"Terlepas dia janda atau bukan, mama sama papa sudah berjanji akan menyetujui pernikahan kami. Atau mama sama papa ingin aku pergi dari perusahaan lagi?" ancam Rendi. Pria itu tahu apa kelemahan Fitri ketika Irwan sedang sakit. Menurut diagnosa dokter, papanya terlalu lelah mengurus perusahaan sendiri dan membutuhkan bantuan Rendi untuk menangani. Irwan diharuskan bedrest selama apapun yang dibutuhkan agar kondisinya semakin membaik.Fitri mendesis, terlihat sekali kalau dia gusar, "Kamu bisa jadi anak durhaka kalau mengancam mama kamu sendiri.""Siapa yang mengancam? Aku hanya menginginkan hakku sebagai anak, Ma. Apa mama masih mau mengusikku dan Frani lagi?"Suasana tegang itu semakin menegang. Apalagi Rendi yang tanpa sadar memasang muka datar dan tajam agar Fitri enggan untuk membalasnya. "Oke, oke. Kalau kamu masih mau menikahi janda itu, mama akan mencoba terima. Hanya karena perusahaan bukan karena mama suka sama dia. Sebaiknya kamu tutup mulut soal statusnya sebagai janda kar
"Frani jangan diam aja dong. Lempar wanita itu ke luar. Seenaknya aja mencium suami orang," tutur Tanti kesal. Dia melihat sikap wanita yang entah siapa namanya itu dengan umpatan tertahan. Begitu juga Septi yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya karena ulah wanita yang tidak bertanggungjawab. Mungkin wanita itu berniat membuat keributan di pesta pernikahan sahabatnya agar Frani merasa terintimidasi.Tanti sudah ingin maju untuk menarik rambut wanita itu jika saja dia tidak melihat pergerakan Frani yang di luar dugaan. Frani mengapit lengan Rendi, menyibakkan lengan Sonya menjauh dan sedikit menjauhkan jarak antara Rendi dan Sonya. Wanita dengan gaun pengantin berekor panjang itu menyunggingkan senyum manisnya, berniat membangun ketenangan hatinya karena suaminya diusik oleh wanita lain. Padahal dalam hati Frani sempat pasrah karena dia tidak bisa dibandingkan dengan Sonya. "Terimakasih sudah mau datang ke acara pernikahan saya. Tapi tolong jaga mulut! Sekali-kali mulutnya dikun
Melihat Frani diam, Rendi tanpa sadar terkekeh geli, "Bercanda, Fran. Tegang sekali muka kamu?"Frani tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Malu sebenarnya kalau dia ketahuan gugup padahal dia bukan gadis perawan lagi. Lagi-lagi kebingungan Frani membuat Rendi seratus persen mengarah padanya. Dia duduk berjongkok di hadapan Frani, memberikan tatapan manis, tidak menuntut dan seperti biasa. "Kalau kamu belum siap, kita skip saja malam ini. Masih ada malam-malam besok kan?"Frani yang tidak tega kalau harus menunda. Kenapa juga dia harus menunggu sampai besok? Dengan memantapkan hati atas dasar niat untuk menikah mencari berkah, wanita itu menggeleng, "Aku ikut kamu saja, Mas.""Yakin mau ikut saja?"Frani mengangguk, "Iya. Aku istrimu dan kamu berhak atasku."Rendi tersenyum simpul, akhirnya dia mendapat lampu hijau. "Sekarang, kamu mandi dulu. Kalau kamu sudah selesai, panggil aku. Kita gantian.""Baik, Mas." Frani sudah berdiri setelah Rendi menyingkir. Dia berjalan ke arah bilik lai
"Mas," panggil Frani lirih. Dia dan Rendi sedang menikmati udara sore hari yang menyambut mereka. Balkon kamar telah disulap menjadi tempat duduk-duduk, dengan sofa set mungil dan juga ayunan kecil, termasuk meja mungil yang menjadi penumpu teh-teh hangat dan camilan buatan Frani. Bukan pertama kali Frani bangun dengan status yang berbeda. Terhitung tiga kali? Pertama, istri Gani, lalu janda dan hari ini istri Rendi. Apapun itu, yang jelas pagi ini --setelah semalaman tidak ada waktu istirahat, padahal mereka hanya melakukannya dua kali-- Frani mencoba perannya yang baru. Membuat sarapan untuk Rendi. Menu sangat sederhana. Ayam goreng tepung, sup kentang dan beberapa buah yang telah dia kupas sendiri. Frani juga menyeduh kopi racikannya tapi dia belum tahu apakah Rendi menyukainya. Pria itu hanya diam dan menikmati sarapannya. Sepanjang hari, Frani harus memikirkan apakah Rendi menyesal telah memakan masakannya atau Rendi tidak berani bicara jujur karena takut istrinya tersinggung.
Mungkinkah persetujuan Frani untuk ikut ke kantor sudah salah? Wanita itu bahkan tidak menyangka akan bertemu dengan sosok yang tidak ingin dia temui lagi. Kenapa harus hari ini? Ketika dia baru saja menginjak usia pernikahan hari ketiga, dia melihatnya lagi.Sebelum pria di depan yang menyerobot jalan itu menoleh, mungkin Frani masih bisa menahan diri. Tapi kenyataannya setelah pria itu menoleh, menatap tajam pada pemilik mobil yang berusaha membuat dia melayang, akhirnya Frani tahu kenapa sedari tadi jantungnya berdetak kencang. Apa dia sudah menyadari siapa orang di depan? Gerak-gerik orang tidak akan berubah hanya dalam hitungan bulan. Dari belakang, postur seperti itu tidak banyak orang yang memiliki.Sontak Frani menunduk, entah karena apa. Malu? Kenapa? Bukannya dia memiliki suami yang bisa dia banggakan? Bukan suami yang menyelinap ke toko dan melakukan hubungan suami istri dengan karyawannya sendiri?"Fran, kamu nggak apa-apa?" tanya Rendi cemas. Dia sudah meminta supir merek
"Mau apa dia, Mas?" tanya Frani sedikit menuntut ketika Rendi sudah menyelesaikan panggilannya. Sepanjang menit tadi, wanita itu tampak serius melihat wajah Rendi. Tidak ada yang aneh, tapi dia merasa ada sesuatu yang tidak akan beres kalau menyangkut Gani.Frani ingin bertemu Gani disaat yang tepat. Dia ingin membuktikan bahwa dia juga bisa bahagia tanpa mantan suaminya itu. Sejujurnya Frani memiliki ambisi untuk membanggakan hidupnya pada keluarga mantan suaminya --termasuk Celia-- pasca bercerai, apalagi kalau dia bisa memiliki anak. Sungguh hal itu yang menjadi kunci utama dia bisa membanggakan dirinya. Kalau dia berhasil punya anak dan dia bukan wanita yang memiliki kekurangan. Namun sayang, alasan paling terakhir yang paling memberatkannya.Rendi berdehem, tidak tampak terintimidasi sama sekali. "Minta bertemu nanti setelah pulang kantor."Jangan, Mas!" ucap Frani tiba-tiba membuat Rendi menoleh bingung. Wanita itu kemudian mengoreksi ucapannya, "maksudnya, kita nggak tahu apa y
Frani sudah pasrah ketika dia harus menghadapi Gani. Dia berharap tidak ada ucapan pria itu yang membuat Rendi sakit hati. Lengkungan bibir Frani sudah ditarik hingga membentuk sebuah senyuman tapi begitu langkah Gani mendekat, senyum wanita itu seolah luluh lantak. Tidak berbekas sama sekali.Pria yang dulu menjadi tambatan hatinya kini kembali hadir. Pria yang membuat dia sakit hati kini muncul tanpa bisa dia cegah. Ya, mungkin saat ini bukan waktu yang tepat tapi dia yakin jika pernikahannya dengan Rendi tidak ada kaitannya dengan Gani. Apapun yang terjadi padanya, sudah bukan urusan Gani.Belum juga duduk, Gani sudah memborbardir Rendi dengan serentetan ancaman. Frani bisa menangkap jika yang diinginkan Gani bukan pertanggungjawaban sesungguhnya melainkan uang. Apa dia masih kesulitan keuangan? Apa Celia mengeruk keuntungan dari perceraian mereka? Tentu saja. Celia tidak akan mau hidup miskin. Pasti dia sudah menguasai ruko miliknya dan mengemban tugas sebagai si pemilik yang sah.
"Dapat duitnya?" tanya Celia. Wanita itu sedang memoles kuku-kukunya dengan cat warna ungu muda sesuai dengan warna rambutnya. Kemarin, seharian dia pergi ke salon hanya untuk merubah penampilan. Tentu saja uang yang dia gunakan adalah uang Gani. Usaha laundry yang dirintis oleh Frani telah habis terjual karena paksaan dari Celia karena dia enggan mengurus bisnis kecil-kecilan. Belum genap satu minggu, uang penjualan ruko laundry sudah habis karena Celia memutuskan untuk membuka bisnis warung makan. Namun sayang, wanita yang sama sekali tidak berniat untuk bekerja itu malah membuat kerugian yang cukup besar untuk suaminya. Motor hasil jerih payah Frani terjual untuk menutupi hutang dan menyisakan motor butut yang bahkan tidak layak jual.Apakah Gani berhasil hidup sukses setelah semua kekacauan yang dilakukan istrinya? Oh, tidak. Tuhan tentu Maha Adil. Dia masih mencoba menguji kesabaran Gani. Lagi-lagi karena paksaan Celia, dia harus berhutang pada rentenir untuk membeli motor baru