"Ehm, Putri, kamu juga ikut?" Dahiku mengerenyit."Ya, memangnya ada yang salah jika aku ikut?" sergahku."Ehm bu–bukan begitu, aku kira tadi ... Ah tidak, mari silahkan duduk." Ia mempersilakan kami duduk.Entah apa maksud dari Lidia bersikap seperti itu, terkesan aneh menurutku. Justru harusnya aku yang bertanya, untuk apa mereka bertemu? Mereka sudah memiliki kehidupan masing-masing, sudah punya pasangan masing-masing. Apakah pantas mereka bertemu di luar? Aku menatap Mas Raffi. Ia terlihat tersenyum santai membalas tatapanku.Aku masih menatapnya lamat-lamat seakan bertanya 'apa maksudnya ini Mas?' Mas Raffi mengangguk tersenyum seakan paham akan tatapan mataku, dan seolah berkata, 'nggak apa-apa semuanya akan baik-baik saja' begitu kira-kira.Kemudian dengan lembut ia menyentuh jemariku."Jadi ada apa Lidia? Kamu mau minta tolong apa?" tanya Mas Raffi pada perempuan mantan kekasihnya itu."Ehm ...." Lidia terlihat bingung."Mungkin sebaiknya kita makan siang dulu aja kali ya," u
"Kamu mikirnya kejauhan Sayang," ucap Mas Raffi sambil terus fokus menatap jalanan di depannya.Aku membuang napas berat, makin kesal rasanya."Apa kamu nggak ngerasa bagaimana tatapan dia sama kamu tadi?""Enggak, aku nggak ada lihat dia, yang aku lihat hanya kamu, dan kamu yang paling cantik," godanya."Nggak lucu ya Mas! Kita lagi serius!" sentakku tajam.Mas Raffi pun langsung terdiam. Hingga mobil telah sampai di kantor, kami berdua saling diam.Aku langsung turun dari mobil dan langsung naik ke atas menuju ruanganku.Ternyata saat aku menoleh ke belakang Mas Raffi masih mengekor dibelakang."Sayang, dengerin aku dulu," ucap Mas Raffi begitu kami memasuki ruang kerjaku. Aku langsung menghempaskan tubuhku di kursi kebesaranku, dan meneguk segelas air putih di meja hingga tandas tak tersisa.Mas Raffi langsung menarik kursi di depanku lalu mendaratkan bobotnya di sana."Sayang, please," ucapnya lagi. Aku seolah tak peduli, mulai kubuka file yang menumpuk di depanku, dan mulai beke
"Sayang, aku udh di depan ya," ucap Mas Raffi melalui sambungan telepon."Iya Mas, tunggu sebentar aku turun," sahutku padanya.Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, suka duka hidup berumah tangga dengannya kami jalani dengan penuh suka cita.Aku bergegas keluar gedung dan masuk ke dalam mobil.Mas Raffi pun langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang macet apalagi ini hari Jum'at, besok adalah weekend, biasanya memang jalanan akan lebih padat dari biasanya.Tiba-tiba ponsel Mas Raffi di atas dasboard mobil berdering. Ah ya, sekarang Mas Raffi telah mengganti nomor ponselnya. Tapi nomor lama tetap ada dan aku yang pegang, bagaimanapun sebagai seorang pengusaha, ada banyak kolega dan rekanan bisnis Mas Raffi yang sudah menyimpan kontak nomor itu.Tapi jangan tanya, selain ada banyak rekan bisnis yang menghubunginya di nomor itu, ada juga beberapa kolega perempuan yang sengaja mengirim pesan pada Mas Raffi untuk membahas hal lain yang menjurus ke arah lebih pribadi.Resiko menjad
Seperti biasa Tante Anita memandangku dengan tatapan tak suka."Oh ya nggak, acaranya sih jam sepuluh, tapi kan biasa lah, namanya orang Indonesia pasti ngaret. Eh lha ini Putri masih anteng aja? Gimana? Kok kalah sama Dea yang baru nikah kemarin langsung isi. Kamu kapan? Jangan-jangan kamu KB ya? Karena sibuk ngurusin perusahaan?" tanya Tante Anita di depan para saudara yang tengah berkumpul, tentu membuat pandangan semua orang yang ada di ruangan ini langsung tertuju padaku.Aku hanya tersenyum tipis, Dea bukannya langsung isi, tapi memang sudah tekdung duluan."Oh, Putri ya nggak KB kok, cuma belum waktunya aja belum di kasih, Insya Allah nanti juga di kasih, doain aja ya Nit," ucap Mama Maya membela.Aku mengangguk tersenyum."Kalau nggak KB kenapa belum juga isi? Jangan-jangan kamu mandul." Tante Anita kini menatap serius padaku.Kata-katanya sungguh menohok. Bagaikan belati tajam yang menghujam hati ini. Sakit."Enggaklah Tante, insya Allah kami berdua sama-sama sehat," ucapku.
"Kita pamit sekarang?" bisik Mas Raffi sesaat setelah acara selesai."Tapi aku nggak enak Mas, masih pada kumpul semua orang," sahutku."Nanti aku yang pamit, kamu ngikut aja di belakangku." Aku hanya menurut.Beberapa menit yang lalu ...."Duh, sayang ya, cantik, pinter, tapi ternyata kurang subur," ucap Tante Anita, dan Tante Syakira ikut tertawa. Ya, mentertawakan diriku tentunya."Kayaknya kamu salah pilih mantu deh May, kamu sih nggak tengok dulu bibit, bebet, bobotnya. Jadi gini kan," ucap Tante Anita lagi.Yang kurasakan kini wajahku memanas, mendengar ucapan mereka. Dari sudut mataku aku bisa melihat beberapa kali Mas Raffi melirik ke arahku. Ia pasti sangat mengkhawatirkan aku."Anita, sudah lah jangan seperti itu, bagiku, Putri adalah mantuku yang terbaik." Walaupun Mama Maya membelaku, tapi aku yakin hatinya pasti terusik. Aku takut ia mulai terhasut oleh kompor meleduk seperti Tante Anita."Ya, ya, ya, belain aja terus nanti kalau sudah terbukti tak bisa kasih keturunan, b
Minggu sore kami kembali ke Jakarta. Selama dua hari di puncak, aku dan Mas Raffi memang mematikan ponsel. Kami ingin benar-benar menikmati masa kebersamaan kami berdua.Sesampai di rumah, justru kami sudah di sambut Mama dan Papa yang sudah ada di rumah.Ketika mobil kami telah sampai di depan rumah, sudah ada mobil Papa terparkir di sana."Ada Mama sama Papa Mas, di rumah," ucapku pada Mas Raffi."Iya, kok tumben. Coba kamu nyalain hape."Nanti nyalain di rumah Mas, sekarang kita turun dulu, kamu sih nyuruh aku matiin semua hape," sungutku.Mas Raffi memilih mengabaikanku, dan bergegas turun dari mobil, aku pun mengikutinya."Raffi, Putri! Darimana kalian? Hape mati semua dua-duanya," ucap Mama sesaat setelah kami memasuki pintu rumah."Refreshing Ma, ada apa Ma?" tanya Mas Raffi."Ada apa, ada apa, ya jelas Mama khawatir lah! Hape kalian matikan semuanya," ucap Mama terlihat gemas pada kami, aku hanya nyengir, toh itu juga keinginan Mas Raffi, anak mama sendiri, gumamku."Ya matiin
Waktu terus berjalan, tak terasa setahun sudah pernikahanku dengan Mas Raffi tapi belum juga ada tanda-tanda aku hamil, haidku lancar, teratur setiap bulan, cek ke dokter pun sudah, hasilnya kami berdua sama-sama sehat, tak ada masalah yang berarti dalam diriku ataupun Mas Raffi."Kenapa aku belum juga hamil ya Mas? Aku takut Mama sama Papa kecewa sama aku karena belum bisa memberikan cucu pada mereka," ucapku pada Mas Raffi malam ini."Kamu tenang Sayang, baru juga setahun, dulu Mama sama Papa juga menunggu aku hadir di tengah-tengah mereka setelah pernikahan mereka menginjak tiga tahun," sahut Mas Raffi membuatku langsung menoleh ke arahnya."Iyakah Mas?""Iya, dan kamu tahu, perjuangan mereka dari cara tradisional, urut sana sini, minum jamu ini dan itu, sampai ke cara modern, promil ke dokter, semua mereka lakukan."Aku tercengang. "Kita kan baru setahun, ya anggap aja ini adalah bonus untuk kita pacaran dulu, kan kita nggak ada pacaran sebelum nikah, jadi ya pacarannya setelah n
Tante Ranti masih sangat terpukul atas kepergian Vivi, sedangkan Om Edwin lebih banyak diam, tatapannya kosong.Mas Raffi langsung kembali ke kantor usai mengantar jenazah Vivi ke pemakaman, sedangkan aku hari ini memilih untuk tetap di sini menemani Tante Ranti, dan seperti biasa meminta Damar untuk meng-handle semua urusan kantor."Arka, sini Sayang," panggilku pada bocah laki-laki itu. Perawakannya lebih kecil dari anak seusianya. Kulitnya putih, matanya sipit, jika di lihat seksama memang dia begitu mirip dengan Rendi."Kamu mau makan?"Ia menggeleng, terlihat netranya memancarkan kesedihan. Sejak bayi di tinggal oleh Vivi, dan bertemu kembali saat dia berusia lima tahun, membuatnya tidak begitu dekat dengan Vivi–ibunya.Arka lebih pendiam dibandingkan dengan anak sepantaran dengannya, dimana usia segitu akan lebih aktif bertanya tentang banyak hal. Tapi Arka berbeda. Mungkinkah ia merasa terabaikan menjadikan dirinya pribadi yang pendiam?"Tante ambilkan nasi ya, Tante suapin mau
Dua bulan sudah terhitung sejak Adrian mulai datang hampir setiap hari ke rumah Yulia untuk membantu segala sesuatu kebutuhan Anita.Merawat orang lumpuh ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Tanpa rasa sungkan Adrian membantu mengangkat tubuh Anita jika hendak ke kamar mandi. Barulah setelah di bawa ke kamar mandi urusan mandi atau buang air akan di bantu oleh Yulia atau Sumi.Adrian duduk termenung di ruang tamu menunggu Anita yang sedang dimandikan oleh Yulia di dalam.Sebenarnya ia tak masalah membantu sampai sejauh ini, Adrian ikhlas. Hanya saja kalau Anita tetap tak merestui hubungan mereka, apa semua yang sudah ia lakukan ini akan sia-sia belaka?"Kenapa? Kok ngelamun? Kamu capek? Bantu Aku dan Mama?" Adrian terkejut tiba-tiba Yulia ada di sebelahnya."Oh, nggak aku lagi menikmati pemandangan bunga-bunga di halaman aja." Adrian berkilah."Oh. Kalau di rasa sudah tak sanggup membantu, katakan saja, aku nggak apa-apa."Adrian terdiam. Baginya cinta yang sudah terlanjur tumbuh
"Selamat pagi Tante," sapa Adrian hari Minggu pagi ini ia datang ke rumah Yulia. Kini Yulia sedang membawa ibunya yang duduk di kursi roda, bermaksud untuk menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Sebuah rutinitas yang tak pernah terlewatkan setiap pagi, agar tubuhnya Anita lebih segar.Adrian datang dengan membawa buah dan kue red Velvet kesukaan Anita.Anita diam, dari raut wajahnya masih memperlihatkan ketidaksukaannya pada Adrian, meski ia tahu Adrian adalah orang yang menolong nyawanya ketika waktu ia butuh transfusi darah. Anita tetap keras kepala, sekali tak suka maka sampai kapanpun ia tetap tak suka.Adrian tersenyum, ia paham dirinya masih belum diterima oleh Anita."Mulai sekarang Saya akan sering datang untuk menemui Tante. Jadi kalau ada apa-apa yang dibutuhkan, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Tante."Anita mendelik mendengar ucapan Adrian."Memangnya kamu siapa?! Nggak! Nggak perlu kamu datang kemari sering-sering! Bikin mata sepet aja!" sentak Anita.Sedangkan Y
Semenjak hari itu Yulia benar-benar sulit ditemui, bahkan di kantornya, Adrian tak dapat menemuinya. Gadis itu benar-benar serius dengan ucapannya, yaitu ingin instrospeksi diri juga berpikir lebih jernih mengenai hubungan mereka ke depan.Jangan tanya bagaimana suasana hati Adrian. Tidak bisa mendengar suara Yulia, tak bisa melihat senyumannya, tentu rasanya sangat menyiksa.Ternyata sesakit diabaikan. Apa kabar dengan hati Yulia yang menunggu selama berbulan-bulan, menyembunyikan perasaannya sampai pada akhirnya Adrian menyambut cinta itu.Adrian tak pernah menyerah, ia kembali mencoba menghubungi Yulia melalui sambungan telepon.Namun tetap sama, tidak diangkat.Hingga lebih dari dua minggu kondisi ini berlalu. Adrian menyerah tak lagi mengubungi gadisnya. Ia sudah pasrah. Jika memang mereka ditakdirkan bersama maka insya Allah nanti mereka akan bersama-sama. Tapi jika memang takdir tak menyatukan mereka maka Adrian akan berusaha ikhlas.Ikhlas adalah titik terdalam sebuah perasaa
Mendadak wajah Adrian pucat, ia terlihat gugup menatap Yulia yang menatapnya tajam."Ehm, Li, aku akan jelasin ke kamu semuanya, dan kamu jangan dulu salah paham, oke." Yulia masih terdiam menunggu penjelasan seperti apa yang akan Adrian katakan.Setelah keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat, Adrian meneguk jus alpukat miliknya."Aku khilaf telah bermain api di belakang Anisa," ucap Adrian jujur. Sebenarnya ia tak tahu lagi dari mana ia harus memulai bercerita, kata-kata seperti apa yang harus ia rangkai dan ia katakan pada Yulia.Ia tak ingin Yulia jadi salah tangkap dan jadi membencinya, Adrian tak sanggup jika harus kehilangan Yulia. Baginya Anisa sudah menjadi masa lalu, dan sekarang ia ingin menggapai masa depan bersama gadis manis yang tengah merajuk ini."Khilaf sampai berselingkuh dengan sepupunya istrimu, Yan?!" Yulia menggeleng tak percaya.Adrian tercekat, ia tak mampu membantah karena memang itu faktanya."Aku nggak nyangka kamu ternyata setega itu Yan. Apa kehadiran
"Aku pamit pulang ya Kak, kasihan Mama, pasti sudah menungguku pulang." Jari sudah hampir gelap, Yulia pun pamit untuk pulang.Putri mengantar Yulia hingga ke depan pintu gerbang, saat sebuah taksi mobil yang dipesan Yulia tiba di depan rumah Putri, Yulia langsung naik dan berlalu pulang ke rumahnya.Sepanjang perjalanan, perasaan Yulia gampang, antara tetap melanjutkan atau memilih mundur pada hubungannya dengan Adrian. Sesungguhnya jauh di lubuk hatinya, Yulia sangat mencintai laki-laki itu, sejauh ini, walaupun mamanya menentang keras hubungan mereka, selama ini ia tetap berdiri tegak, teguh pada pendiriannya, yaitu memperjuangkan cinta.Tapi menilik akan kisah masa lalunya Adrian, apakah laki-laki itu benar-benar bisa tulus mencintainya sepanjang hidup mereka? Seperti cintanya pada Adrian.Bagaimana kalau tiba-tiba Adrian mengulangi kesalahan yang pernah ia lakukan pada Anisa? Tentu saja hati Yulia akan hancur.Orang bilang sekali saja laki-laki berselingkuh maka tak menutup kemu
Mendadak raut wajah Putri berubah. Ia merasa kurang nyaman membahas lagi tentang masa lalunya."Ehm maaf Kak, maaf banget. Aku bukan bermaksud untuk mengingatkan Kak Putri tentang masa lalu Kakak, tapi aku sangat butuh informasi tentang Adrian." Yulia berkata dengan sungguh-sungguh.Ia tak ada maksud apapun, ia hanya ingin tahu tentang Adrian. Ia tak ingin salah dalam melangkah.Putri menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia meraih cangkir teh-nya, menyesapnya pelan, berharap ia bisa merasa lebih rileks sebelum memulai bercerita tentang mantan suaminya."Ehm, memangnya Yulia kenal Adrian dimana?" tanyanya yang merasa heran bagaimana bisa sosok Yulia yang terlahir dari keluarga terhormat, tumbuh menjadi gadis cantik, berpendidikan tinggi, dan kini memiliki karir yang bagus di perusahaan tempatnya bekerja, tiba-tiba saja kenal dengan Adrian yang notabenenya hanya laki-laki biasa.Yulia tersenyum kecil."Mas Adrian ... Dia calon suami Yulia Kak," jawabnya.Seketi
"Yulia, boleh Tante ngobrol sebentar?" tanya Maya setelah Adrian pamit pulang."Ada apa Tante?" Yulia mendaratkan bobotnya di sebelah Maya.Maya mengulas senyum lembut pada gadis disebelahnya. Yulia memang cantik, dia juga sangat penurut."Gimana kerjaan kamu? Lancar?" tanya Maya sekedar basa-basi."Alhamdulillah lancar Tante." Yulia menatap lekat wajah Maya, ia seakan bisa membaca gurat ekspresi tantenya yang terlihat sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan."Ada apa Tante? Ada yang ingin Tante katakan sama Yulia?" tanya Yulia langsung pada intinya. Maya pun kembali mengulas senyum."Iya ada sedikit yang ingin Tante tanyakan." Yulia menegakkan tubuhnya seakan ia telah siap untuk mendengarkan apa yang hendak Maya tanyakan."Kamu serius sama laki-laki itu? Siapa itu tadi namanya, ehm ....""Adrian Tante.""Ah ya, Adrian. Apa kamu benar-benar serius dengan hubungan kalian?" "Iya Tante. Yulia sama dia sih serius, tapi masalahnya ada sama Mama, Mama nggak merestui hubungan kami, padaha
Semenjak hari itu Anita lebih banyak diam, tak lagi membahas tentang perjodohan pada Yulia.Sampai pada hari ini rumah Anita kedatangan sepupunya, yang tak lain adalah Maya–ibunya Raffi.Beberapa kali Maya datang ke rumah, dan dua kali menjenguk di rumah sakit. Melihat kondisi sepupunya yang kini terbaring di tempat tidur membuat Maya sedih, karena biasanya saat ada acara kumpul keluarga, Anita selalu menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah mereka. Tapi kini semenjak ia mengalami kecelakaan, Anita seakan tersisih dari keluarga besarnya."Gimana keadaan kamu sekarang Mbak?" tanya Maya. Ia datang sendiri dengan di temani supir."Ya beginilah May, tak ada perubahan apapun, aku cuma wanita tua yang lumpuh, dan merepotkan," ketus Anita.Maya yang memang sudah sangat mengerti karakter Anita pun biasa saja."Sabar Mbak, namanya juga ujian. Alhamdulillah Yulia gadis yang baik, aku lihat dia merawatmu dengan baik."Anita hanya menghela napas. Putrinya memang gadis yang baik, cantik, ta
"Makan dulu Ma." Yulia menyuapi bubur untuk Anita. Namun Anita masih diam tak bergeming."Ma, makanlah sedikit," pinta Yulia lagi, pasalnya semenjak sadar dari komanya mamanya lebih banyak diam, tak mau makan.Akibat kecelakaan yang menimpanya dan masalah pada saraf otaknya, menyebabkan kedua kaki Anita tak bisa digerakkan. Lumpuh.Segala sesuatunya harus di bantu. Yulia jadi sering ijin tak masuk kantor, untungnya pihak kantor berbaik hati memberikan dispensasi karena selama mengabdi pada perusahaan kinerja Yulia bagus."Kamu nggak masuk kerja lagi?" tanya Anita.Beruntung meski kakinya lumpuh, dalam berbicara Anita masih lancar, tak ada masalah."Nggak usah pikirkan tentang kerjaanku Ma, yang penting sekarang Mama harus makan biar cepat sembuh," sahut Yulia."Assalamualaikum, selamat pagi." Tiba-tiba pintu ruang rawat Anita terbuka, menampakkan sosok Adrian.Melihat kehadiran Adrian, Anita langsung membuang muka."Ini aku bawakan buah-buahan dan brownies untuk Tante Anita." Adrian m