Suri merapikan gaun hamil babydollnya karena tegang. Saat ini MC tengah membacakan nama-nama pengusaha yang masuk dalam nominasi Anugerah Wirausaha Indonesia atau AWI. Anugerah Wirausaha Indonesia itu sendiri adalah satu acara penghargaan yang diberikan kepada para pengusaha di Indonesia. Kompetisi dan penghargaan AWI ini biasanya dilaksanakan setiap tahunnya. Dan malam ini adalah acara AWI yang ke-22. Yang mana acara diselenggarakan pada ballroom Adi Daya Graha Hotel. Dalam acara AWI tahun ini, Damar yang mewakili PT Karya Tekstil Adhyatna masuk dalam 26 nominasi AWI yang terpilih. "Santai saja, Sayang. Jangan tegang. Nanti anak kita ikutan tegang di dalam sana." Damar menggenggam tangan Suri yang saling terjalin di pangkuan. Astaga, tangan Suri dingin sekali."Saya tidak tegang, Mas. Saya cuma tidak tenang. Masa nama Mas tidak disebut-sebut sih!" Suri mendecakkan lidah. MC dari tadi hanya membacakan nama-nama nominasi pengusaha yang lain."Sabar dong, Sayang. Nominasi yang harus
"Bagaimana keadaan Ibu?" Suri menghampiri sang ibu yang terbaring di ranjang." Dirinya memang langsung pulang kampung setelah kakaknya mengabari kalau ibu mereka sedang sakit. "Lho kamu kok tiba-tiba ada di sini, Ri? Kamu datang dengan siapa? Damar?""Dengan Pak Min, Bu. Mas Damar besok baru menyusul. Ada rapat tahunan perusahaan. Keadaan Ibu bagaimana?" Suri menggenggam tangan sang ibu. "Seperti yang kamu lihat. Ibu baik-baik saja. Pasti kamu ya yang mengadu pada Suri, Las? Ibu tidak apa-apa kok?" Bu Niken memelototi Sulastri. Putri sulungnya ini sedikit-sedikit selalu mengadu pada Suri."Tidak apa-apa bagaimana? Orang Ibu nyaris stroke kemarin?" bantah Sulastri."Itu 'kan kemarin. Sekarang Ibu toh baik-baik saja. Lain kali jangan sedikit-sedikit mengadu pada Suri. Suri baru beberapa bulan melahirkan. Repot ke mana-mana membawa bayi." "Tidak repot kok, Bu. Kan ada Mbok Inah. Lagi pula sekalian Wira ingin bertemu dengan Pras. Rindu katanya. Kebetulan sekolahnya libur dua hari karen
Sembari merajut, Suri bolak-balik memindai jam dinding di ruang tamu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Prasetyo, suaminya, belum juga pulang ke rumah. "Hufft," desah Suri gelisah. Biasanya, paling lambat pukul tujuh malam Pras sudah sampai di rumah. Jikalau pun Pras meeting atau sekedar mengobrol dengan client, biasanya Pras akan mengabarinya. Memintanya untuk tidak menunggunya makan malam karena ia akan makan di luar. Tidak biasa-biasanya Pras seperti ini. Suri lantas meletakkan peralatan rajutnya. Ragu-ragu ia meraih ponsel di atas meja. Ia ingin menelepon Pras. Sebenarnya ia bukanlah type istri yang cerewet. Bukan pula type istri yang selalu ingin merazia suami sendiri. Hanya saja ia khawatir karena tidak ada kabar dari Pras, dari sore hingga malam seperti ini. Suri menimang-nimang ponselnya. Ragu-ragu antara ingin menghubungi Pras atau tidak. "Aku tidak suka di telepon-telepon saat aku sedang mencari nafkah di luar rumah. Aku bukan anak kecil yang harus kam
"Ya begitulah, Ti. Aku 'kan punya penyakut asam lambung. Terlambat makan sedikit saja, langsung kumat." Walau dadanya terasa nyeri, Suri mengikuti sandiwara yang telah dimainkan Pras. Ia masih ingin menjaga muka suaminya."Iya sih. Ehm, aku meneleponmu sebenarnya ingin menceritakan sesuatu. Tapi bagaimana ya, aku tidak enak mengatakannya."Suri mengelus dada perlahan. Mempersiapkan mental agar siap mendengar apapun yang akan diceritakan oleh Wanti. Dirinya dan Wanti sudah saling mengenal lama. Oleh karenanya, saat nada suara Wanti bimbang seperti ini, Suri sudah menangkap sesuatu. Bahwa apapun yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu nanti bukanlah hal yang menggembirakan."Kamu ingin bilang apa, Ti? Katakan saja. Kamu ini seperti sedang berbicara dengan orang lain saja." Suri sedapat mungkin memperdengarkan nada suara yang biasa-biasa saja. Padahal denyut jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya."Begini ya, Ri. Entah ini hanya perasaanku saja. Tapi aku merasa sikap Pra
"Kamu ini mau tahu saja urusan orang," omel Pras kesal. "Urusan orang? Orangnya itu 'kan suami sendiri. Wajar kalau aku ingin tahu, Mas," tukas Suri tegas. Statusnya adalah seorang istri. Ia berhak mengetahui urusan suaminya."Sudah! Jangan diperpanjang lagi. Aku mau mandi. Suami baru pulang bukannya disambut dengan senyuman, ini malah diajak ribut. Istri macam apa kamu?" Pras mendengkus sembari berjalan ke kamar mandi."Istri yang ingin mengetahui siapa yang menelepon suaminya pukul tiga dini hari. Jawab pertanyaanku, Mas?" Suri tidak mau mengalah. Sudah cukup beberapa bulan ini Pras memperlakukannya tidak selayaknya seorang istri. Selama ini, ia terus bersabar dan menghibur diri. Mengucapkan dalam hati, bahwa Pras tengah disibukan oleh pekerjaan, makanya sikapnya tidak mengenakan. Ia terus merapal kalimat penghibur diri itu layaknya mantra setiap hari, agar dirinya tidak suudzon pada suami sendiri.Tapi kali ia tidak mau sabar lagi. Pembicaraannya dengan Wanti tadi sesungguhnya
Suri mematung. Ia sama sekali tidak mengira kalau ternyata Pras sangat memandang rendah pendidikannya.Padahal, sewaktu Pras melamarnya dulu, Pras mengatakan bahwa pendidikan formalnya bukanlah yang utama. Karena pendidikan yang paling penting di matanya adalah pendidikan akhlak dan hati yang mulia. Makanya dulu ia bersedia menerima lamaran Pras. Karena di matanya, Pras adalah laki-laki baik yang bersedia menerima kekurangan dan kelebihannya. Tak disangka tak dinyana, ternyata semua itu adalah bualan semata. Suri sakit hati mendengar hinaan Pras. Harga dirinya bagai dicampakkan seperti setumpuk kotoran. "Maaf, aku tidak sengaja mengucapkannya. Aku sedang lelah lahir batin, Ri. Makanya ucapanku jadi tidak terkontrol." Secepat mulut Pras berucap, secepat pula itunya ia meminta maaf. Namun, Suri tidak menjawab. Kini, ia sudah mengantongi satu hal: selama ini, Pras memang memandang rendah dirinya. Hanya saja, pria itu menutupinya dengan baik. Dan kini pada saat emosinya terkait, mak
"Selamat sore, Pak Damar. Maaf saya tidak menyadari kehadiran Bapak." Suri membungkukkan sedikit tubuhnya. Kehadiran Damar membuatnya rikuh. Istimewa Damar mengetahui kesulitannya. "Sore juga. Saya baru saja tiba di toko. Wajar kalau kamu tidak melihat kehadiran saya." Suri hanya tersenyum kecil. Ia tahu harus bersikap bagaimana menanggapi kata-kata Damar. Damar dulu mengenalnya sebagai seorang buruh jahit di perusahaan mantan istrinya. Lantas sebagai istri Pras. Hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan. Makanya Suri kikuk. Walau mereka bukan atasan dan bawahan lagi, tetapi tetap saja, dalam hati Suri ada perasaan sungkan berhandai-handai dengan Damar. Ia merasa tidak selevel. "Silakan melanjutkan acara belanjanya, Suri. Jangan sungkan, ini adalah toko salah seorang kerabat saya. Saya yang memasok semua bahan-bahannya. Jadi sudah pasti harganya lebih murah. Saya menemui pemilik toko dulu." Suri mengangguk. Selanjutnya ia kembali melihat-lihat bahan-bahan rajutan. Ia mem
"Duduk dulu, Mas. Mari kita bicara baik-baik. Mas tahu 'kan kalau Wira sedang tidur." Suri mengabaikan serpihan asbak rokok dan vas bunga. Pikirnya nanti saja kekacauan ini ia bersihkan. Ia akan mengutamakan menjelaskan segala kesalahpahaman pada Pras dulu.Suri menghempaskan pinggulnya pada sofa di hadapan Pras. Ia berusaha tetap tenang walau Pras sudah melemparkan ejekan. Ia tidak mau terpancing. Kalau dirinya ikut-ikutan emosi, masalah tidak akan selesai. Yang ada mereka berdua akan saling berbalas ejekan. "Bicara baik-baik kamu bilang? Bukannya kamu yang memulai duluan? Kamu telah mempermalukanku di hadapan banyak orang, Suri!" Pras menunjuk wajah Suri geram. Namun ia mengikuti langkah Suri ke sofa. Pras sengaja mengambil posisi duduk di hadapan Suri. Pras ingin Suri terintimidasi dengan kemarahannya. "Mempermalukan, Mas? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?" Suri menjinjitkan kedua alisnya. Ia tidak merasa melakukan hal yang memalukan. "Apa yang sudah kamu lakukan?" hardik Pr
"Bagaimana keadaan Ibu?" Suri menghampiri sang ibu yang terbaring di ranjang." Dirinya memang langsung pulang kampung setelah kakaknya mengabari kalau ibu mereka sedang sakit. "Lho kamu kok tiba-tiba ada di sini, Ri? Kamu datang dengan siapa? Damar?""Dengan Pak Min, Bu. Mas Damar besok baru menyusul. Ada rapat tahunan perusahaan. Keadaan Ibu bagaimana?" Suri menggenggam tangan sang ibu. "Seperti yang kamu lihat. Ibu baik-baik saja. Pasti kamu ya yang mengadu pada Suri, Las? Ibu tidak apa-apa kok?" Bu Niken memelototi Sulastri. Putri sulungnya ini sedikit-sedikit selalu mengadu pada Suri."Tidak apa-apa bagaimana? Orang Ibu nyaris stroke kemarin?" bantah Sulastri."Itu 'kan kemarin. Sekarang Ibu toh baik-baik saja. Lain kali jangan sedikit-sedikit mengadu pada Suri. Suri baru beberapa bulan melahirkan. Repot ke mana-mana membawa bayi." "Tidak repot kok, Bu. Kan ada Mbok Inah. Lagi pula sekalian Wira ingin bertemu dengan Pras. Rindu katanya. Kebetulan sekolahnya libur dua hari karen
Suri merapikan gaun hamil babydollnya karena tegang. Saat ini MC tengah membacakan nama-nama pengusaha yang masuk dalam nominasi Anugerah Wirausaha Indonesia atau AWI. Anugerah Wirausaha Indonesia itu sendiri adalah satu acara penghargaan yang diberikan kepada para pengusaha di Indonesia. Kompetisi dan penghargaan AWI ini biasanya dilaksanakan setiap tahunnya. Dan malam ini adalah acara AWI yang ke-22. Yang mana acara diselenggarakan pada ballroom Adi Daya Graha Hotel. Dalam acara AWI tahun ini, Damar yang mewakili PT Karya Tekstil Adhyatna masuk dalam 26 nominasi AWI yang terpilih. "Santai saja, Sayang. Jangan tegang. Nanti anak kita ikutan tegang di dalam sana." Damar menggenggam tangan Suri yang saling terjalin di pangkuan. Astaga, tangan Suri dingin sekali."Saya tidak tegang, Mas. Saya cuma tidak tenang. Masa nama Mas tidak disebut-sebut sih!" Suri mendecakkan lidah. MC dari tadi hanya membacakan nama-nama nominasi pengusaha yang lain."Sabar dong, Sayang. Nominasi yang harus
Dokter Aslan tersenyum tipis. Ia teringat pada Murni Eka Cipta. Sang pendonor yang juga mantan teman sekolahnya. Pada mulanya dokter Aslan tidak mengetahui kalau pendonor kornea mata Pras adalah Murni, teman SMP-nya dulu. Sampai sosok tubuh kaku Murni didorong masuk ke ruang operasi. Berdampingan dengan Pras. "Sudah lama meniatkan kornea matanya untuk saya? Siapa orangnya, Pak Dokter? Pras mengerutkan dahi. Ia penasaran. Siapa orang ini sampai-sampai meniatkan mendonor mata padanya? "Nanti Pak Pras akan tahu sendiri." Dokter Aslan menepuk ringan bahu Pras."Baiklah. Karena operasi ini telah berhasil dengan baik, saya akan memeriksa pasien lain lagi. Nanti siang, Pak Pras sudah bisa keluar dari rumah sakit. Saya ingatkan, besok pagi Bapak harus kembali kontrol ke poli mata untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Gunakan obat tetes mata sesuai dengan anjuran. Hindari menekan atau mengusap bagian mata, dan jangan mengendarai kendaraan bermotor. Tambahannya makanlah makanan yang bergizi s
Pras duduk di sisi ranjang seraya membuka mata perlahan. Ia mengikuti instruksi dokter Aslan. Perban yang membungkus matanya selama dua hari ini akhirnya dibuka juga. Sehari setelah operasi keratoplasti alias cangkok kornea mata, dirinya hanya mengganti perban dan mengecek kondisi mata. Setelah dinyatakan kalau hasil operasinya bagus, baru pada hari kedua inilah ia akan membuka mata hasil keratoplasti. Ia sungguh berterima kasih kepada siapa pun orang yang telah mendonorkan kornea mata padanya.Pras mencoba mengikuti instruksi dokter Aslan. Matanya masih terasa sedikit lengket. Padahal tadi dokter Aslan telah mengusapkan semacam cairan sejuk yang melembabkan matanya. Setelah matanya terbuka, Pras mengedip-ngedipkannya sebentar. Samar-samar ia mulai melihat cahaya terang. Sebuah tirai jendela berwarna hijau muda. Pras terbata-bata mengucap syukur. Akhirnya ia mampu melihat cahaya setelah tiga tahun bergelut dalam kegelapan."Ayah? Ayah sekarang sudah bisa melihat belum?"Suara Wira, p
"Ya sudah, Wira baik-baik di sana ya? Jangan nakal." Suri mengelus puncak kepala Wira. Sang putra mengangguk patuh. "Wira masuk ke dalam mobil dulu sana. Papa ingin berbicara pada bunda." "Siap, Pa." Wira bergegas masuk ke dalam mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menunjukkan bingkisan pada sang ayah. Karena konon katanya ayahnya sudah bisa melihat sekarang."Mas pergi dulu ya, Ri? Kamu dan Dimas baik-baik di rumah. Mas tidak lama. Setelah semua urusan selesai, Mas dan Wira akan langsung pulang ke rumah." Damar mengecup kening Suri mesra. Setelahnya ia mencium sayang pipi anak laki-lakinya.Damar kemudian berjongkok sembari mengelus perut Suri yang sedikit membukit. Ya, Suri tengah mengandung muda. Dirinya dan Suri memang kejar setoran. Usia mereka berdua sudah tidak muda lagi. Untuk mereka berusaha secepat mungkin memiliki keturunan."Adek bayi juga baik-baik di dalam sana ya? Jangan buat Bunda susah ya, Nak ya?" Damar mencium perut Suri. Mengelus-elusnya sebentar. "Ri, jangan kela
Tiga tahun kemudian.Seorang lelaki tua mengecup kening putri kesayangannya untuk yang terakhir kalinya. Setelahnya ia menatap nanar ketika jenazah sang putri didorong masuk ke ruang operasi. Sejurus kemudian satu brankar juga didorong masuk. Pintu kemudian ditutup, bersamaan dengan air matanya yang menetes perlahan. "Selamat jalan, putriku. Ayah bangga padamu karena telah berjuang hingga kamu tidak mampu lagi bertahan. Ayah juga akan melaksanakan pesan terakhirmu. Doakan agar Ayah kuat kehilanganmu. Karena masih ada satu pesanmu lagi yang harus Ayah emban hingga Ayah tutup usia."Air mata sang lelaki tua terus menetes, tanpa sang lelaki tua itu sadar. Ia menangis tanpa suara tanpa emosi. Selama tiga tahun menemani putri tunggalnya ini berjuang melawan penyakit-penyakitnya, tidak sekalipun ia menangis. Ia tidak mau putrinya melihatnya patah semangat.Namun hari ini, semua emosi yang selama ini ditahan-tahannya sendiri luruh. Ia telah kehilangan istrinya bertahun lalu. Dan kini ia ju
Dengan besar hati Murni meminta maaf atas semua kesalahannya. Dua minggu belakangan ini ia sudah menyadari semua kesalahannya. Ia juga sudah meminta maaf pada Pras, walau yang bersangkutan tidak bersedia menerima teleponnya. Menurut orang tua Pras, sekarang Pras kerap mengurung diri di kamar. Pras sedang menjalani fase-fase terburuk dalam hidupnya. "Saya maafkan, Bu. Saya juga minta maaf kalau selama ini tanpa sengaja saya telah menyakiti hati Ibu. Kita akhiri saja semua perseteruan tiada guna ini ya, Bu?" "Iya, Ri." Murni mengangguk mengiyakan. Ia setuju dengan rekonsiliasi Suri ini. Sudah cukup semua pertikaian yang pada mulanya ia picu."Sebaiknya kita memang menghentikan segala pertikaian dan menjalin hubungan silaturahmi demi tumbuh kembang anak-anak kita. Mas Damar sudah berjanji bahwa ia akan tetap menjadi ayah Chika sampai kapan pun, walau ayah kandungnya ada. Martin telah memiliki istri dan juga anak-anak. Saya harus mempertimbangkan perasaan Lidya, istri Martin."Suri ters
"Boleh saya berbicara berdua denganmu, Ri?" Murni memajukan kursi roda. Menghampiri Suri dan Damar yang sedianya akan ke lokasi perhelatan."Tidak bisa, Murni. Kami akan segera ke ballroom. Lagi pula, saya tidak mengizinkan kamu hanya berdua saja dengan Suri. Terlalu riskan soalnya." Damar dengan cepat menghalangi laju kursi roda Murni. "Saya hanya ingin berbicara sebentar saja dengan Suri sebagai sesama perempuan. Sepuluh menit saja, Mas. Lagi pula keadaan saya sekarang seperti ini. Bagaimana mungkin saya bisa menyakiti Suri?" Murni memandang Damar kecut, seraya menunjuk kursi roda dengan tatapan mata. Di mana dirinya terduduk lemah dengan hanya satu kaki normal. Kaki lainnya tinggal sebatas lutut yang ditutupi oleh kain menyerupai rok batik panjang."Menyakiti tidak hanya selalu dalam bentuk fisik, Murni." Damar menggeleng. Ia tetap tidak mengizinkan Suri berduaan dengan Murni. Istimewa di resepsi pernikahan mereka. Damar tidak mau sampai Murni melukai perasaan Suri di hari bahagi
"Oh iya. Saya akan membawa tas kecil berisi ponsel saja. Mbak Husna bisa tolong ambilkan tas tangan saya?" pinta Suri pada Mbak Husna. Suri tidak berani memandang wajah Damar yang tengah tersenyum lebar. Ia malu."Bisa dong, Ri. Ini." Mbak Husna meraih tas tangan mewah bertabur swarovski milik Suri di atas meja. Ia kemudian mengulurkan tas tangan berkilauan itu pada sang empunya tas."Mbak Husna tidak ikut keluar sekalian?" Suri yang masih grogi ingin agak Mbak Husna ikut berjalan bersama. Sebagai seorang perias pengantin, sudah menjadi kewajiban Mbak Husna untuk mendampinginya."Kamu keluar bersama Pak Damar dulu. Mbak akan mempersiapkan tas kecil untukmu touch up nanti, kalau diperlukan. Kamu duluan saja, Mbak akan segera menyusul." Mbak Husna memberi kesempatan pada Damar untuk membimbing Suri. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan lebih lama, Mbak Husna tahu bahwa Suri belum seratus persen percaya diri menyandang status sebagai istri Damar. Oleh karenanya Mbak Husna