"Terutama Nisa, siapa Nis?" Intan menatapku dan Bik Mirna bergantian.Aku memang belum menceritakan apa-apa pada Intan soal apa yang Mbak Yumna katakan juga yang Raffi katakan. Ah ya, Raffi. Aku harus segera menemuinya besok."Nis.""Eh ya, aku juga nggak tahu siapa, Tan.""Apa mungkin Adrian mantan suamimu?" tanya Intan menatap lekat ke arahku."Sepertinya bukan. Sebenarnya sejak kemarin aku sudah dengar ada yang mencariku. Mbak Yumna telepon aku malam itu."Intan menyipitkan netranya."Bik, tolong buatkan teh buatku sama Nisa ya," ucap Intan pada Buku Mirna."Baik Non." Bik Mirna langsung berlalu ke dapur."Kalau bukan Adrian lalu siapa?" Intan lanjut bertanya."Aku juga nggak tahu Tan, sepertinya ini ada kaitannya dengan kecelakaan yang menimpaku kemarin," jelasku.Jujur di lubuk hatiku pun ada rasa takut. Aku wanita biasa, bahkan aku tak punya siapa-siapa selain Tante Ranti, lalu apa yang mereka mau dariku? Siapa sebenarnya mereka? Apa yang mereka mau?"Sepertinya kamu harus teta
"Hallo Bos, perempuan ini sudah sama kita sekarang Bos!" Aku mengerejap ketika mendengar dengar seseorang berbincang melalui panggilan telepon."Oke kita langsung bawa ke alamat itu. Tapi jangan lupa bayarannya untuk kami segera di siapkan Bos!""Oke Bos, siap, siap!"Kembali terdengar percakapan mereka. Aku melirik sekeliling, kini aku berada di dalam mobil yang sedang berjalan.Panggilan telepon mereka selesai, dan mereka berdua tertawa lepas. Satu orang yang sedang mengemudi, dan satu orang lagi yang duduk di samping kemudi yang tadi melakukan panggilan telepon. Aku duduk di jok belakang, baru kusadari kedua tanganku di ikat ke belakang. Aku berusaha lepas, tapi ikatan ini begitu kuat, yang ada pergelangan tanganku sakit sekali."Sudah bangun rupanya kau Nona cantik?" tanya seorang laki-laki dengan rambut cepak, bertubuh tambun yang duduk di samping kemudi."Siapa kalian!" sentakku.Kembali mereka terkekeh menatapku."Eh eh, cantik-cantik kok galak, senyum dong! Siapa kami itu ta
"Buka kain di mulutnya itu." Aku mengerejap mendengar suara laki-laki berbicara pada dua laki-laki yang membekapku.Suaranya datar. Laki-laki itu mengenakan kemeja hitam, rambut tertata rapi klimis. Hidungnya mancung, kulitnya putih, dengan garis wajah tegas, tatapannya dingin memindai diri ini.Menatap laki-laki itu, aku bisa menyimpulkan sepertinya dia bukan orang sembarangan, tapi apa maksudnya dia menculikku di sini?Laki-laki berambut gondrong itu membuka dengan kasar kain berwarna merah yang sedari tadi mengunci mulutku.Jilbab yang membalut kepalaku sudah tak ada di tempatnya entah kemana, kini rambutku tergerai berantakan. Sungguh kini aku merasa seperti dikuliti hidup-hidup.Aku bernapas lega ketika kain merah itu telah terlepas dari mulutku. Rasa pegal diarea pipi dan mulutku sedikit terobati."Halo Putri, Kau sudah besar rupanya? Apa Kau mengenaliku?"Aku tercengang orang itu menyebutku Putri, nama kecilku.Laki-laki itu mendekat, semakin dekat hanya beberapa senti jarak an
"Putri! Ssstt, Put!"Aku menoleh ke samping. Samar-samar aku bisa melihat siluet laki-laki itu, tengah mengatupkan jari telunjuknya di bibirnya. Tanda agar aku diam tak bersuara. Bersamaan dengan itu salah seorang preman bayaran itu terbangun dari tidurnya, Menatap sekeliling, juga menatap lekat ke arahku."Heh! Awas saja jika kau coba-coba untuk kabur!" sentaknya. Aku pura-pura lemas, gaya seperti orang baru bangun tidur."Hem apa? Kabur? Jika aku bisa kabur, tentu sudah sejak tadi aku kabur saat kau tidur," sungutku."Ya! Baguslah. Jangan macam-macam kalau kau masih ingin hidup!"Aku hanya melengos mendengar ucapannya itu.Laki-laki itu kembali merebahkan tubuhku di atas meja yang dijejer jadi mirip seperti dipan. Kembali aku menoleh kearah tiang beton penyangga gedung tua ini. Tak ada. Laki-laki yang tadi bersembunyi di sana kini tak ada. Kemana dia?Apakah dia seorang yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkanku dari sini? Atau dia juga sama jahatnya dengan Bos besar itu?Aku menole
Hening. Hanya suara langkah laki-laki itu yang tengah mencari keberadaanku dan Raffi."Dimana Kau perempuan sialan! Shit! Merepotkan saja!" Laki-laki itu terus saja mengumpat sambil melangkah.Sedikit saja aku bergerak dan menimbulkan bunyi, habislah sudah. Aku dan Raffi hanya saling pandang, seolah saling menguatkan.Ceklek! Bunyi pintu terbuka, di iringi langkah kaki seseorang yang baru saja masuk ke ruangan ini."Met!" panggilnya. Memanggil laki-laki bertubuh tambun yang tengah mencariku. Itu pasti laki-laki berambut gondrong yang tadi ijin keluar membeli makanan."Met! Sedang apa Lu! Mana wanita itu?!" tanyanya. Dari nada suaranya ia seperti terkejut mendapati kawannya yang tengah berjalan seperti mencari sesuatu.Langkah pria bertubuh tambun itu sontak terhenti. Sedikit lagi ia melangkah, aku dan Raffi tertangkap karena posisi kami buntu sebelah kanan tembok. Aku dan Raffi menghela napas. Pasukan oksigen seakan masuk ke rongga dada bersamaan. Lega."Dia–dia kabur Jul.""Apa?!" t
Kami berjongkok di semak belukar. Kedua preman bayaran itu keduanya mendekat.Raffi menoleh ke belakang, tatapannya seolah memberi kode untuk beringsut mundur dimana ada pohon kelapa dibelakang kami. Raffi mengatupkan jari telunjuknya di bibirnya, tanda untuk aku diam.Pelan dia meraih batu yang kebetulan ada di dekat kami berjongkok. Pelan ia berdiri terhalang oleh pohon kelapa yang mampu menutupi satu orang tubuh manusia itu.Secepat mungkin ia lempar batu itu sejauh mungkin, hingga menimbulkan bunyi 'blugh!' suara benda terjatuh dari ketinggian, di kejauhan sana. Sontak suara itu tentu menarik perhatian kedua preman bayaran yang keduanya tengah berjalan mendekat."Ssst! Di sana!" Salah satu dari mereka bersuara lalu setengah berlari menuju ke asal sumber suara benda jatuh itu. Disusul satu orang lainnya.Aku paham sekarang, yang Raffi lakukan tadi adalah untuk mengalihkan perhatian. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, seperti ada air hujan yang mengguyur tubuhku
Netraku mengerejap, menyapu pandangan ke sekitar ruangan. Kini aku berada di dalam kamar, jendela berteralis, tempat tidur dan kasur berukuran sedang beralaskan seprei warna putih bersih.Ya Tuhan aku dimana ini.Satu jam lalu, ketika aku menyadari laki-laki tukang ojek yang kutumpangi itu tak lain adalah juga orang suruhan laki-laki biadab itu.Ketika di pertigaan itu, motor berbelok ke arah kiri, aku baru menyadari semuanya."Kita mau kemana Pak! Turunkan aku di sini, atau aku teriak!" teriakku pada laki-laki itu.Laki-laki itu berhenti di tepi jalan, ia terkekeh mendengarku mengumpat."Maafkan aku Nona, tapi bayaran dari laki-laki bermobil yang beberapa waktu lalu lewat begitu menjanjikan. Ya, laki-laki itu berpesan jika aku bertemu dengan seorang perempuan yang fotonya ia sodorkan padaku, akan ada imbalan yang besar untukku." Ia berkata sambil tertawa.Shit Sial! Laki-laki itu ternyata punya berbagai cara untuk menangkapku kembali."Hari sudah malam, sebaiknya kau ikuti saja keman
Aku terus meronta, berusaha sekuat tenaga agar bisa terlepas dari jeratan tangan laki-laki dibelakangku ini.Tapi sia-sia bagaimanapun juga aku perempuan, tak dapat melawan tenaga laki-laki yang tentu lebih kuat dariku."Sssttt! Diam Put, ini aku," bisik laki-laki itu.Aku terdiam beberapa saat. Ya, aku mengenali suara itu."Raffi, bisikku lirih." Tentu tak terdengar olehnya karena mulutku sedang di bekap olehnya."Jangan bersuara. Cepat lewat sini." Kini ia telah melepaskan tangannya dari mulutku, dan menarik lenganku menyelinap ke belakang."Shit! Perempuan sialan! Masih juga kabur lagi Dia." Laki-laki berambut gondrong itu mengumpat."Mana Dia, perempuan set*n!" Suara laki-laki bertubuh tambun itu. Ia menyusul temannya yang sedang mencariku. Aku masih bisa mendengar jelas karena aku dan Raffi masih terus mengendap pelan menjauhi mereka."Lo yang tolol! Bodoh! Semalam juga kabur gara-gara Lo! Sekarang begini lagi! Gue nggak mau tau, Lo cari tu cewek sampe ketemu! Kalau nggak ketemu,