Pov Vivi 2Sejak aku berada dalam kehidupan gelap ini, aku lebih dikenal sebagai Vini, bukan lagi nama Vivi.Hubunganku dengan Arya makin dekat meski sudah kukatakan aku mulai bekerja sambilan open BO, ia tetap tak peduli, tetao perhatian dan sangat mengerti aku. Hingga akhirnya ia mengajakku untuk berpacaran dengannya.Tentu gaya pacaran kami sudah seperti suami istri, tinggal satu rumah, berhubungan layaknya suami istri. Aku tak peduli itu, asalkan dia mau menerimaku apa adanya. Jatah untuknya setiap malam lima ratus ribu tetap berjalan, bagaimanapun dia sudah banyak membantuku, dan yang paling utama, dia sayang padaku.Hingga tiba-tiba aku merasa tubuhku tidak baik-baik saja. Aku kerap kali demam dan sering diare. Berat badanku pun turun drastis dalam waktu beberapa bulan saja. Melihat pekerjaanku yang seperti ini tentu aku khawatir, aku beranikan diri untuk periksa ke dokter.. ternyata benar penyakit sialan itu menghampiriku. Memang menjadi seorang pekerja Se*s komersial harus di
"Pa, sudah Pa, sudah, ini rumah sakit, malu teriak-teriak," ucap Tante Ranti mengusap lengan Om Edwin."Malu Ma, Papa malu, punya anak perempuan satu, begini kelakuannya, nggak cukup bikin malu keluarga dengan semua kelakuanya!""Iya Pa, iya, Mama paham, tapi Papa harus sabar." Tante Ranti masih berusaha menenangkan Om Edwin."Astaghfirullah, Astaghfirullah.""Duduk dulu Pa, duduk dulu, minum Pa." Tante Ranti mengangsurkan segelas air putih untuk Om Edwin.Beliau meneguknya hingga habis."Ya Allah Ma, dosa apa kita, sampai di uji begini berat," tukas Om Edwin."Maaf Pa, Vivi menyesal Pa," ucap Vivi dengan begitu pilu.Om Edwin langsung membuang muka."Muak Papa lihat wajah kamu Vi, menjijikkan!" sergah Om Edwin kemudian langsung bangkit dan pergi keluar ruangan."Pa! Mau kemana lagi, Pa!"Om Edwin tak menjawabnya."Papa!" panggil Vivi sambil menangis."Ya Allah Papa," ucap Tante Ranti sambil menatap anak dan suaminya, terlihat bingung. "Biar Nisa yang kejar Om Edwin Tante, Tante tena
"Assalamualaikum," ucap Mas Raffi begitu memasuki pintu rumah, setelah tiga hari di Bandung. Sore ini aku sengaja menunggunya di rumah, karena siang tadi ia mengabari akan pulang sore ini, jadi aku putuskan untuk pulang cepat dari kantor."Wa'alaikumusalam, Mas. Alhamdulillah kamu sudah pulang?" Aku menyambutnya dengan senyuman, bergegas aku menarik koper yang di bawanya."Iya, lumayan macet tadi di jalan. Kamu baik-baik saja?" Ia merangkul pundakku dan kami berjalan bersama memasuki rumah.Aku mengangguk."Ya aku baik-baik saja, hanya saja ... Hatiku tak baik-baik saja." Ia langsung menatap lekat wajahku penuh tanya."Ada masalah?""Ada.""Apa?" "Masalahnya ... Di tinggal tiga hari sama kamu, membuatku sangat rindu," ucapku. Seketika membuatnya tersenyum lebar.Lalu sedetik kemudian ia menarikku ke dalam pelukannya, dan mencium gemas kedua pipiku."Siapa suruh pulang cepat-cepat, hem? Siapa suruh? Kalau saja kemarin kamu masih di sana kan kita bisa sambil jalan-jalan, Hem." Mas Raff
"Ya, Raffi tau Pa, kita juga selalu berusaha ya kan Sayang. Sudah jangan berkecil hati gitu, sini duduk." Mas Raffi menarik kursi untukku."Maaf ya Put, bukan maksud Mama seperti itu, Mama cuma tanya aja tadi," ucap Mama"Iya nggak apa-apa Ma."Aku menuang teh panas ke dalam dua cangkir, untuk mama dan papa."Tadi sebenarnya Mama abis dari rumah Tante Syakira, terus mampir kemari." Seketika membuat aku dan Mas Raffi saling pandang."Apa ada masalah dengan Tante Syakira lagi, Ma?" Mas Raffi bertanya sambil memakan bolu susu. Ya pulang dari Bandung, ia membawa beberapa oleh-oleh makanan khas kota kembang itu. "Nggak ada apa-apa sih, cuma tadinya mau mastiin Dea kalau dia dan suaminya baik-baik saja."Oh. Aku dan Mas Raffi mengangguk."Alhamdulillah kalau gitu Ma.""Iya, hanya saja, Dea terlihat murung, nggak seperti biasanya," ungkap Mama."Ya bisa jadi mungkin karena Tante Syakira yang belum bisa sepenuhnya menerima Ficki." Mas Raffi berargumen."Bisa jadi sih.""Sama tadi Tante Syaki
"Ehm, Putri, kamu juga ikut?" Dahiku mengerenyit."Ya, memangnya ada yang salah jika aku ikut?" sergahku."Ehm bu–bukan begitu, aku kira tadi ... Ah tidak, mari silahkan duduk." Ia mempersilakan kami duduk.Entah apa maksud dari Lidia bersikap seperti itu, terkesan aneh menurutku. Justru harusnya aku yang bertanya, untuk apa mereka bertemu? Mereka sudah memiliki kehidupan masing-masing, sudah punya pasangan masing-masing. Apakah pantas mereka bertemu di luar? Aku menatap Mas Raffi. Ia terlihat tersenyum santai membalas tatapanku.Aku masih menatapnya lamat-lamat seakan bertanya 'apa maksudnya ini Mas?' Mas Raffi mengangguk tersenyum seakan paham akan tatapan mataku, dan seolah berkata, 'nggak apa-apa semuanya akan baik-baik saja' begitu kira-kira.Kemudian dengan lembut ia menyentuh jemariku."Jadi ada apa Lidia? Kamu mau minta tolong apa?" tanya Mas Raffi pada perempuan mantan kekasihnya itu."Ehm ...." Lidia terlihat bingung."Mungkin sebaiknya kita makan siang dulu aja kali ya," u
"Kamu mikirnya kejauhan Sayang," ucap Mas Raffi sambil terus fokus menatap jalanan di depannya.Aku membuang napas berat, makin kesal rasanya."Apa kamu nggak ngerasa bagaimana tatapan dia sama kamu tadi?""Enggak, aku nggak ada lihat dia, yang aku lihat hanya kamu, dan kamu yang paling cantik," godanya."Nggak lucu ya Mas! Kita lagi serius!" sentakku tajam.Mas Raffi pun langsung terdiam. Hingga mobil telah sampai di kantor, kami berdua saling diam.Aku langsung turun dari mobil dan langsung naik ke atas menuju ruanganku.Ternyata saat aku menoleh ke belakang Mas Raffi masih mengekor dibelakang."Sayang, dengerin aku dulu," ucap Mas Raffi begitu kami memasuki ruang kerjaku. Aku langsung menghempaskan tubuhku di kursi kebesaranku, dan meneguk segelas air putih di meja hingga tandas tak tersisa.Mas Raffi langsung menarik kursi di depanku lalu mendaratkan bobotnya di sana."Sayang, please," ucapnya lagi. Aku seolah tak peduli, mulai kubuka file yang menumpuk di depanku, dan mulai beke
"Sayang, aku udh di depan ya," ucap Mas Raffi melalui sambungan telepon."Iya Mas, tunggu sebentar aku turun," sahutku padanya.Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, suka duka hidup berumah tangga dengannya kami jalani dengan penuh suka cita.Aku bergegas keluar gedung dan masuk ke dalam mobil.Mas Raffi pun langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang macet apalagi ini hari Jum'at, besok adalah weekend, biasanya memang jalanan akan lebih padat dari biasanya.Tiba-tiba ponsel Mas Raffi di atas dasboard mobil berdering. Ah ya, sekarang Mas Raffi telah mengganti nomor ponselnya. Tapi nomor lama tetap ada dan aku yang pegang, bagaimanapun sebagai seorang pengusaha, ada banyak kolega dan rekanan bisnis Mas Raffi yang sudah menyimpan kontak nomor itu.Tapi jangan tanya, selain ada banyak rekan bisnis yang menghubunginya di nomor itu, ada juga beberapa kolega perempuan yang sengaja mengirim pesan pada Mas Raffi untuk membahas hal lain yang menjurus ke arah lebih pribadi.Resiko menjad
Seperti biasa Tante Anita memandangku dengan tatapan tak suka."Oh ya nggak, acaranya sih jam sepuluh, tapi kan biasa lah, namanya orang Indonesia pasti ngaret. Eh lha ini Putri masih anteng aja? Gimana? Kok kalah sama Dea yang baru nikah kemarin langsung isi. Kamu kapan? Jangan-jangan kamu KB ya? Karena sibuk ngurusin perusahaan?" tanya Tante Anita di depan para saudara yang tengah berkumpul, tentu membuat pandangan semua orang yang ada di ruangan ini langsung tertuju padaku.Aku hanya tersenyum tipis, Dea bukannya langsung isi, tapi memang sudah tekdung duluan."Oh, Putri ya nggak KB kok, cuma belum waktunya aja belum di kasih, Insya Allah nanti juga di kasih, doain aja ya Nit," ucap Mama Maya membela.Aku mengangguk tersenyum."Kalau nggak KB kenapa belum juga isi? Jangan-jangan kamu mandul." Tante Anita kini menatap serius padaku.Kata-katanya sungguh menohok. Bagaikan belati tajam yang menghujam hati ini. Sakit."Enggaklah Tante, insya Allah kami berdua sama-sama sehat," ucapku.