Di kantor, Damar yang merasa salah ucap, tidak henti-hentinya menyesali kalimatnya yang ambigu. Sungguh, ia tidak bermaksud membuat Suri kecewa. Mana Suri sudah berniat menerima cintanya lagi. Kesalahpahaman ini harus segera ia selesaikan!"Ngapain Bapak ke rumah saya? 'Kan saya sudah bilang, kalau saya tidak punya printer. Bapak lupa?" dengkus Suri kesal-kesal gemas. Setelahnya Suri bingung sendiri. Mengapa ia jadi uring-uringan begini, hanya karena harapannya tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan. Ya, Suri ingin sekali Damar mencabut kalimat yang mengatakan bahwa ia tidak serius mengatakan soal pernyataan cintanya. Menyadari ke plin plan-an sikapnya, Suri segera mengubah nada bicaranya."Eh, maaf, Pak. Maksud saya--" Suri kehabisan kata-kata. Ia bingung harus meralat apa. "Kamu di mana sekarang?" Damar mengabaikan kata-kata Suri. Ia tidak tenang sebelum bertemu dengan Suri dan menjelaskan segalanya. Lebih tepatnya ia takut kalau Suri berubah pikiran. Jangan sampai Suri malah ba
Sudah lima belas menit Damar duduk di ruang tamu. Namun Suri tidak juga muncul. Tadi Suri pamit ke belakang untuk menyiapkan minuman. Namun sudah sepuluh menit berlalu, sang nyonya rumah belum juga muncul. Damar kian gelisah. Jangan-jangan niat Suri ke dapur hanya untuk menghindarinya saja. Damar mengoyang-goyangkan kakinya gelisah di ruang tamu. Kesabarannya semakin menipis. Setiba di rumah Suri ini tadi, sebenarnya ia ingin langsung saja menjelaskan tentang kesalahpaham di antara mereka berdua. Masalahnya Suri buru-buru mengelak dan menyembunyikan diri ke dapur. Sepertinya Suri belum siap mental untuk bertemu dengannya. Damar meninju telapak tangannya sendiri. Kalau saja waktu bisa diulang, betapa ingin dirinya menghilangkan waktu sekian detik di mana terjadi kerancuan analogi ucapannya. Suri tidak menangkap poin yang benar dari analoginya. Ketika tujuh menit kembali berlalu, Damar tidak tahan lagi. Ia bermaksud langsung ke dapur saja menemui Suri. Dalam keadaan darurat seperti i
"Terima kasih, Suri. Terima kasih. Saya bahagia sekali. Sangat bahagia. Ternyata di akhir usia tiga puluhan saya ini, saya bisa merasakan cinta sejati. Menikmati indahnya dada yang berdebar-debar seperti yang kerap saya baca di puisi-puisi." Damar memegangi jantungnya sendiri. Sungguh, ia sama sekali tidak menduga kalau jatuh cinta dan dibalas cinta itu seperti ini rasanya. Suri mungkin tidak akan percaya kalau sesungguhnya sampai di usianya yang ke-37 ini, ia tidak pernah jatuh cinta. Sejak ia baligh dan kedua orang tuanya mengatakan bahwa ia telah dijodohkan dengan Murni, ia sudah menutup hatinya untuk perempuan manapun juga. Dan kini, setelah ia bisa memilih wanitanya sendiri, perasaannya membuncah. Mungkin seperti ini ungkapan yang mengatakan bahwa apabila sedang jatuh cinta maka dunia adalah milik berdua."Saya menerima cinta Bapak. Karena sesungguhnya akhir-akhir ini saya juga mulai seringkali membayangkan Bapak. Perasaan manis ini hadir sejak kita berdua mulai akrab," aku Sur
"Kamu itu terlalu mudah menyerah, Ri. Bodoh sekali kamu menyerahkan singgasanamu utuh-utuh pada si pelakor. Si Pras itu susahnya sama kamu, eh senangnya malah kamu berikan pada perempuan lain! Mbak nggak ngerti dengan cara berpikirmu." Sulastri, kakak perempuan Suri mengomeli adiknya. Ia gemas sekali melihat kebebalan adiknya. Bisa-bisanya adiknya itu mengalah dan menceraikan Pras. Apa nggak jaipongan sambil hore-hore itu si pelakor?Sulastri sama sekali tidak tahu kalau adik bungsunya ini sudah bercerai. Yang ia ketahui, Suri hanya ribut-ribut kecil dengan Pras, karena Pras diduga mempunyai wanita idaman lainnya. Itu saja yang diceritakan oleh ibunya. Makanya ia diam saja. Ia pikir Suri pasti tidak akan semudah itu menghibahkan suaminya untuk perempuan lain. Ternyata dugaannya salah. Adiknya ini sudah bercerai cukup lama. Hampir sembilan bulan kata ibunya semalam. Kabar itu ia ketahui secara tidak sengaja. Ibunya kelepasan bicara. Ibunya mengatakan bahwa lebaran tahun ini Suri akan
"Mbak, seperti pribahasa ; Rambut boleh sama hitamnya, dalam hati siapa yang tahu. Kita tidak bisa menebak isi hati orang lain. Begitu juga dengan isi hati Bu Sri ataupun Bulik Dewi. Aku tanya sekarang. Mbak Lastri pernah tidak menanyakan kepada Bu Sri atau Bulik Dewi tentang perasaan mereka yang sebenarnya? Tentang bagaimana mereka menyimpan rasa sakit mereka dalam diri masing-masing. Tidak pernah 'kan, Mbak?"Kata-kata Suri membuat Sulastri terdiam. Adik bungsunya ini memang tidak banyak bicara. Namun setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, memang sulit dibantah kebenarannya."Mbak, cara orang menjalankan biduk rumah tangga itu berbeda-beda. Disesuaikan dengan situasi dan kondisi rumah tangga masing-masing tentu saja. Aku tidak bilang kalau prinsip Bu Sri dan Bulik Dewi mempertahankan rumah tangga walau suami masing-masing terus berselingkuh itu salah. Karena apa? Karena aku tidak tahu bagaimana situasi dan kondisi rumah tangga keduanya. Tetapi kalau hal tersebut terjadi kepadaku
"Kalau pengganti si Pras laki-laki ini sih, Mbak setuju. Lihatlah, dipandang dari sudut mana pun tetap enak dilihat. Mana kayaknya kantongnya tebal lagi. Duh, nikmat mana lagi yang kamu dustakan, Ri?" Sulastri tidak jemu-jemunya memandang pacar Suri. Ternyata kalimat selalu ada hikmah dibalik musibah benar adanya. Sulastri mengipas-ngipas wajah dengan kedua tangannya. Ruang tamu Suri mendadak panas setelah kedatangan Damar. Mendengar pujian tanpa sensor kakaknya Suri nyengir. Kakaknya ini memang karakternya tidak suka berpura-pura. Akan halnya Damar, ia seketika tergelak mendengar kefrontalan calon kakak iparnya. Ia langsung menyukai pribadi tanpa basa basi kakak Suri ini. "Terima kasih atas pujiannya, Mbak--""Sulastri. Panggil saja aku Mbak Lastri seperti Suri. Walau sepertinya kita seumuran, tapi tetap saja tuturnya kamu akan menjadi adik iparku. Jadi kamu tetap harus memanggilku Mbak. Dan ini Bulik Dewi." Sulastri menerima jabat tangan Damar. Ia memperkenalkan dirinya dan juga
Untuk pertama kalinya Suri berani mengungkapkan lukanya terhadap orang lain. Ia mengadu dengan air mata berlinang dan napas tersengal-sengal. Bukan hal mudah baginya untuk menceritakan bahwa ada masa dalam hidupnya yang begitu kelam. Masa-masa di mana dirinya dibanding-bandingkan. Disepelekan, dianggap memalukan, seolah-olah dirinya adalah setumpuk kotoran yang tidak pantas disandingkan dengan suaminya yang maha sempurna.Menceritakannya kembali, ibarat menelanjangi dirinya sendiri. Suri sebenarnya sangat malu. Tetapi ia harus. Ia pernah membaca sebuah buku yang mengatakan bahwa ia harus menyembuhkan luka batinnya terlebih dahulu. Selesai berdamai dengan masa lalu. Dengan begitu barulah ia bisa menerima kehadiran orang lain. Sehingga orang yang masuk dalam kehidupannya berikutnya, tidak harus menerima kepahitan yang bukan salahnya. Suri ingin membersihkan sampah-sampah di hatinya dan membuang semua sisa racun-racun yang ada di dalamnya. Suri ingin menerima Damar dengan sepenuh hati d
Seminggu telah berlalu sejak Damar memberitahu tentang pameran UMKM di Prancis. Selama seminggu itu juga Suri bekerja keras membuat design-design terbaru. Menurut Damar sebaiknya ia membuat kreasi-kreasi spektakuler untuk ia pamerkan di sana. Dengan begitu karyanya akan mempunyai daya jual.Untuk itulah Suri mempelajari pasar rajutan di Eropa dengan cara menonton fashion show-fashion show Eropa di internet. Suri juga mencari tahu melalui para influencer-influencer tentang style-style yang diminati oleh orang-orang Eropa. Hasil risetnya menunjukkan beberapa fakta. Bahwa dulu bahan-bahan rajutan atau yang biasa disebut crochet hanya dibuat sebagai pakaian saat musim dingin saja. Setelah kian berkembangnya dunia fashion, dewasa ini crochet sudah bisa digunakan sebagai outfit untuk segala cuaca. Caranya adalah dengan menjadikan crochet sebagai outer atau luaran. Berdasarkan hasil risetnya. Suri pun membuat outer-outer crochet yang manis dan modis. Sebagai bawahan outer, Suri mendesign
"Bagaimana keadaan Ibu?" Suri menghampiri sang ibu yang terbaring di ranjang." Dirinya memang langsung pulang kampung setelah kakaknya mengabari kalau ibu mereka sedang sakit. "Lho kamu kok tiba-tiba ada di sini, Ri? Kamu datang dengan siapa? Damar?""Dengan Pak Min, Bu. Mas Damar besok baru menyusul. Ada rapat tahunan perusahaan. Keadaan Ibu bagaimana?" Suri menggenggam tangan sang ibu. "Seperti yang kamu lihat. Ibu baik-baik saja. Pasti kamu ya yang mengadu pada Suri, Las? Ibu tidak apa-apa kok?" Bu Niken memelototi Sulastri. Putri sulungnya ini sedikit-sedikit selalu mengadu pada Suri."Tidak apa-apa bagaimana? Orang Ibu nyaris stroke kemarin?" bantah Sulastri."Itu 'kan kemarin. Sekarang Ibu toh baik-baik saja. Lain kali jangan sedikit-sedikit mengadu pada Suri. Suri baru beberapa bulan melahirkan. Repot ke mana-mana membawa bayi." "Tidak repot kok, Bu. Kan ada Mbok Inah. Lagi pula sekalian Wira ingin bertemu dengan Pras. Rindu katanya. Kebetulan sekolahnya libur dua hari karen
Suri merapikan gaun hamil babydollnya karena tegang. Saat ini MC tengah membacakan nama-nama pengusaha yang masuk dalam nominasi Anugerah Wirausaha Indonesia atau AWI. Anugerah Wirausaha Indonesia itu sendiri adalah satu acara penghargaan yang diberikan kepada para pengusaha di Indonesia. Kompetisi dan penghargaan AWI ini biasanya dilaksanakan setiap tahunnya. Dan malam ini adalah acara AWI yang ke-22. Yang mana acara diselenggarakan pada ballroom Adi Daya Graha Hotel. Dalam acara AWI tahun ini, Damar yang mewakili PT Karya Tekstil Adhyatna masuk dalam 26 nominasi AWI yang terpilih. "Santai saja, Sayang. Jangan tegang. Nanti anak kita ikutan tegang di dalam sana." Damar menggenggam tangan Suri yang saling terjalin di pangkuan. Astaga, tangan Suri dingin sekali."Saya tidak tegang, Mas. Saya cuma tidak tenang. Masa nama Mas tidak disebut-sebut sih!" Suri mendecakkan lidah. MC dari tadi hanya membacakan nama-nama nominasi pengusaha yang lain."Sabar dong, Sayang. Nominasi yang harus
Dokter Aslan tersenyum tipis. Ia teringat pada Murni Eka Cipta. Sang pendonor yang juga mantan teman sekolahnya. Pada mulanya dokter Aslan tidak mengetahui kalau pendonor kornea mata Pras adalah Murni, teman SMP-nya dulu. Sampai sosok tubuh kaku Murni didorong masuk ke ruang operasi. Berdampingan dengan Pras. "Sudah lama meniatkan kornea matanya untuk saya? Siapa orangnya, Pak Dokter? Pras mengerutkan dahi. Ia penasaran. Siapa orang ini sampai-sampai meniatkan mendonor mata padanya? "Nanti Pak Pras akan tahu sendiri." Dokter Aslan menepuk ringan bahu Pras."Baiklah. Karena operasi ini telah berhasil dengan baik, saya akan memeriksa pasien lain lagi. Nanti siang, Pak Pras sudah bisa keluar dari rumah sakit. Saya ingatkan, besok pagi Bapak harus kembali kontrol ke poli mata untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Gunakan obat tetes mata sesuai dengan anjuran. Hindari menekan atau mengusap bagian mata, dan jangan mengendarai kendaraan bermotor. Tambahannya makanlah makanan yang bergizi s
Pras duduk di sisi ranjang seraya membuka mata perlahan. Ia mengikuti instruksi dokter Aslan. Perban yang membungkus matanya selama dua hari ini akhirnya dibuka juga. Sehari setelah operasi keratoplasti alias cangkok kornea mata, dirinya hanya mengganti perban dan mengecek kondisi mata. Setelah dinyatakan kalau hasil operasinya bagus, baru pada hari kedua inilah ia akan membuka mata hasil keratoplasti. Ia sungguh berterima kasih kepada siapa pun orang yang telah mendonorkan kornea mata padanya.Pras mencoba mengikuti instruksi dokter Aslan. Matanya masih terasa sedikit lengket. Padahal tadi dokter Aslan telah mengusapkan semacam cairan sejuk yang melembabkan matanya. Setelah matanya terbuka, Pras mengedip-ngedipkannya sebentar. Samar-samar ia mulai melihat cahaya terang. Sebuah tirai jendela berwarna hijau muda. Pras terbata-bata mengucap syukur. Akhirnya ia mampu melihat cahaya setelah tiga tahun bergelut dalam kegelapan."Ayah? Ayah sekarang sudah bisa melihat belum?"Suara Wira, p
"Ya sudah, Wira baik-baik di sana ya? Jangan nakal." Suri mengelus puncak kepala Wira. Sang putra mengangguk patuh. "Wira masuk ke dalam mobil dulu sana. Papa ingin berbicara pada bunda." "Siap, Pa." Wira bergegas masuk ke dalam mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menunjukkan bingkisan pada sang ayah. Karena konon katanya ayahnya sudah bisa melihat sekarang."Mas pergi dulu ya, Ri? Kamu dan Dimas baik-baik di rumah. Mas tidak lama. Setelah semua urusan selesai, Mas dan Wira akan langsung pulang ke rumah." Damar mengecup kening Suri mesra. Setelahnya ia mencium sayang pipi anak laki-lakinya.Damar kemudian berjongkok sembari mengelus perut Suri yang sedikit membukit. Ya, Suri tengah mengandung muda. Dirinya dan Suri memang kejar setoran. Usia mereka berdua sudah tidak muda lagi. Untuk mereka berusaha secepat mungkin memiliki keturunan."Adek bayi juga baik-baik di dalam sana ya? Jangan buat Bunda susah ya, Nak ya?" Damar mencium perut Suri. Mengelus-elusnya sebentar. "Ri, jangan kela
Tiga tahun kemudian.Seorang lelaki tua mengecup kening putri kesayangannya untuk yang terakhir kalinya. Setelahnya ia menatap nanar ketika jenazah sang putri didorong masuk ke ruang operasi. Sejurus kemudian satu brankar juga didorong masuk. Pintu kemudian ditutup, bersamaan dengan air matanya yang menetes perlahan. "Selamat jalan, putriku. Ayah bangga padamu karena telah berjuang hingga kamu tidak mampu lagi bertahan. Ayah juga akan melaksanakan pesan terakhirmu. Doakan agar Ayah kuat kehilanganmu. Karena masih ada satu pesanmu lagi yang harus Ayah emban hingga Ayah tutup usia."Air mata sang lelaki tua terus menetes, tanpa sang lelaki tua itu sadar. Ia menangis tanpa suara tanpa emosi. Selama tiga tahun menemani putri tunggalnya ini berjuang melawan penyakit-penyakitnya, tidak sekalipun ia menangis. Ia tidak mau putrinya melihatnya patah semangat.Namun hari ini, semua emosi yang selama ini ditahan-tahannya sendiri luruh. Ia telah kehilangan istrinya bertahun lalu. Dan kini ia ju
Dengan besar hati Murni meminta maaf atas semua kesalahannya. Dua minggu belakangan ini ia sudah menyadari semua kesalahannya. Ia juga sudah meminta maaf pada Pras, walau yang bersangkutan tidak bersedia menerima teleponnya. Menurut orang tua Pras, sekarang Pras kerap mengurung diri di kamar. Pras sedang menjalani fase-fase terburuk dalam hidupnya. "Saya maafkan, Bu. Saya juga minta maaf kalau selama ini tanpa sengaja saya telah menyakiti hati Ibu. Kita akhiri saja semua perseteruan tiada guna ini ya, Bu?" "Iya, Ri." Murni mengangguk mengiyakan. Ia setuju dengan rekonsiliasi Suri ini. Sudah cukup semua pertikaian yang pada mulanya ia picu."Sebaiknya kita memang menghentikan segala pertikaian dan menjalin hubungan silaturahmi demi tumbuh kembang anak-anak kita. Mas Damar sudah berjanji bahwa ia akan tetap menjadi ayah Chika sampai kapan pun, walau ayah kandungnya ada. Martin telah memiliki istri dan juga anak-anak. Saya harus mempertimbangkan perasaan Lidya, istri Martin."Suri ters
"Boleh saya berbicara berdua denganmu, Ri?" Murni memajukan kursi roda. Menghampiri Suri dan Damar yang sedianya akan ke lokasi perhelatan."Tidak bisa, Murni. Kami akan segera ke ballroom. Lagi pula, saya tidak mengizinkan kamu hanya berdua saja dengan Suri. Terlalu riskan soalnya." Damar dengan cepat menghalangi laju kursi roda Murni. "Saya hanya ingin berbicara sebentar saja dengan Suri sebagai sesama perempuan. Sepuluh menit saja, Mas. Lagi pula keadaan saya sekarang seperti ini. Bagaimana mungkin saya bisa menyakiti Suri?" Murni memandang Damar kecut, seraya menunjuk kursi roda dengan tatapan mata. Di mana dirinya terduduk lemah dengan hanya satu kaki normal. Kaki lainnya tinggal sebatas lutut yang ditutupi oleh kain menyerupai rok batik panjang."Menyakiti tidak hanya selalu dalam bentuk fisik, Murni." Damar menggeleng. Ia tetap tidak mengizinkan Suri berduaan dengan Murni. Istimewa di resepsi pernikahan mereka. Damar tidak mau sampai Murni melukai perasaan Suri di hari bahagi
"Oh iya. Saya akan membawa tas kecil berisi ponsel saja. Mbak Husna bisa tolong ambilkan tas tangan saya?" pinta Suri pada Mbak Husna. Suri tidak berani memandang wajah Damar yang tengah tersenyum lebar. Ia malu."Bisa dong, Ri. Ini." Mbak Husna meraih tas tangan mewah bertabur swarovski milik Suri di atas meja. Ia kemudian mengulurkan tas tangan berkilauan itu pada sang empunya tas."Mbak Husna tidak ikut keluar sekalian?" Suri yang masih grogi ingin agak Mbak Husna ikut berjalan bersama. Sebagai seorang perias pengantin, sudah menjadi kewajiban Mbak Husna untuk mendampinginya."Kamu keluar bersama Pak Damar dulu. Mbak akan mempersiapkan tas kecil untukmu touch up nanti, kalau diperlukan. Kamu duluan saja, Mbak akan segera menyusul." Mbak Husna memberi kesempatan pada Damar untuk membimbing Suri. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan lebih lama, Mbak Husna tahu bahwa Suri belum seratus persen percaya diri menyandang status sebagai istri Damar. Oleh karenanya Mbak Husna