Kenapa semuanya jadi rumit begini, gumamku, seraya mendaratkan bobotku di bibir ranjang kamar ini. Kini aku sudah berada di rumah sekarang. Dering ponsel mengagetkanku. "Halo Put, apa kamu yakin laki-laki itu Rendra?" tanya Raffi dari seberang sana. "Ya. Aku sangat yakin Fi!" Bagaimana mungkin aku sampai lupa dengan wajah itu, bahkan ketika aku di sekap, wajah itu begitu terlihat dekat sebelum akhirnya merampas kalung milikku. "Oke. Sepertinya kau harus mengingatkan temanmu itu untuk berhati-hati. Jelaskan padanya bagaimana Rendra." "Ehm, sepertinya itu akan sangat sulit Fi, pasalnya hubungan kedua keluarga mereka begitu intim," sahutku. Kembali aku memijit pelipisku sambil berjalan-jalan di dalam kamar. Entah mengapa kepalaku rasanya pusing sekali. "Ya sudah sementara tak perlu khawatir berlebihan, bisa jadi keluarga Rendra belum mengetahui tentang kau yang berteman dekat dengan Intan." Aku tercenung. Sepertinya mereka tahu. "Sepertinya mereka tahu Fi, pasalnya orang suruha
Satu kursi lebih tinggi dari yang lainnya di tengah ujung meja sebelah sana. Sepertinya itu kursi untuk Om Hendrawan. Dua kursi di sisi sebelah kanannya kosong. Raffi melenggang ke arah kursi kosong itu dan duduk di sana. Ia menepuk sebelah kursinya tanda untukku duduk di sana.Seperti yang Om Hendrawan katakan, beliau memperkenalkan aku di depan peserta meeting. Beliau memperkenalkan aku sebagai salah satu kerabatnya yang akan ikut bergabung dengan tim Raffi sebagai manager operasional perusahaan.Semua peserta meeting tersenyum hangat padaku, setelah sepatah dua patah kata aku memperkenalkan diri. Ada juga yang langsung mengatakan selamat bergabung di perusahaan ini, semoga bisa bekerjasama dengan baik."Put, untuk sementara ini ruangan kamu." Raffi mengantarku ke sebuah ruangan tak begitu besar bersebelahan dengan ruangannya. Ruangan ini terdapat dua meja yang hanya di sekat dengan sebuah partisi penyekat. Kedua meja juga terdapat komputer dan beberapa file."Ini adalah mejanya Rik
"Ekhem! Maaf apa sekarang sudah waktunya istirahat?" Mariana dan satu kawannya itu menggeleng."Kalau sekarang bukan waktunya istirahat kenapa kalian ngerumpi di sini? Perusahaan menggaji kalian untuk kerja! Bukan untuk ngerumpi!" tukasku pada mereka berdua.Kedua karyawan itu menatap tak suka padaku."Kau cuma orang baru di sini, jadi jangan sok! Apalagi dekat-dekat dengan Pak Raffi. Pak Raffi itu cuma cocoknya sama aku." Mariana mendorong pelan pundakku dengan jari telunjuknya, satu tangannya mendekap di dada. Aku mengulum senyum tahu kemana arahnya. Dia pasti cemburu melihat kedekatanku dengan Raffi."Kenapa? Oh kalian pasti iri denganku? Dengar ya, kalian bekerja itu bukan hanya otak tapi attitude juga penting. Belajar menghargai orang kalau kalian juga ingin di hargai. Soal Raffi, sepertinya kamu perlu ngaca deh! Sekalipun aku tak pernah melihat Raffi melirikmu, kasihan sekali." Aku tertawa kecil.Mariana dan Devi–temannya itu berdecak kesal. Wajahnya memerah mendengar ucapanku.
Pias. Bahkan Rendra juga Om Aksa tak mampu berkata banyak. Ia menyimak sebuah surat perjanjian yang pernah di tandatanganinya dulu sewaktu mendiang Bapak masih berdiri di sini.Kini Om Hendrawan membuka kembali map berisi perjanjian itu. Selama ini memang Om Hendrawan lah yang menjaga semuanya, sampai hari ini tiba. Ya, hari dimana keturunan Hadiwijaya hadir di sini dan mengambil alih semuanya.Aku duduk diam menyimak semuanya, tampak beberapa orang peserta rapat mengangguk paham dengan semua penjelasan Om Hendrawan yang dengan detail dan gamblang menjelaskan semuanya. Benar apa yang dikatakan Om Hendrawan kemarin lalu, Om Aksa dan Rendra tak bisa berkutik, bahkan sepertinya mereka tak menyangka aku akan hadir dan berdiri di sini sebagai salah satu peserta rapat. Mungkin mereka kira Putri wanita udik dari kampung ini tak akan bisa mengerti apa-apa soal perusahaan dan juga bisnis. Mereka salah. Mereka lengah. Selama berbulan-bulan aku dalam penjagaan Om Hendrawan. Selama hampir satu
"Heh! Kau baru anak kemarin sore! Jadi jangan sok!" sentak Om Aksa mendengar ucapanku.Aku hanya membuang pandangan mendengar kata-kata Om Aksa.Pertemuan dengan Om Aksa tak membuahkan hasil."Kalau dengan cara baik-baik Aksa tak mau. Maka tak ada cara lain, paling lambat akhir bulan depan, kita akan datang dan mengambil alih semuanya," ucap Om Hendrawan ketika kami berada di mobil menuju kantor.Aku mengangguk paham.Hening, tak ada obrolan yang berarti di dalam mobil, hingga suara dering ponsel Om Hendrawan memecah keheningan."Ya, Mahesa. Bagaimana?""....""Oke segera selesaikan saya tak mau menunggu lebih lama lagi." Om Hendrawan berkata dengan lawan bicaranya di telepon.Sesampai di kantor aku sudah di suguhkan segudang pekerjaan. Tumpukan file yang harus diselesaikan, belum lagi ketemu dengan beberapa klien dari perusahaan vendor sore ini.Tetap semangat Nisa! terkadang aku tertawa sendiri melihat keadaanku sekarang, tak pernah aku bermimpi menjadi wanita karir dengan pekerjaan
Kami langsung masuk ke dalam salon dan bertemu dengan Angela, wanita muda berparas cantik dengan dress selutut berwarna baby pink, ia terlihat begitu segar dengan gaya rambut baru, panjang sebahu berwarna cokelat keemasan dengan bagian bawah rambut di buat bergelombang, membuat tampilannya lebih segar. Angela adalah pemilik salon ini."Eh, Tante Maya, lama baru kesini lagi Tante!" sambutnya hangat."Iya, maklum biasalah sibuk, ini baru sempat," sahut Tante Maya."Ini juga nih, Putri, apa kabar? aduh iya deh iya yang sekarang makin sibuk urusan kantor sampai lupa perawatan kemari," ia merangkulku dan Tante Maya bergantian."Duduk dulu yuk duduk, sini. Tante apa kabar?" Angela mengajak kami duduk-duduk sebentar di sofa, kemudian memanggil salah seorang karyawatinya untuk segera memberikan pelayanan khusus untuk kami."Alhamdulillah baik, makin cantik aja nih kamu Angela.""Lho iya dong Tan, cantik itu harus biar suami di rumah juga anteng, nggak tengok sana sini cari yang seger- seger,"
Sengaja aku menutup pintu kamar mandi agak sedikit keras agar mereka tahu aku mendengar semuanya. Dasar orang-orang julid. Meskipun aku serumah dengan Raffi, bukan berarti aku setiap saat berduaan dengannya. Aku juga tahu diri sampai mana batasan antara kami, Raffi sibuk, aku pun sibuk, bahkan terkadang sampai berhari-hari aku tak berjumpa dengan dia. Terkadang aku berangkat ke kantor satu mobil dengan Om Hendrawan dan Raffi memilih untuk naik motornya.Mereka hanya melihat sepintas dengan kacamata miliknya, bukan dengan yang sebenarnya.Ingin rasanya aku melontarkan semua kata itu. Tapi apa daya. Aku memilih untuk segera menyelesaikan aktivitasku di kamar mandi kemudian segera kembali ke tempat dimana Tante Maya tadi duduk."Kok lama Put, ngantri ya?" tanya Tante Maya begitu aku kembali duduk disebelahnya."Ehm enggak kok Tante, agak mules aja tadi," sahutku nyengir."Oh, kamu ini ada-ada aja. Sekarang udah nggak kan?""Alhamdulillah udah nggak kok Tante.""Mari Bu Maya dan Mbak Putr
Aku tercengang mendengarkan ucapan Om Aksa. Apa maksudnya dia berkata demikian?"Jika Om Aksa telepon saya hanya untuk menjelek-jelekkan Om Hendrawan. Maaf semua itu tentu tidak mempan mempengaruhiku. Selamat malam!""Putri! Putri tunggu, sebentar, dengerkan Om bicara sebentar saja.""Ada apa lagi!""Putri dengar, Kau tahu Wijaya Grup sudah berdiri jauh sebelum ayahmu memimpin. Lebih tepatnya Kakek Wijaya yang telah merintisnya. Ya kuakui memang, saat perkembangannya, mengalami perkembangan pesat di saat kepemimpinan ayahmu. Aku akui ayahmu memang seorang pebisnis handal, kemampuannya membaca peluang sangat diacungi jempol. Tapi sekarang, apa kau yakin Hendrawan benar-benar tulus ingin membantumu untuk berdiri di kursi pimpinan perusahaan Wijaya grup? Hanya itu? Apa Kau tidak merasa janggal dengan semua yang dia lakukan? Mati-matian dia berusaha agar kau bisa masuk ke dalam Wijaya Grup. Apa Kau yakin tak ada udang dibalik batu?"Makin panjang lebar Om berbicara, makin membuatku muak.