis wajahnya memang seakan f
Kenapa semuanya jadi rumit begini, gumamku, seraya mendaratkan bobotku di bibir ranjang kamar ini. Kini aku sudah berada di rumah sekarang. Dering ponsel mengagetkanku. "Halo Put, apa kamu yakin laki-laki itu Rendra?" tanya Raffi dari seberang sana. "Ya. Aku sangat yakin Fi!" Bagaimana mungkin aku sampai lupa dengan wajah itu, bahkan ketika aku di sekap, wajah itu begitu terlihat dekat sebelum akhirnya merampas kalung milikku. "Oke. Sepertinya kau harus mengingatkan temanmu itu untuk berhati-hati. Jelaskan padanya bagaimana Rendra." "Ehm, sepertinya itu akan sangat sulit Fi, pasalnya hubungan kedua keluarga mereka begitu intim," sahutku. Kembali aku memijit pelipisku sambil berjalan-jalan di dalam kamar. Entah mengapa kepalaku rasanya pusing sekali. "Ya sudah sementara tak perlu khawatir berlebihan, bisa jadi keluarga Rendra belum mengetahui tentang kau yang berteman dekat dengan Intan." Aku tercenung. Sepertinya mereka tahu. "Sepertinya mereka tahu Fi, pasalnya orang suruha
Satu kursi lebih tinggi dari yang lainnya di tengah ujung meja sebelah sana. Sepertinya itu kursi untuk Om Hendrawan. Dua kursi di sisi sebelah kanannya kosong. Raffi melenggang ke arah kursi kosong itu dan duduk di sana. Ia menepuk sebelah kursinya tanda untukku duduk di sana.Seperti yang Om Hendrawan katakan, beliau memperkenalkan aku di depan peserta meeting. Beliau memperkenalkan aku sebagai salah satu kerabatnya yang akan ikut bergabung dengan tim Raffi sebagai manager operasional perusahaan.Semua peserta meeting tersenyum hangat padaku, setelah sepatah dua patah kata aku memperkenalkan diri. Ada juga yang langsung mengatakan selamat bergabung di perusahaan ini, semoga bisa bekerjasama dengan baik."Put, untuk sementara ini ruangan kamu." Raffi mengantarku ke sebuah ruangan tak begitu besar bersebelahan dengan ruangannya. Ruangan ini terdapat dua meja yang hanya di sekat dengan sebuah partisi penyekat. Kedua meja juga terdapat komputer dan beberapa file."Ini adalah mejanya Rik
"Ekhem! Maaf apa sekarang sudah waktunya istirahat?" Mariana dan satu kawannya itu menggeleng."Kalau sekarang bukan waktunya istirahat kenapa kalian ngerumpi di sini? Perusahaan menggaji kalian untuk kerja! Bukan untuk ngerumpi!" tukasku pada mereka berdua.Kedua karyawan itu menatap tak suka padaku."Kau cuma orang baru di sini, jadi jangan sok! Apalagi dekat-dekat dengan Pak Raffi. Pak Raffi itu cuma cocoknya sama aku." Mariana mendorong pelan pundakku dengan jari telunjuknya, satu tangannya mendekap di dada. Aku mengulum senyum tahu kemana arahnya. Dia pasti cemburu melihat kedekatanku dengan Raffi."Kenapa? Oh kalian pasti iri denganku? Dengar ya, kalian bekerja itu bukan hanya otak tapi attitude juga penting. Belajar menghargai orang kalau kalian juga ingin di hargai. Soal Raffi, sepertinya kamu perlu ngaca deh! Sekalipun aku tak pernah melihat Raffi melirikmu, kasihan sekali." Aku tertawa kecil.Mariana dan Devi–temannya itu berdecak kesal. Wajahnya memerah mendengar ucapanku.