Mobil yang di kendarai Mas Raffi memasuki halaman rumah. Aku sendiri sudah tak tahan ingin cepat masuk ke dalam rumah. "Kamu kenapa Sayang?" Aku hanya menggeleng, dalam hati tak sabar menunggu Mas Raffi membuka pintu mobil yang terkunci.Begitu terdengar klek. Aku langsung membuka pintu mobil, dan berjalan secepatnya masuk ke dalam rumah, tempat pertama yang kutuju adalah kamar mandi. Aku langsung masuk ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutku yang sejak di dalam mobil tadi sudah bergejolak."Sayang, kamu nggak apa-apa kan?" Mas Raffi mengetuk pelan pintu kamar mandi, tapi aku tak mampu menyahutinya. Aku masih terus mengeluarkan makanan yang tadi kumakan dari dalam perutku.Kepalaku pusing, perutku sangat tak nyaman.Setelah dirasa cukup lebih baik setelah muntah, aku berkumur dan mencuci muka. Sejenak aku terdiam menatap diri dari pantulan cermin."Sayang! Kamu nggak kenapa-napa?" Kembali terdengar suara Mas Raffi di luar."Aku nggak apa-apa Mas!" sahutku.Mungkin aku masuk angi
"Mbak! Mbak Putri! Mbak nggak apa-apa?" seru Bik Jum dari balik pintu kamar mandi, sedangkan aku masih menatap tespek garis dua itu dengan tangan bergetar."Mbak kenapa Mbak? Mbak nangis?" tanyanya lagi, terdengar begitu khawatir padaku."Aku nggak apa-apa Bik," sahutku pelan."Bener Mbak nggak apa-apa?""Ya!""Ya sudah, ini sarapannya Bibik taruh di meja ya?!""Ya Bik! Makasih ya, aku nggak apa-apa kok." Aku menyahut dari dalam, dengan suara parau. Dalam hati aku masih belum percaya kalau ini benar-benar nyata. "Ya Allah akhirnya aku akan jadi seorang ibu," gumamku pelan. Ingin menghubungi Mas Raffi dan memberitahukan kabar bahagia ini, tapi rasanya kurang seru kalau langsung memberitahunya. Tiba-tiba muncul ide di kepalaku. Aku tersenyum membayangkan reaksi Mas Raffi nanti.Aku kembali ke kamar mendapati sarapan pagiku di atas nampan, dengan segelas susu jahe.Meski rasanya perutku masih enek dan kurang nyaman, mengingat ada janin di dalam sini, aku harus makan."Alhamdulillah, y
"Ini bukan mimpi kan? Aku akan jadi seorang Ayah?" tanya Mas Raffi aku mengangguk.Mas Raffi tersenyum, dan merebahkan tubuhku di pembaringan, ia sendiri duduk di sisiku. Kembali ia menciumi wajahku, kemudian wajahnya turun ke bawah, menyingkap baju atasan yang kukenakan, lalu mencium lembut perutku, sampai akhirnya aku tertawa karena rasa geli yang menggelitik."Sehat-sehat di dalam sini ya anak Ayah, jangan nakal, kasihan Mama," ucapnya sambil mengelus perutku. Aku tertawa geli melihatnya."Aku maunya dipanggil Bunda, Mas!" rajukku."Kenapa?""Nggak apa-apa, pengin aja." Ia pun mengangguk tersenyum dan kembali berkata di dekat perutku."Jangan nakal di dalam sini ya Nak, kasihan Bunda, kalau muntah-muntah terus, oke!"Kembali aku tergelak mendengar ucapannya, seakan ngomong sendiri."Aku mandi dulu, abis Maghrib kita ke dokter kandungan, untuk cek, biar pasti, oke!"Mas Raffi pun berjalan ke kamar mandi, aku menyiapkan baju gantinya.*"Ini adalah rahim ya Bu, dan ini adalah janinn
Mama dan Papa menatap haru disertai lengkungan menghiasi bibirnya."Alhamdulillah, terimakasih Sayang, akhirnya kita benar-benar mau jadi Nenek dan Kakek Pa!" ucap Mama dengan berbinar menatap Papa yang masih fokus melihat lembaran print out hasil usg."Mama doain biar Dedek di dalam sini sehat ya Ma," ucapku di dalam pelukan Mama."Iya Sayang, itu pasti. Mama dan Papa selalu doain kalian, dan sekarang Alhamdulillah doa Mama terkabul, kamu mengandung cucu mama." Mama terus saja bicara tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya."Pokoknya kamu nggak boleh kecapekan ya Sayang. Kamu jaga baik-baik ini." Aku mengangguk tersenyum."Mual-mual nggak kamu Put?" tanyanya lagi."Ya mual parah Ma, abis makan keluar lagi, kemarin aja sampai lemas banget, tapi ini udah mending sih, setelah minum obat mual dari dokter, ya walaupun masih ada mual juga tapi mendingan, nggak kayak kemarin," jelasku."Nggak apa-apa itu wajar hamil muda memang begitu, Mama juga dulu hamil Raffi begitu, sama.""Iyakah Ma?"
[Siapa yang beliin?!][Ada 'lah orang baik.][Siapa?]Tak berapa lama ponselku berdering, Mas Raffi menelpon."Hallo assalamualaikum, Mas.""Hem, wa'alaikumusalam. Siapa yang beliin?" tanyanya serius."Ehm, siapa ya?""Siapa?!""Nggak. Nggak ada yang beliin, aku beli sendiri.""Dimana?""Di orang yang jual Tutut 'lah!""Kamu pergi sendiri? Nggak percaya aku.""Eh, nggak percaya ya sudah. Aku mau makan lagi Tututnya, ini enak banget. Udah lama banget aku nggak makan ini. Udah ya. Daaah, Assalamualaikum!""Wa'alaikumusalam."Panggilan berakhir.Aku kembali menyantap semangkuk Tutut pedas.Aku rela merogoh kocek lebih dalam, untuk membayar ongkir karena yang jual lokasinya jauh, bahkan di luar Jakarta, lokasinya di Bekasi. Tak mengapa harga ongkos kirim lebih mahal dari harga Tututnya. Tak apa, demi keinginan. Dan demi si utun tentunya.Selesai makan aku berisitirahat. Hari ini aku nggak ngantor lagi, Insya Allah besok kalau kondisinya lebih baik, aku akan kembali aktif di kantor, beber
Pov Author.Matahari sudah mulai meninggi saat Anisa membuka matanya, beberapa kali ia mengerjap, karena sinar matahari yang menembus jendela kaca kamarnya. Ia menoleh di sebelahnya sang suami masih tertidur lelap karena kelelahan usai melakukan aktivitas panas selepas subuh tadi.Perlahan Anisa mulai beringsut turun dari ranjang, untuk menggeser tubuhnya saja ia terlihat begitu kepayahan. Ya, usia kandungannya kini memasuki sembilan bulan, hanya tinggal menghitung hari, ia akan berjumpa dengan buah hati yang sudah di tunggunya sejak lama.Pelan ia mulai melangkah ke kamar mandi, satu tangannya memegang pinggangnya yang terasa sakit.Selesai mandi ia berniat membangunkan Raffi lalu turun untuk sarapan pagi."Mas bangun, yuk." Anisa menggoyangkan tubuh Raffi yang masih bergelung selimut. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi.Laki-laki itu pun menggeliat, perlahan membuka matanya, mendapati istrinya sudah cantik dengan rambut tergerai yang masih basah, duduk disebelahnya."Kamu uda
Secepat kilat cepat tubuhnya di seret hingg ke tempat yang sepi. Di tariknya kerah bajunya hingga membuatnya pasrah, karena tiba-tiba kepalanya pusing mendapat pukulan tiba-tiba."Brengsek! Masih berani Lu datang kemari! Hah?!" Rendi menatap laki-laki di depannya dengan tatapan berkunang-kunang."Adrian.""Ya! Ini Gue! Masih ingat Lu sama Gua Hah! Gara-gara Lu semuanya jadi begini, Brengsek! Sudah lama Gua menunggu saat ini, saat untuk menghajar laki-laki pengecut seperti Elu!"Bugh!Lagi sebuah pukulan mendarat di wajahnya."Hidup Gua hancur gara-gara Lu! Tau nggak! Hah?!""Lu emang pantas mendapatkan ini!"Bugh!Lagi-lagi Adrian memukul Rendi membabi buta. Suasana kawasan itu yang kebetulan sepi, tak ada yang mampu melerai. Rendi pasrah jika ia harus mati di tangan Adrian saat ini juga."Sabar Bung! Sabar! Sabar!" Pengendara motor berboncengan dengan temennya yang kebetulan lewat melihat Adrian kalap, itu pun langsung berhenti dan berniat melerai keduanya.Akhirnya mereka bisa dipis
Satu tahun kemudian ...."Adrian, saya nggak mau tahu, sesuai dengan janji kamu, kamu harus berhasil membujuk Dania untuk bercerai dengan suaminya, dan menikah dengan Ilyas!" Bu Helena menatap tajam Adrian. Sore itu Bu Helena tetangga dekat rumahnya mengundangnya ke rumah, untuk membicarakan masalah dua tahun lalu.Dua tahu lalu di saat Adrian terlilit hutang dengan Wahyu sang rentenir, Helena lah yang menawarkan bantuan, meminjamkan uang pada Adrian unyuk menutupi semua hutang itu, tapi bukan tanpa alasan Helena merelakan uang lima puluh juta miliknya untuk Adrian.Helena mau menggelontorkan uang segitu besar dengan harapan Dania mau menjadi menantunya. Sejak dulu, sejak Dania kecil, entah mengapa hati wanita itu begitu sangat menyukai Dania, dirinya yang memiliki tiga anak laki-laki rasanya senang ketika melihat celoteh Dania kecil. Sampai Dania tumbuh dewasa, Dania kini menjelma menjadi gadis yang cantik jelita, tentu membuat Helena makin suka melihat Dania.Rangga dan Riyu kedua