Seperti biasa Tante Anita memandangku dengan tatapan tak suka."Oh ya nggak, acaranya sih jam sepuluh, tapi kan biasa lah, namanya orang Indonesia pasti ngaret. Eh lha ini Putri masih anteng aja? Gimana? Kok kalah sama Dea yang baru nikah kemarin langsung isi. Kamu kapan? Jangan-jangan kamu KB ya? Karena sibuk ngurusin perusahaan?" tanya Tante Anita di depan para saudara yang tengah berkumpul, tentu membuat pandangan semua orang yang ada di ruangan ini langsung tertuju padaku.Aku hanya tersenyum tipis, Dea bukannya langsung isi, tapi memang sudah tekdung duluan."Oh, Putri ya nggak KB kok, cuma belum waktunya aja belum di kasih, Insya Allah nanti juga di kasih, doain aja ya Nit," ucap Mama Maya membela.Aku mengangguk tersenyum."Kalau nggak KB kenapa belum juga isi? Jangan-jangan kamu mandul." Tante Anita kini menatap serius padaku.Kata-katanya sungguh menohok. Bagaikan belati tajam yang menghujam hati ini. Sakit."Enggaklah Tante, insya Allah kami berdua sama-sama sehat," ucapku.
"Kita pamit sekarang?" bisik Mas Raffi sesaat setelah acara selesai."Tapi aku nggak enak Mas, masih pada kumpul semua orang," sahutku."Nanti aku yang pamit, kamu ngikut aja di belakangku." Aku hanya menurut.Beberapa menit yang lalu ...."Duh, sayang ya, cantik, pinter, tapi ternyata kurang subur," ucap Tante Anita, dan Tante Syakira ikut tertawa. Ya, mentertawakan diriku tentunya."Kayaknya kamu salah pilih mantu deh May, kamu sih nggak tengok dulu bibit, bebet, bobotnya. Jadi gini kan," ucap Tante Anita lagi.Yang kurasakan kini wajahku memanas, mendengar ucapan mereka. Dari sudut mataku aku bisa melihat beberapa kali Mas Raffi melirik ke arahku. Ia pasti sangat mengkhawatirkan aku."Anita, sudah lah jangan seperti itu, bagiku, Putri adalah mantuku yang terbaik." Walaupun Mama Maya membelaku, tapi aku yakin hatinya pasti terusik. Aku takut ia mulai terhasut oleh kompor meleduk seperti Tante Anita."Ya, ya, ya, belain aja terus nanti kalau sudah terbukti tak bisa kasih keturunan, b
Minggu sore kami kembali ke Jakarta. Selama dua hari di puncak, aku dan Mas Raffi memang mematikan ponsel. Kami ingin benar-benar menikmati masa kebersamaan kami berdua.Sesampai di rumah, justru kami sudah di sambut Mama dan Papa yang sudah ada di rumah.Ketika mobil kami telah sampai di depan rumah, sudah ada mobil Papa terparkir di sana."Ada Mama sama Papa Mas, di rumah," ucapku pada Mas Raffi."Iya, kok tumben. Coba kamu nyalain hape."Nanti nyalain di rumah Mas, sekarang kita turun dulu, kamu sih nyuruh aku matiin semua hape," sungutku.Mas Raffi memilih mengabaikanku, dan bergegas turun dari mobil, aku pun mengikutinya."Raffi, Putri! Darimana kalian? Hape mati semua dua-duanya," ucap Mama sesaat setelah kami memasuki pintu rumah."Refreshing Ma, ada apa Ma?" tanya Mas Raffi."Ada apa, ada apa, ya jelas Mama khawatir lah! Hape kalian matikan semuanya," ucap Mama terlihat gemas pada kami, aku hanya nyengir, toh itu juga keinginan Mas Raffi, anak mama sendiri, gumamku."Ya matiin
Waktu terus berjalan, tak terasa setahun sudah pernikahanku dengan Mas Raffi tapi belum juga ada tanda-tanda aku hamil, haidku lancar, teratur setiap bulan, cek ke dokter pun sudah, hasilnya kami berdua sama-sama sehat, tak ada masalah yang berarti dalam diriku ataupun Mas Raffi."Kenapa aku belum juga hamil ya Mas? Aku takut Mama sama Papa kecewa sama aku karena belum bisa memberikan cucu pada mereka," ucapku pada Mas Raffi malam ini."Kamu tenang Sayang, baru juga setahun, dulu Mama sama Papa juga menunggu aku hadir di tengah-tengah mereka setelah pernikahan mereka menginjak tiga tahun," sahut Mas Raffi membuatku langsung menoleh ke arahnya."Iyakah Mas?""Iya, dan kamu tahu, perjuangan mereka dari cara tradisional, urut sana sini, minum jamu ini dan itu, sampai ke cara modern, promil ke dokter, semua mereka lakukan."Aku tercengang. "Kita kan baru setahun, ya anggap aja ini adalah bonus untuk kita pacaran dulu, kan kita nggak ada pacaran sebelum nikah, jadi ya pacarannya setelah n
Tante Ranti masih sangat terpukul atas kepergian Vivi, sedangkan Om Edwin lebih banyak diam, tatapannya kosong.Mas Raffi langsung kembali ke kantor usai mengantar jenazah Vivi ke pemakaman, sedangkan aku hari ini memilih untuk tetap di sini menemani Tante Ranti, dan seperti biasa meminta Damar untuk meng-handle semua urusan kantor."Arka, sini Sayang," panggilku pada bocah laki-laki itu. Perawakannya lebih kecil dari anak seusianya. Kulitnya putih, matanya sipit, jika di lihat seksama memang dia begitu mirip dengan Rendi."Kamu mau makan?"Ia menggeleng, terlihat netranya memancarkan kesedihan. Sejak bayi di tinggal oleh Vivi, dan bertemu kembali saat dia berusia lima tahun, membuatnya tidak begitu dekat dengan Vivi–ibunya.Arka lebih pendiam dibandingkan dengan anak sepantaran dengannya, dimana usia segitu akan lebih aktif bertanya tentang banyak hal. Tapi Arka berbeda. Mungkinkah ia merasa terabaikan menjadikan dirinya pribadi yang pendiam?"Tante ambilkan nasi ya, Tante suapin mau
Selesai acara tahlil, kami pamit untuk pulang ke rumah, lumayan jauh dari rumah Tante Ranti ke rumahku, bisa satu jam lebih kalau keadaan macet."Kamu kenapa Sayang?" tanya Mas Raffi saat kami sudah berada di dalam mobil, aku melihat keluar jendela, menikmati perjalanan malam ini, yang di temani rintik hujan.Titik-titik air membekas di kaca jendela, kemudian meninggalkan embun."Hm, nggak apa-apa Mas. Aku ... Nggak nyangka aja, Vivi pergi secepat itu.""Itu sudah kehendak Allah Sayang. Insya Allah ini yang terbaik untuk dia. Semua yang sudah terjadi biar jadi pembelajaran buat kita." Aku mengangguk."Gimana kerjaan kamu di kantor Mas?""Ya biasa, nggak ada yang spesial, semuanya berjalan sesuai dengan yang seharusnya."Ehm, oh ya, aku penasaran sama Mariana, apa sekarang dia masih sering menggodamu?" tanyaku. Tiba-tiba saja aku teringat pada perempuan itu, sekretarisnya Mas Raffi."Biasa aja. Kenapa memangnya? Tumben kamu nanyain dia?" tanya Mas Raffi yang mungkin heran dengan pertan
Mobil yang di kendarai Mas Raffi memasuki halaman rumah. Aku sendiri sudah tak tahan ingin cepat masuk ke dalam rumah. "Kamu kenapa Sayang?" Aku hanya menggeleng, dalam hati tak sabar menunggu Mas Raffi membuka pintu mobil yang terkunci.Begitu terdengar klek. Aku langsung membuka pintu mobil, dan berjalan secepatnya masuk ke dalam rumah, tempat pertama yang kutuju adalah kamar mandi. Aku langsung masuk ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutku yang sejak di dalam mobil tadi sudah bergejolak."Sayang, kamu nggak apa-apa kan?" Mas Raffi mengetuk pelan pintu kamar mandi, tapi aku tak mampu menyahutinya. Aku masih terus mengeluarkan makanan yang tadi kumakan dari dalam perutku.Kepalaku pusing, perutku sangat tak nyaman.Setelah dirasa cukup lebih baik setelah muntah, aku berkumur dan mencuci muka. Sejenak aku terdiam menatap diri dari pantulan cermin."Sayang! Kamu nggak kenapa-napa?" Kembali terdengar suara Mas Raffi di luar."Aku nggak apa-apa Mas!" sahutku.Mungkin aku masuk angi
"Mbak! Mbak Putri! Mbak nggak apa-apa?" seru Bik Jum dari balik pintu kamar mandi, sedangkan aku masih menatap tespek garis dua itu dengan tangan bergetar."Mbak kenapa Mbak? Mbak nangis?" tanyanya lagi, terdengar begitu khawatir padaku."Aku nggak apa-apa Bik," sahutku pelan."Bener Mbak nggak apa-apa?""Ya!""Ya sudah, ini sarapannya Bibik taruh di meja ya?!""Ya Bik! Makasih ya, aku nggak apa-apa kok." Aku menyahut dari dalam, dengan suara parau. Dalam hati aku masih belum percaya kalau ini benar-benar nyata. "Ya Allah akhirnya aku akan jadi seorang ibu," gumamku pelan. Ingin menghubungi Mas Raffi dan memberitahukan kabar bahagia ini, tapi rasanya kurang seru kalau langsung memberitahunya. Tiba-tiba muncul ide di kepalaku. Aku tersenyum membayangkan reaksi Mas Raffi nanti.Aku kembali ke kamar mendapati sarapan pagiku di atas nampan, dengan segelas susu jahe.Meski rasanya perutku masih enek dan kurang nyaman, mengingat ada janin di dalam sini, aku harus makan."Alhamdulillah, y